Asmara Hadi (Abdul Hadi): Difference between revisions
m (Text replacement - "Soekarno" to "Sukarno") |
No edit summary |
||
(2 intermediate revisions by the same user not shown) | |||
Line 1: | Line 1: | ||
Asmara Hadi | [[File:Asmara Hadi (Abdul Hadi) - L3342.jpg|center|thumb|Asmara Hadi (Abdul Hadi). Sumber: [https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=385873 Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L.3342]]] | ||
Asmara Hadi adalah politisi dan pejabat tinggi negara di bawah [[Sukarno|presiden Sukarno]]. Ia lahir dengan nama asli Abdul Hadi, pria kelahiran Bengkulu, tanggal 8 September 1914 dikenal sebagai sosok dengan banyak profesi, seperti; politikus, wartawan serta penyair. Bahkan, pada tahun 1966-1968, ia sempat menjadi wakil ketua [[Dewan Perwakilan Rakyat- Gotong Royong (DPR-GR)|DPR-GR]] merangkap menteri Negara (merdeka.com, 2016). | |||
Aktivitas Asmara Hadi dalam jurnalistik dan sebagai aktivis pergerakan akhirnya memaksanya untuk keluar-masuk tahanan bersama para tokoh pergerakan anti kolonial lain, termasuk Sukarno. Asmara Hadi turut menemani Sukarno sebagai tahanan di Ende pada tahun 1934-1935. Setelahnya, ia tetap berkecimpung di bidang politik dengan masuk Gerindo dan berjuang bersama Amir Sjarifuddin. Alhasil, ia sering keluar masuk penjara dan dipindah-pindah ke berbagai lokasi, seperti Sukabumi, dan Garut. | Abdul Hadi lahir dari ayah bernama Khobri bin Merah Hosen serta ibu bernama Khamaria, dan memiliki tiga orang saudara bernama Hanafi, Arifin, dan Maimunah. Karirnya sebagai politikus, tidak terlepas dari kedekatannya dengan [[Sukarno]]. Dari hubungan personal, istri Abdul Hadi yang bernama Ratna Juami Ningsih, merupakan anak angkat Sukarno dan Ibu [[Inggit Garnasih|Inggit Ganarsih]]. Dari sisi pergerakan, beliau merupakan “anak didik” yang digembleng langsung sebagai kader Sukarno (Ruhi, 2016). Oleh sebab itu, pemikiran kritis Sukarno tentang pergerakan kemerdekaan terus ia bawa sampai akhir hayatnya di tahun 1976, pada usia 62 tahun. | ||
Pada masa mudanya, Abdul Hadi memulai pendidikan di Bengkulu dengan bersekolah di [[Hollandsch Inlandsche School (HIS)|HIS]]. Setelah tamat, ia melanjutkan pendidikannya di [[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)|MULO]] Bandung. Aktivitas di kota ini membawa Abdul Hadi terjun pada berbagai aktivitas pergerakan dengan masuk sebagai anggota [[Partai Nasional Indonesia (PNI)|PNI]] dan [[Partai Indonesia (Partindo)|Partindo]]. Bahkan, di usia 18 tahun, ia dipilih sebagai salah satu anggota redaksi saat [[Sukarno]] menerbitkan surat kabar ''Pikiran Rakjat (Yusandi, 2019)''. | |||
Kesempatan bekerja di redaksi sebuah harian nasional ia maksimalkan untuk turut menyumbangkan tulisan mengenai pergerakan kebangsaan dengan menggunakan nama samaran Asmara Hadi. Sejak saat itu pula ia dikenal dengan nama tersebut. Setelah beberapa waktu, selain sempat menjadi pemimpin redaksi ''Pikiran Rakjat'' pada tahun 1938. Ia juga pernah bekerja di berbagai media dan penerbitan lain seperti majalah ''Toejoean Rakjat'', ''Bintang Timoer'', ''Efficiency'', dan Penerbit Pembangunan. | |||
Aktivitas Asmara Hadi dalam jurnalistik dan sebagai aktivis pergerakan akhirnya memaksanya untuk keluar-masuk tahanan bersama para tokoh pergerakan anti kolonial lain, termasuk [[Sukarno]]. Asmara Hadi turut menemani Sukarno sebagai tahanan di [[Ende (Tempat Pengasingan)|Ende]] pada tahun 1934-1935. Setelahnya, ia tetap berkecimpung di bidang politik dengan masuk Gerindo dan berjuang bersama [[Amir Sjarifuddin]]. Alhasil, ia sering keluar masuk penjara dan dipindah-pindah ke berbagai lokasi, seperti Sukabumi, dan Garut. | |||
Pengalaman mendekam di penjara tidak disia-siakan Asmara Hadi untuk terus produktif dengan menghasilkan berbagai tulisan. Termasuk di dalamnya cerpen “''di belakang kawat berduri''” pada tahun 1942. Cerpen tersebut dituliskannya saat ia berada di penjara sebagai tawanan Belanda. Meski begitu, ia tidak hanya menulis saat sebagai tawanan. Sedarimuda, ia aktif menulis berbagai puisi dan sajak dan diterbitkan ke berbagai media nasional saat itu. | Pengalaman mendekam di penjara tidak disia-siakan Asmara Hadi untuk terus produktif dengan menghasilkan berbagai tulisan. Termasuk di dalamnya cerpen “''di belakang kawat berduri''” pada tahun 1942. Cerpen tersebut dituliskannya saat ia berada di penjara sebagai tawanan Belanda. Meski begitu, ia tidak hanya menulis saat sebagai tawanan. Sedarimuda, ia aktif menulis berbagai puisi dan sajak dan diterbitkan ke berbagai media nasional saat itu. | ||
Line 13: | Line 17: | ||
Jahja Udin Nasution menggambarkan puisi-puisi Asmara Hadi “penuh api nasionalisme” dan memiliki harapan dan cita cita untuk masa depan bangsa Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam buku yang Nasution tulis dengan judul ''Asmara Hadi: Penyair Api Nasionalisme'' pada tahun 1965. Di buku tersebut, Nasution menggambarkan semangat Asmara Hadi yang kian bergelora menyuarakan semangat perjuangan dan kebangsaan karena acapkali mendengarkan ejekan orang Belanda yang menyebut bahwa Indonesia tidak akan pernah merdeka. | Jahja Udin Nasution menggambarkan puisi-puisi Asmara Hadi “penuh api nasionalisme” dan memiliki harapan dan cita cita untuk masa depan bangsa Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam buku yang Nasution tulis dengan judul ''Asmara Hadi: Penyair Api Nasionalisme'' pada tahun 1965. Di buku tersebut, Nasution menggambarkan semangat Asmara Hadi yang kian bergelora menyuarakan semangat perjuangan dan kebangsaan karena acapkali mendengarkan ejekan orang Belanda yang menyebut bahwa Indonesia tidak akan pernah merdeka. | ||
Dalam Ensiklopedia Kemendikbud (2016), tercatat Teeuw (1970) menilai bahwa Asmara Hadi merupakan pembaharu bentuk dan isi sajak yang modern dan sebagai penganjur realisme masyarakat (sosialis). Pada biodata sastrawan yang dikumpulkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, ia kerap kali mengganti-ganti nama samaran dengan nama Ipih A. Ibnu Fatah, serta Hadi-Ratna pada setiap karya tulisnya. Nama terakhir merupakan perwujudan cinta terhadap istri, yakni Ratna Juami Ningsih. | Dalam Ensiklopedia Kemendikbud (2016), tercatat Teeuw (1970) menilai bahwa Asmara Hadi merupakan pembaharu bentuk dan isi sajak yang modern dan sebagai penganjur realisme masyarakat (sosialis). Pada biodata sastrawan yang dikumpulkan di Pusat Dokumentasi Sastra [[Hans Bague Jassin (H.B. Jassin)|H.B. Jassin]], ia kerap kali mengganti-ganti nama samaran dengan nama Ipih A. Ibnu Fatah, serta Hadi-Ratna pada setiap karya tulisnya. Nama terakhir merupakan perwujudan cinta terhadap istri, yakni Ratna Juami Ningsih. | ||
Penulis: Tyson Tirta | Penulis: Tyson Tirta | ||
Line 31: | Line 35: | ||
Yusandi, Ojel Sansan (2019). ''Sejarah Pikiran Rakyat Sejak 1967''. Pikiran-rakyat.com | Yusandi, Ojel Sansan (2019). ''Sejarah Pikiran Rakyat Sejak 1967''. Pikiran-rakyat.com | ||
{{Comment}} | |||
[[Category:Tokoh]] | [[Category:Tokoh]] |
Latest revision as of 11:11, 12 September 2024
Asmara Hadi adalah politisi dan pejabat tinggi negara di bawah presiden Sukarno. Ia lahir dengan nama asli Abdul Hadi, pria kelahiran Bengkulu, tanggal 8 September 1914 dikenal sebagai sosok dengan banyak profesi, seperti; politikus, wartawan serta penyair. Bahkan, pada tahun 1966-1968, ia sempat menjadi wakil ketua DPR-GR merangkap menteri Negara (merdeka.com, 2016).
Abdul Hadi lahir dari ayah bernama Khobri bin Merah Hosen serta ibu bernama Khamaria, dan memiliki tiga orang saudara bernama Hanafi, Arifin, dan Maimunah. Karirnya sebagai politikus, tidak terlepas dari kedekatannya dengan Sukarno. Dari hubungan personal, istri Abdul Hadi yang bernama Ratna Juami Ningsih, merupakan anak angkat Sukarno dan Ibu Inggit Ganarsih. Dari sisi pergerakan, beliau merupakan “anak didik” yang digembleng langsung sebagai kader Sukarno (Ruhi, 2016). Oleh sebab itu, pemikiran kritis Sukarno tentang pergerakan kemerdekaan terus ia bawa sampai akhir hayatnya di tahun 1976, pada usia 62 tahun.
Pada masa mudanya, Abdul Hadi memulai pendidikan di Bengkulu dengan bersekolah di HIS. Setelah tamat, ia melanjutkan pendidikannya di MULO Bandung. Aktivitas di kota ini membawa Abdul Hadi terjun pada berbagai aktivitas pergerakan dengan masuk sebagai anggota PNI dan Partindo. Bahkan, di usia 18 tahun, ia dipilih sebagai salah satu anggota redaksi saat Sukarno menerbitkan surat kabar Pikiran Rakjat (Yusandi, 2019).
Kesempatan bekerja di redaksi sebuah harian nasional ia maksimalkan untuk turut menyumbangkan tulisan mengenai pergerakan kebangsaan dengan menggunakan nama samaran Asmara Hadi. Sejak saat itu pula ia dikenal dengan nama tersebut. Setelah beberapa waktu, selain sempat menjadi pemimpin redaksi Pikiran Rakjat pada tahun 1938. Ia juga pernah bekerja di berbagai media dan penerbitan lain seperti majalah Toejoean Rakjat, Bintang Timoer, Efficiency, dan Penerbit Pembangunan.
Aktivitas Asmara Hadi dalam jurnalistik dan sebagai aktivis pergerakan akhirnya memaksanya untuk keluar-masuk tahanan bersama para tokoh pergerakan anti kolonial lain, termasuk Sukarno. Asmara Hadi turut menemani Sukarno sebagai tahanan di Ende pada tahun 1934-1935. Setelahnya, ia tetap berkecimpung di bidang politik dengan masuk Gerindo dan berjuang bersama Amir Sjarifuddin. Alhasil, ia sering keluar masuk penjara dan dipindah-pindah ke berbagai lokasi, seperti Sukabumi, dan Garut.
Pengalaman mendekam di penjara tidak disia-siakan Asmara Hadi untuk terus produktif dengan menghasilkan berbagai tulisan. Termasuk di dalamnya cerpen “di belakang kawat berduri” pada tahun 1942. Cerpen tersebut dituliskannya saat ia berada di penjara sebagai tawanan Belanda. Meski begitu, ia tidak hanya menulis saat sebagai tawanan. Sedarimuda, ia aktif menulis berbagai puisi dan sajak dan diterbitkan ke berbagai media nasional saat itu.
Jahja Udin Nasution menggambarkan puisi-puisi Asmara Hadi “penuh api nasionalisme” dan memiliki harapan dan cita cita untuk masa depan bangsa Indonesia. Hal tersebut tertuang dalam buku yang Nasution tulis dengan judul Asmara Hadi: Penyair Api Nasionalisme pada tahun 1965. Di buku tersebut, Nasution menggambarkan semangat Asmara Hadi yang kian bergelora menyuarakan semangat perjuangan dan kebangsaan karena acapkali mendengarkan ejekan orang Belanda yang menyebut bahwa Indonesia tidak akan pernah merdeka.
Dalam Ensiklopedia Kemendikbud (2016), tercatat Teeuw (1970) menilai bahwa Asmara Hadi merupakan pembaharu bentuk dan isi sajak yang modern dan sebagai penganjur realisme masyarakat (sosialis). Pada biodata sastrawan yang dikumpulkan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, ia kerap kali mengganti-ganti nama samaran dengan nama Ipih A. Ibnu Fatah, serta Hadi-Ratna pada setiap karya tulisnya. Nama terakhir merupakan perwujudan cinta terhadap istri, yakni Ratna Juami Ningsih.
Penulis: Tyson Tirta
Referensi
Agustina, Astri (2016). Asmara Hadi, perintis kemerdekaan yang kritis dan romantis. Merdeka.com.
Ensiklopedia Kemendikbud (2016). Asmara Hadi (1915-1976). http:// ensiklopedia.kemdikbud .go.id/
Nasution, Jahja Udin (1965). Asmara Hadi: Penjair Api Nasionalisme. Jakarta: PT. Gunung Agung
Ruhi, Peter (2016). Tito Asmara Hadi Tentang Ayahandanya. Laraspostonline.com
Soendoro. Biografi Sastrawan Asmara Hadi. Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Yusandi, Ojel Sansan (2019). Sejarah Pikiran Rakyat Sejak 1967. Pikiran-rakyat.com