Soeprapto: Difference between revisions
m (Text replacement - "Penulis: Samidi" to "{{Penulis|Samidi|Masyarakat Sejarah Indonesia|Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum}}") |
No edit summary |
||
(One intermediate revision by the same user not shown) | |||
Line 1: | Line 1: | ||
[[File:Soeprapto - Kami Perkenalkan (1954) p158.jpg|center|thumb|Soeprapto - Kami Perkenalkan (1954) p158]] | |||
R. Soeprapto lahir di Trenggalek pada 17 Maret 1896 dan meninggal dunia pada 2 Desember 1964. Dari sumber lain disebutkan tahun kelahiran pada 1897 (''Het nieuwsblad voor Sumatra'', 30 Desember 1950). Pendidikan ditempuh di ''Europeesche Lagere School'' (ELS) dan selesai pada 1914. Kesempatan bersekolah di sekolah dasar Belanda ini dikarenakan ayahnya seorang ''controleur'' pajak di Trenggalek. Status sosial yang melekat pada diri ayahnya, priayi yang bekerja di birokrasi pemerintah kolonial, sehingga ada ''privilege'' (hak istimewa) untuk keturunan menempuh pendidikan sesuai pilihan. R. Soeprapto berkesempatan besar meniti karir di pengadilan sesuai dengan bidang yang ditekuni semasa bersekolah di sekolah hukum (''rechtschool'') di Batavia yang diselesaikan pada tahun 1922. Sekolah hukum (''rechtschool'') didirikan oleh Gubernur Jendral J.B. van Heutsz pada tahun 1909 berdasarkan ''Reglement voor de Opleiding voor Inlandsche Rechtskundigen'' (Reglemen untuk Sekolah Pendidikan Ahli Hukum Pribumi/Bumiputra) (''Staatsblad'', No. 93/1909). | R. Soeprapto lahir di Trenggalek pada 17 Maret 1896 dan meninggal dunia pada 2 Desember 1964. Dari sumber lain disebutkan tahun kelahiran pada 1897 (''Het nieuwsblad voor Sumatra'', 30 Desember 1950). Pendidikan ditempuh di ''Europeesche Lagere School'' (ELS) dan selesai pada 1914. Kesempatan bersekolah di sekolah dasar Belanda ini dikarenakan ayahnya seorang ''controleur'' pajak di Trenggalek. Status sosial yang melekat pada diri ayahnya, priayi yang bekerja di birokrasi pemerintah kolonial, sehingga ada ''privilege'' (hak istimewa) untuk keturunan menempuh pendidikan sesuai pilihan. R. Soeprapto berkesempatan besar meniti karir di pengadilan sesuai dengan bidang yang ditekuni semasa bersekolah di sekolah hukum (''rechtschool'') di Batavia yang diselesaikan pada tahun 1922. Sekolah hukum (''rechtschool'') didirikan oleh Gubernur Jendral J.B. van Heutsz pada tahun 1909 berdasarkan ''Reglement voor de Opleiding voor Inlandsche Rechtskundigen'' (Reglemen untuk Sekolah Pendidikan Ahli Hukum Pribumi/Bumiputra) (''Staatsblad'', No. 93/1909). | ||
Line 41: | Line 43: | ||
Lucas, Anton E. 1989. ''Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi.'' Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. | Lucas, Anton E. 1989. ''Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi.'' Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. | ||
[[Category:Tokoh]] | {{Comment}} [[Category:Tokoh]] |
Latest revision as of 23:50, 12 September 2024
R. Soeprapto lahir di Trenggalek pada 17 Maret 1896 dan meninggal dunia pada 2 Desember 1964. Dari sumber lain disebutkan tahun kelahiran pada 1897 (Het nieuwsblad voor Sumatra, 30 Desember 1950). Pendidikan ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS) dan selesai pada 1914. Kesempatan bersekolah di sekolah dasar Belanda ini dikarenakan ayahnya seorang controleur pajak di Trenggalek. Status sosial yang melekat pada diri ayahnya, priayi yang bekerja di birokrasi pemerintah kolonial, sehingga ada privilege (hak istimewa) untuk keturunan menempuh pendidikan sesuai pilihan. R. Soeprapto berkesempatan besar meniti karir di pengadilan sesuai dengan bidang yang ditekuni semasa bersekolah di sekolah hukum (rechtschool) di Batavia yang diselesaikan pada tahun 1922. Sekolah hukum (rechtschool) didirikan oleh Gubernur Jendral J.B. van Heutsz pada tahun 1909 berdasarkan Reglement voor de Opleiding voor Inlandsche Rechtskundigen (Reglemen untuk Sekolah Pendidikan Ahli Hukum Pribumi/Bumiputra) (Staatsblad, No. 93/1909).
Sekolah ini hanya setingkat atau sama dengan sekolah menengah kejuruan selama 6 tahun dengan model penggabungan sekolah menengah pertama (seperti Meer Uitgebreid Lager Onderwijs [MULO]) dan sekolah menengah atas (seperti AMS). Dengan demikian, sekolah ini dibagi dua: tiga tahun pertama voorbereidende afdeeling (bagian persiapan) dan tiga tahun berikutnya rechtskundige afdeeling (bagian keahlian hukum). Bagi murid lulusan MULO dan atau OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren, Sekolah Pendidikan Pribumi untuk Pegawai Negeri Sipil) yang berkeinginan ke sekolah hukum dapat langsung ke bagian/tingkat kedua sekolah hukum. Tujuan dari pembentukan rechtschool adalah mendidik murid-murid bumiputra untuk bekerja menjadi hakim landraad. Landraad merupakan lembaga peradilan tingkat pertama atau pengadilan sehari-hari yang dikhususkan untuk golongan bumiputra.
Ketika R. Soeprapto lulus dari ELS tahun 1914, ternyata tidak banyak sekolah lanjutan yang tersedia kecuali ke sekolah umum lanjutan yang juga terbatas dan sekolah kejuruan yang umumnya untuk bumiputra. Oleh karena itu, melanjutkan di sekolah rechtschool merupakan keputusan terbaik yang mengantarkan sebagai praktisi di peradilan. Pada pertengahan tahun 1914, R. Soeprapto dinyatakan lulus seleksi untuk ujian yang dilakukan oleh opleidingsschool voor inlandsch rechts-kundigen bersama dengan teman seangkatannya, seperti M. Soemardi, R. Soekiman, P. Pawitro, M. Soerjo Nandika, dan R.P. Iskak (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 2 Juni 1914). Berdasarkan pemberitaan De Locomotief, Soeprapto bersama teman-temannya, seperti Soekartolo, Moetalib, Emor, Gartono, Hartoyo, Soewarto, Sabrip, Tirtowinoto, Nazief, Soedibio, Srihoeno, M. Wirjono, Koeswala, Boediarto, dan Soedjono, baru dinyatakan lulus untuk naik kelas dari kelas 2 ke kelas 3 (De Locomotief, 24 Mei 1921). Kemudian, lulus dari rechtschool bersama 17 teman lainnya pada pertengahan tahun 1922 (Deli Courant, 1 Juni 1922). Hal ini menunjukkan R. Soeprapto lulus dari rechtschool pada usia 26 tahun.
Penempatan kerja disesuaikan dengan bidang, sehingga ia berkecimpung di peradilan untuk bumiputra setelah lulus dari sekolah ini. Lokasi kerja pun berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Dari tahun 1925, ia menjadi ketua landraad dari kabupaten ke kabupaten, antara lain Pati, Banyuwangi, Singaraja dan Denpasar di Bali, hingga Cirebon, Salatiga dan Pekalongan. Pada tahun 1928, R. Soeprapto sebagai ketua Landraad menangani kasus Groeneboom (petani dibunuh) (Het nieuwsblad voor Sumatra, 30 Desember 1950). Dari sumber lain ditemukan bahwa pada tahun 1932, R. Soeprapto bekerja di Landraad Banyuwangi. Salah satu kasus yang ditanganinya adalah memutuskan hukuman bagi tiga orang kuli yang melakukan penganiayaan pada orang Belanda (Zutphensche courant, 21 Mei 1932).
Negeri ini dikuasai oleh Jepang tahun 1942, R. Soeprapto menjabat hakim dan kepala pengadilan di Pekalongan sampai tahun 1949. Ketika di Pekalongan ini, sudah menjadi tugasnya, menangani peristiwa/masalah Tiga-Daerah di Pekalongan dan pada tahun 1946 (Het nieuwsblad voor Sumatra, 30 Desember 1950). Peristiwa ini terjadi di karesidenan Pekalongan, dan tiga daerah yang dimaksud adalah Brebes, Tegal, dan Pemalang. Kurun waktunya pendek antara bulan Oktober sampai Desember 1945 (Lucas, 1989). Pada tahun 1947, Soeprapto menjadi anggota Dewan Peradilan (lid van de raad van justitie) di Yogyakarta, kemudian pada tahun 1950 menetap tugas di Jakarta menjadi anggota Mahkamah Agung.
Setelah begitu lama bekerja di landraad yang berpindah-pindah tugas meniti sebagai hakim karier, puncak karir R. Soeprapto bukan sebagai hakim yang memutuskan hukuman bagi orang yang diadili, tetapi sebagai jaksa yang menjabat pada 1950–1959. R. Soeprapto dilantik sebagai jaksa agung oleh Presiden Sukarno pada hari Jumat, 29 Desember 1950. Pada pidatonya saat itu, ia berusaha mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk pemulihan cepat terkait hukum dan ketertiban di seluruh negeri.
Pidato yang ia ucapkan saat pelantikan menunjukkan ketegasan dari sosok jaksa agung baru. Keberaniannya melakukan pemeriksaan pejabat tinggi, mantan pejabat, pengusaha yang diduga melanggar undang-undang, mengakibatkan ia tidak disukai (Adam, 2004). Prinsipnya menempatkan hukum bukan menjadi bagian tekanan-tekanan politik dan pandangan umum, berakibat pada pelengseran pada tahun 1959. R. Soeprapto diberhentikan dengan hormat pada 1 April 1959 bukan disebabkan yang bersangkutan melakukan pelanggaran terhadap negara, tetapi karena kasus Leon Nicolaas Hubert Jungschläger dan H.C.J.G. Schmidt.
Terkait dengan pemberhentian itu, Ikatan Pengacara Indonesia memprotes pemberhentian Soeprapto sebagai Jaksa Agung menyusul pembebasan H.C.J.G. Schmidt, yang awalnya divonis penjara seumur hidup. Dalam sebuah pernyataan, asosiasi menyebutkan pemecatan itu "tidak pantas". Soeprapto tidak diberi kesempatan untuk membela diri (De Tijd De Maasbode, 7 April 1959). Sejak pembebasan terpidana yang memang masa penahanannya telah dan pemberhentian sebagai jaksa agung, ia berada di bawah pengawalan militer. Soeprapto memberikan konferensi pers di rumahnya tentang sikapnya dalam kasus ini, tetapi otoritas militer sebelumnya telah menginstruksikan semua surat kabar dan surat kabar lain di Indonesia untuk tidak melaporkan hal ini (Het Parool, 14 April 1959).
Kasus dua orang Belanda tersebut menarik perhatian karena terdakwa sudah ditahan sejak tahun 1954, tetapi tuduhan terhadap Leon Nicolaas Hubert Jungschläger gugur demi hukum karena meninggal dunia sebelum diputuskan, maka hanya H.C.J.G. Schmidt yang diadili dengan putusan hukuman seumur hidup oleh pengadilan tinggi Jakarta (De Tijd De Maasbode, 7 April 1959). Oleh karena terpidana mengajukan banding, sehingga pengadilan tinggi Jakarta memutus lebih ringan menjadi 5 tahun dipotong masa tahanan. Dengan demikian, pengadilan membebaskan H.C.J.G Schmidt. Kejaksaan Agung mengikuti prosedur peradilan ini dan memerintahkan eksekusi. Hal yang dianggap kesalahan R. Soeprapto sebagai jaksa agung adalah tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan Menteri Kehakiman, G.A. Maengkom, yang bergulir menjadi kecaman keras oleh partai-partai politik dan tidak dapat diterima oleh pemerintah. Perannya dalam pembebasan H.C.J.G. Schmidt mengatakan, R. Soeprapto mengatakan keputusannya didasarkan pada posisi akhir seorang pejabat senior pemerintah, yang namanya tidak disebutkan (Nieuwsblad van het Noorden, 9 April 1959).
Kasus ini diliputi oleh sentimen yang masih kuat karena terpidana orang Belanda, dan berdasarkan putusan pengadilan terbukti bersalah yang pada akhirnya diterima oleh semua pihak, tetapi yang menanggung beban itu adalah jaksa agung yang sesungguhnya telah menjalankan sesuai prosedur. Karena adanya kekosongan itu jabatan jaksa agung, Presiden Sukarno melantik Gatot Taroenamihardja di Jakarta sebagai pejabat sementara Jaksa Agung pada 8 April 1959 (Nieuwsblad van het Noorden, 9 April 1959). Setelah tidak menjabat, R. Soeprapto menjalani kehidupan sebagai orang biasa dan meninggal pada 2 Desember 1964. Perjuangan dan jasanya dikenang oleh bangsa ini terutama korps kejaksaan.
Penulis: Samidi
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum
Referensi
De Locomotief, 24 Mei 1921
Deli Courant, 1 Juni 1922
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 2 Juni 1914
Het nieuwsblad voor Sumatra, 30 Desember 1950
Het Parool, 14 April 1959
Nieuwsblad van het Noorden, 09 April 1959
Zutphensche courant, 21 Mei 1932
Adam, Asvi Warman. 2004. “Mengenang Keberanian Jaksa Agung Soeprapto” dalam Sinar Harapan, 2 Desember 2004. http://lipi.go.id/berita/mengenang-keberanian-jaksa-agung-soeprapto/266
Lucas, Anton E. 1989. Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.