Susanto Tirtoprodjo: Difference between revisions

From Ensiklopedia
No edit summary
No edit summary
 
(2 intermediate revisions by the same user not shown)
Line 1: Line 1:
[[File:Susanto Tirtoprodjo.jpg|center|frame|'''Mr. Susanto Tirtoprodjo (potret diri). Sumber:''' Perpustakaan Nasional; Yayasan Idayu, 1949. Catalog ID: 575167]]
[[File:Susanto Tirtoprodjo - NL-HaNA 2.24.04.03 0 11864.jpg|center|thumb|Susanto Tirtoprodjo - [http://hdl.handle.net/10648/51125ae4-0c41-019c-7072-f05b35401c0f NL-HaNA 2.24.04.03 0 11864]]]
[[Susanto Tirtoprodjo, Mr. (2)|Drs. Susanto Tirtoprodjo, S.H.]], yang memiliki semboyan hidup ''Tata'', ''Titi'', ''Tatag'', ''Tutug'', “Teratur, Teliti, Tegas, dan Tamat”, adalah pejuang dan negarawan yang menaruh kepedulian begitu mendalam pada bangsanya (Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1950: 16). Ia lahir pada 3 Maret 1900 di Solo. Ia lulus ''Rechtschool'' (Sekolah Hakim) di Jakarta pada 1920, dengan nilai tertinggi. Oleh karena itu, ia diberi tugas untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden Belanda pada 1922. Berkat keluasan wawasannya di bidang hukum, ia dianugerahi “''Kana Prijs''”, sebuah hadiah prestisius karena mendapat nilai terbaik dalam ujian ''Doktoraal Nederlands Recht'' pada 1925 (Tirtoprodjo, 1960: 70).
 
 
 
Drs. Susanto Tirtoprodjo, S.H., yang memiliki semboyan hidup ''Tata'', ''Titi'', ''Tatag'', ''Tutug'', “Teratur, Teliti, Tegas, dan Tamat”, adalah pejuang dan negarawan yang menaruh kepedulian begitu mendalam pada bangsanya (Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1950: 16). Ia lahir pada 3 Maret 1900 di Solo. Ia lulus ''Rechtschool'' (Sekolah Hakim) di Jakarta pada 1920, dengan nilai tertinggi. Oleh karena itu, ia diberi tugas untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden Belanda pada 1922. Berkat keluasan wawasannya di bidang hukum, ia dianugerahi “''Kana Prijs''”, sebuah hadiah prestisius karena mendapat nilai terbaik dalam ujian ''Doktoraal Nederlands Recht'' pada 1925 (Tirtoprodjo, 1960: 70).


Bahkan di bulan-bulan terakhir menjelang wafat, pada 16 November 1969, ia masih sempat menulis surat dengan tulisan tangan rapi, dialamatkan ke ''Kompas'' pada 21 Oktober 1969 (''Kompas'', 22 Oktober: 02). Surat itu berisi tentang saran pemilihan umum (Pemilu), ia menyarankan agar dalam undang-undang Pemilu perlu ditambahkan peraturan yang secara eksplisit menyatakan bahwa dalam pencalonan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan [[Dewan Perwakilan Rakyat- Gotong Royong (DPR-GR)|Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)]] harus disertai pernyataan dari pihak yang mencalonkan, bahwa mereka mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Selain itu, mereka juga diminta untuk berjanji agar tidak mengubah dasar negara itu. Saran ini sengaja diungkapkan agar penyelenggaraan Pemilu tetap menjamin eksistensi Pancasila sebagai dasar negara, tanpa adanya perubahan sedikit pun (''Kompas'', 18 Nov 1969: 1).  
Bahkan di bulan-bulan terakhir menjelang wafat, pada 16 November 1969, ia masih sempat menulis surat dengan tulisan tangan rapi, dialamatkan ke ''Kompas'' pada 21 Oktober 1969 (''Kompas'', 22 Oktober: 02). Surat itu berisi tentang saran pemilihan umum (Pemilu), ia menyarankan agar dalam undang-undang Pemilu perlu ditambahkan peraturan yang secara eksplisit menyatakan bahwa dalam pencalonan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan [[Dewan Perwakilan Rakyat- Gotong Royong (DPR-GR)|Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)]] harus disertai pernyataan dari pihak yang mencalonkan, bahwa mereka mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Selain itu, mereka juga diminta untuk berjanji agar tidak mengubah dasar negara itu. Saran ini sengaja diungkapkan agar penyelenggaraan Pemilu tetap menjamin eksistensi Pancasila sebagai dasar negara, tanpa adanya perubahan sedikit pun (''Kompas'', 18 Nov 1969: 1).  
Line 12: Line 15:
Dalam Pemerintahan Darurat RI di Jawa, yang resminya disebut, “Komisariat Pemerintahan Pusat Jawa” (KPPD 1948-1949), ia menjabat sebagai Menteri Kehakiman, merangkap Menteri Penerangan, mulai Desember 1948-Juni 1949. Dalam “pemerintahan gerilya” ini, ia hampir ditembak Belanda bersama dengan almarhum Menteri Pemuda Supeno (''Kompas'', 18 Nov 1969:1). Pengalaman empiriknya selama bergerilya ditulis dalam buku berjudul “''Najoko Lelono''” (Menteri Berkelana), diterbitkan oleh PPK. Karyanya ini berbentuk tembang ''Macapat'' (syair berlagu), yang ditulis dalam Bahasa Jawa. Selama 7 bulan bergerilya, istrinya mempertahankan kelangsungan hidup dengan membuat dan menjual telor asin (Tirtoprodjo, 1962:17).  
Dalam Pemerintahan Darurat RI di Jawa, yang resminya disebut, “Komisariat Pemerintahan Pusat Jawa” (KPPD 1948-1949), ia menjabat sebagai Menteri Kehakiman, merangkap Menteri Penerangan, mulai Desember 1948-Juni 1949. Dalam “pemerintahan gerilya” ini, ia hampir ditembak Belanda bersama dengan almarhum Menteri Pemuda Supeno (''Kompas'', 18 Nov 1969:1). Pengalaman empiriknya selama bergerilya ditulis dalam buku berjudul “''Najoko Lelono''” (Menteri Berkelana), diterbitkan oleh PPK. Karyanya ini berbentuk tembang ''Macapat'' (syair berlagu), yang ditulis dalam Bahasa Jawa. Selama 7 bulan bergerilya, istrinya mempertahankan kelangsungan hidup dengan membuat dan menjual telor asin (Tirtoprodjo, 1962:17).  


Susanto juga biasa menuangkan gagasannya secara tertulis, ia menerbitkan “''Berita Negara''”, brosur “''Tjambuk Perdjuangan''” dan “''Penggembleng Semangat''”, bersama-sama dengan Menteri Soepeno. Selain itu, ragam karangannya juga dimuat dalam majalah “''De Stuw''” dan “''Timbul''”, yang pada waktu itu dipimpin oleh Sanoesi Pane dan Mr Singgih di Yogyakarta (Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1950: 16). Selain itu, ia juga masih memiliki tulisan yang belum terbit, tentang pengalaman gerilya, naskah itu diberi judul “''Pelita Gerilya''” (Tirtoprodjo, 1960: 71). Susanto juga menulis tentang risalah perkembangan pergerakan Nasional Indonesia, dengan judul ''Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (1908-1945)'' terbit pada April 1962 dan ''Sedjarah Revolusi Nasional Indonesia: Tahapan Revolusi Bersendjata, 1945-1950'' terbit pada 1962 oleh PT Pembangunan Djakarta (Tirtoprodjo, 1962).
Susanto juga biasa menuangkan gagasannya secara tertulis, ia menerbitkan “''Berita Negara''”, brosur “''Tjambuk Perdjuangan''” dan “''Penggembleng Semangat''”, bersama-sama dengan Menteri Soepeno. Selain itu, ragam karangannya juga dimuat dalam majalah “''De Stuw''” dan “''Timbul''”, yang pada waktu itu dipimpin oleh Sanoesi Pane dan Mr Singgih di Yogyakarta (Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1950: 16). Selain itu, ia juga masih memiliki tulisan yang belum terbit, tentang pengalaman gerilya, naskah itu diberi judul “''Pelita Gerilya''” (Tirtoprodjo, 1960: 71). Susanto juga menulis tentang risalah perkembangan pergerakan Nasional Indonesia, dengan judul ''Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (1908-1945)'' terbit pada April 1962 dan ''Sedjarah Revolusi Nasional Indonesia: Tahapan Revolusi Bersendjata, 1945-1950'' terbit pada 1962 oleh PT Pembangunan Djakarta (Tirtoprodjo, 1962).[[File:Susanto Tirtoprodjo.jpg|frame|'''Mr. Susanto Tirtoprodjo (potret diri). Sumber:''' Perpustakaan Nasional; Yayasan Idayu, 1949. Catalog ID: 575167]]Pada 4 Januari 1950, Susanto Tirtoprodjo bersama dengan Moh. Natsir dan Dr. Abdul Halim ditunjuk oleh Mr. Assaat untuk membentuk formatur Kabinet Republik Indonesia dalam lingkup nasional. Formatur kabinet tersebut akhirnya terbentuk pada 16 Januari, Susanto Tirtoprodjo menduduki posisi sebagai Menteri Dalam Negeri (Departemen Penerangan, 1953: 325). Sebagai Menteri Dalam Negeri, Susanto selalu berupaya mengedepankan asas perdamaian, sebagaimana yang tercermin dari langkah-langkah diplomatis yang ditempuhnya. Misalnya, terkait dengan konflik yang terjadi antara Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Tengah (DPR-ST) dan Gubernur Nasroen. Konflik ini dipicu oleh adanya polarisasi antara kelompok yang ingin mempertahankan ''status quo'', kenyamanan dan kejayaan pada masa Belanda dan kelompok yang ingin melepaskan diri dari jeratan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Pada 7 Juli 1950, Susanto tiba di Sumatera Tengah dan mengadakan serangkaian pertemuan dengan DPR-ST untuk mencari solusi atas konflik yang terjadi. Menteri Susanto menegaskan bahwa dirinya sengaja datang ke Sumatera Tengah dengan harapan penuh agar dapat mengakrabkan kembali relasi antara DPR-ST dengan Gubernur Nasroen. Namun, usaha itu gagal, karena DPR-ST tetap kukuh mempertahankan Mosi Tan Tuah. Selain itu, rekan-rekannya juga sudah kehilangan kepercayaan pada Gubernur Nasroen, yang dinilai bersikap terlalu moderat pada kaum federal, sedangkan Gubernur Nasroen tidak bersedia meneruskan jabatannya sebagai Kepala Daerah jika tidak mendapat dukungan penuh dari Dewan Pemerintahan (Hakiem, 2019: 281).
 
Pada 4 Januari 1950, Susanto Tirtoprodjo bersama dengan Moh. Natsir dan Dr. Abdul Halim ditunjuk oleh Mr. Assaat untuk membentuk formatur Kabinet Republik Indonesia dalam lingkup nasional. Formatur kabinet tersebut akhirnya terbentuk pada 16 Januari, Susanto Tirtoprodjo menduduki posisi sebagai Menteri Dalam Negeri (Departemen Penerangan, 1953: 325). Sebagai Menteri Dalam Negeri, Susanto selalu berupaya mengedepankan asas perdamaian, sebagaimana yang tercermin dari langkah-langkah diplomatis yang ditempuhnya. Misalnya, terkait dengan konflik yang terjadi antara Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Tengah (DPR-ST) dan Gubernur Nasroen. Konflik ini dipicu oleh adanya polarisasi antara kelompok yang ingin mempertahankan ''status quo'', kenyamanan dan kejayaan pada masa Belanda dan kelompok yang ingin melepaskan diri dari jeratan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Pada 7 Juli 1950, Susanto tiba di Sumatera Tengah dan mengadakan serangkaian pertemuan dengan DPR-ST untuk mencari solusi atas konflik yang terjadi. Menteri Susanto menegaskan bahwa dirinya sengaja datang ke Sumatera Tengah dengan harapan penuh agar dapat mengakrabkan kembali relasi antara DPR-ST dengan Gubernur Nasroen. Namun, usaha itu gagal, karena DPR-ST tetap kukuh mempertahankan Mosi Tan Tuah. Selain itu, rekan-rekannya juga sudah kehilangan kepercayaan pada Gubernur Nasroen, yang dinilai bersikap terlalu moderat pada kaum federal, sedangkan Gubernur Nasroen tidak bersedia meneruskan jabatannya sebagai Kepala Daerah jika tidak mendapat dukungan penuh dari Dewan Pemerintahan (Hakiem, 2019: 281).


Kiprah Susanto tidak hanya terbatas di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Pengalaman diplomatiknya dijalankan setelah selesai mengemban tugas sebagai Gubernur Nusa Tenggara periode 1950-1952, ia dipilih sebagai Komisaris Agung Republik Indonesia di Belanda. Setelah itu, ditunjuk sebagai duta besar RI di Paris untuk periode 1955-1959. Mengingat beragam amanah yang pernah diemban, beliau dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra III dan Bintang Gerilya dari Presiden pada tahun 1960, sebuah penghargaan yang merepresentasikan besarnya jasa bakti beliau pada ibu pertiwi (''Kompas'', 18 Nov 1969: 1).
Kiprah Susanto tidak hanya terbatas di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Pengalaman diplomatiknya dijalankan setelah selesai mengemban tugas sebagai Gubernur Nusa Tenggara periode 1950-1952, ia dipilih sebagai Komisaris Agung Republik Indonesia di Belanda. Setelah itu, ditunjuk sebagai duta besar RI di Paris untuk periode 1955-1959. Mengingat beragam amanah yang pernah diemban, beliau dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra III dan Bintang Gerilya dari Presiden pada tahun 1960, sebuah penghargaan yang merepresentasikan besarnya jasa bakti beliau pada ibu pertiwi (''Kompas'', 18 Nov 1969: 1).


Penulis: Fanada Sholihah
{{Penulis|Fanada Sholihah|Universitas Diponegoro|Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.}}




Line 44: Line 45:


Tirtoprodjo, Susanto (1969) “Pembatja Menulis: Saran-saran Mengenai Pemilihan Umum”, ''Kompas'', 22 Oktober, hlm. 02.
Tirtoprodjo, Susanto (1969) “Pembatja Menulis: Saran-saran Mengenai Pemilihan Umum”, ''Kompas'', 22 Oktober, hlm. 02.
[[Category:Tokoh]]
{{Comment}} [[Category:Tokoh]]

Latest revision as of 00:26, 13 September 2024

Susanto Tirtoprodjo - NL-HaNA 2.24.04.03 0 11864


Drs. Susanto Tirtoprodjo, S.H., yang memiliki semboyan hidup Tata, Titi, Tatag, Tutug, “Teratur, Teliti, Tegas, dan Tamat”, adalah pejuang dan negarawan yang menaruh kepedulian begitu mendalam pada bangsanya (Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1950: 16). Ia lahir pada 3 Maret 1900 di Solo. Ia lulus Rechtschool (Sekolah Hakim) di Jakarta pada 1920, dengan nilai tertinggi. Oleh karena itu, ia diberi tugas untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden Belanda pada 1922. Berkat keluasan wawasannya di bidang hukum, ia dianugerahi “Kana Prijs”, sebuah hadiah prestisius karena mendapat nilai terbaik dalam ujian Doktoraal Nederlands Recht pada 1925 (Tirtoprodjo, 1960: 70).

Bahkan di bulan-bulan terakhir menjelang wafat, pada 16 November 1969, ia masih sempat menulis surat dengan tulisan tangan rapi, dialamatkan ke Kompas pada 21 Oktober 1969 (Kompas, 22 Oktober: 02). Surat itu berisi tentang saran pemilihan umum (Pemilu), ia menyarankan agar dalam undang-undang Pemilu perlu ditambahkan peraturan yang secara eksplisit menyatakan bahwa dalam pencalonan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus disertai pernyataan dari pihak yang mencalonkan, bahwa mereka mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Selain itu, mereka juga diminta untuk berjanji agar tidak mengubah dasar negara itu. Saran ini sengaja diungkapkan agar penyelenggaraan Pemilu tetap menjamin eksistensi Pancasila sebagai dasar negara, tanpa adanya perubahan sedikit pun (Kompas, 18 Nov 1969: 1).

Susanto memiliki pengalaman kerja yang luas dan beraneka warna. Dari 1925-1933, ia menjadi ketua pengadilan Negeri dan pengadilan Kepolisian (Landgerecht) di berbagai tempat (Tirtoprodjo, 1960: 70). Sebelum kemerdekaan, 1933-1941, ia menjadi Gedeputeerde Dewan Perwakilan Provinsi Jawa Timur (Tirtoprodjo, 1960: 71). Pada 1940, ia menjadi anggota Provinciale Raad oost Java (Dewan Propinsi Jawa Timur) dan Vereeninging Locale Belangen (Perhimpunan Kepentingan-Kepentingan Daerah Swatantara), dengan mayoritas anggota terdiri dari pejabat-pejabat Tinggi Belanda (Departemen Dalam Negeri, 1996: 77). Selama berpuluh-puluh tahun, ia juga aktif bergerak di lapangan pengadilan dan pamong praja serta di bidang diplomasi (Tirtoprodjo, 1960: 71). Ia pernah menduduki beragam jabatan sebagai pamong praja. Pada 1941-1944 menjadi wali kota Madiun. Pada 1944-1945, sebagai Bupati Pacitan/ Ponorogo. Pada 1945-1946, sebagai Residen Madiun. Pada 1950-1952, sebagai Gubernur Nusa Tenggara.

Susanto Tirtoprodjo juga menjadi delegasi dalam perjanjian Linggarjati bersama dengan tokoh-tokoh lain, seperti Sjahrir, H. Agus Salim, Dr. A.K Gani, dan lainnya (Anwar, 2004: 181). Selanjutnya, selama periode clash atau Agresi Militer Belanda ke-1 dan ke-2 (pertengahan 1947–hingga akhir tahun 1949), Susanto Tirtoprodjo, S.H. diberi kepercayaan untuk memimpin Departemen Kehakiman. Meskipun pada periode ini, hampir setiap 6 bulan, terjadi krisis kabinet pemerintah, jabatan menteri kehakiman tetap diamanahkan padanya (Departemen Penerangan RI, 1966: 496).

Selama menjadi Menteri kehakiman, ia bekerja sama secara profesional dengan Ketua Mahkamah Agung, Dr. Kusumah Atmadja S. H., dan Jaksa Agung Tirtawinata, S.H., untuk memberi bimbingan dan pengarahan kepada para Hakim dan Jaksa di seluruh Jawa, Madura, dan Sumatra. Setidaknya, pada waktu itu, sudah diselenggarakan dua kali konferensi untuk para hakim dan jaksa, yaitu di Tawangmangu dan Madiun. Tujuan utama penyelenggaraan konferensi tersebut adalah menginternalisasi rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugas. Selain itu, juga pentingnya memupuk rasa kepercayaan akan kekuatan diri sendiri agar tidak lagi selalu memandang apa yang dahulu diwariskan oleh pemerintah jajahan sebagai sesuatu yang lebih unggul dan digdaya. Baginya, pembelajaran seperti ini penting untuk menunjukkan kepribadian bangsa Indonesia yang independen dalam bidang pengadilan (Departemen Penerangan RI 1966: 496).

Dalam Pemerintahan Darurat RI di Jawa, yang resminya disebut, “Komisariat Pemerintahan Pusat Jawa” (KPPD 1948-1949), ia menjabat sebagai Menteri Kehakiman, merangkap Menteri Penerangan, mulai Desember 1948-Juni 1949. Dalam “pemerintahan gerilya” ini, ia hampir ditembak Belanda bersama dengan almarhum Menteri Pemuda Supeno (Kompas, 18 Nov 1969:1). Pengalaman empiriknya selama bergerilya ditulis dalam buku berjudul “Najoko Lelono” (Menteri Berkelana), diterbitkan oleh PPK. Karyanya ini berbentuk tembang Macapat (syair berlagu), yang ditulis dalam Bahasa Jawa. Selama 7 bulan bergerilya, istrinya mempertahankan kelangsungan hidup dengan membuat dan menjual telor asin (Tirtoprodjo, 1962:17).

Susanto juga biasa menuangkan gagasannya secara tertulis, ia menerbitkan “Berita Negara”, brosur “Tjambuk Perdjuangan” dan “Penggembleng Semangat”, bersama-sama dengan Menteri Soepeno. Selain itu, ragam karangannya juga dimuat dalam majalah “De Stuw” dan “Timbul”, yang pada waktu itu dipimpin oleh Sanoesi Pane dan Mr Singgih di Yogyakarta (Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1950: 16). Selain itu, ia juga masih memiliki tulisan yang belum terbit, tentang pengalaman gerilya, naskah itu diberi judul “Pelita Gerilya” (Tirtoprodjo, 1960: 71). Susanto juga menulis tentang risalah perkembangan pergerakan Nasional Indonesia, dengan judul Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (1908-1945) terbit pada April 1962 dan Sedjarah Revolusi Nasional Indonesia: Tahapan Revolusi Bersendjata, 1945-1950 terbit pada 1962 oleh PT Pembangunan Djakarta (Tirtoprodjo, 1962).

Mr. Susanto Tirtoprodjo (potret diri). Sumber: Perpustakaan Nasional; Yayasan Idayu, 1949. Catalog ID: 575167

Pada 4 Januari 1950, Susanto Tirtoprodjo bersama dengan Moh. Natsir dan Dr. Abdul Halim ditunjuk oleh Mr. Assaat untuk membentuk formatur Kabinet Republik Indonesia dalam lingkup nasional. Formatur kabinet tersebut akhirnya terbentuk pada 16 Januari, Susanto Tirtoprodjo menduduki posisi sebagai Menteri Dalam Negeri (Departemen Penerangan, 1953: 325). Sebagai Menteri Dalam Negeri, Susanto selalu berupaya mengedepankan asas perdamaian, sebagaimana yang tercermin dari langkah-langkah diplomatis yang ditempuhnya. Misalnya, terkait dengan konflik yang terjadi antara Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Tengah (DPR-ST) dan Gubernur Nasroen. Konflik ini dipicu oleh adanya polarisasi antara kelompok yang ingin mempertahankan status quo, kenyamanan dan kejayaan pada masa Belanda dan kelompok yang ingin melepaskan diri dari jeratan kolonialisme dan imperialisme Belanda. Pada 7 Juli 1950, Susanto tiba di Sumatera Tengah dan mengadakan serangkaian pertemuan dengan DPR-ST untuk mencari solusi atas konflik yang terjadi. Menteri Susanto menegaskan bahwa dirinya sengaja datang ke Sumatera Tengah dengan harapan penuh agar dapat mengakrabkan kembali relasi antara DPR-ST dengan Gubernur Nasroen. Namun, usaha itu gagal, karena DPR-ST tetap kukuh mempertahankan Mosi Tan Tuah. Selain itu, rekan-rekannya juga sudah kehilangan kepercayaan pada Gubernur Nasroen, yang dinilai bersikap terlalu moderat pada kaum federal, sedangkan Gubernur Nasroen tidak bersedia meneruskan jabatannya sebagai Kepala Daerah jika tidak mendapat dukungan penuh dari Dewan Pemerintahan (Hakiem, 2019: 281).

Kiprah Susanto tidak hanya terbatas di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Pengalaman diplomatiknya dijalankan setelah selesai mengemban tugas sebagai Gubernur Nusa Tenggara periode 1950-1952, ia dipilih sebagai Komisaris Agung Republik Indonesia di Belanda. Setelah itu, ditunjuk sebagai duta besar RI di Paris untuk periode 1955-1959. Mengingat beragam amanah yang pernah diemban, beliau dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputra III dan Bintang Gerilya dari Presiden pada tahun 1960, sebuah penghargaan yang merepresentasikan besarnya jasa bakti beliau pada ibu pertiwi (Kompas, 18 Nov 1969: 1).

Penulis: Fanada Sholihah
Instansi: Universitas Diponegoro
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.


Referensi

“Drs Susanto Tirtoprodjo Meninggal Dunia”, Kompas, 18 Nov  1969, hlm. 1.

Anwar, Rosihan (2004) Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Departemen Dalam Negeri (1996) Departemen Dalam Negeri dari Masa ke Masa tentang Biografi Menteri-Menteri 1945-1995. Jakarta: Departemen Dalam Negeri Bagian Perpustaakaan bekerjasama dengan Bp “Muara Agung Jakarta” cv.

Departemen Penerangan (1953) Daerah istimewa Jogjakarta. Jakarta: Kementerian Penerangan.

Departemen Penerangan (1954) Susunan Kabinet-Kabinet R.I. dan Riwajat Hidup Ringkas Para Menteri 1945- 1953. Jakarta Bagian Dokumentasi, Departemen Penerangan.

Departemen Penerangan RI (1966) 20 Tahun Indonesia Merdeka, volume 2. Jakarta. Departemen Penerangan.

Hakiem, Lukman (2019) Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan. Jakarta. Pustaka al-Kautsar.

Kementerian Penerangan Republik Indonesia (1950), Kabinet Republik Indonesia Ibu Kota Republik Indonesia, akhir Februari 1950.

Tirtoprodjo, Susanto (1960). Sejarah pergerakan Nasional Indonesia. Djakarta: PT Pembangunan Djakarta,

Tirtoprodjo, Susanto (1962) Sedjarah Revolusi Nasional Indonesia: Tahapan Revolusi Bersendjata, 1945-1950. Djakarta: PT Pembangunan Djakarta, Gunung Sahari 84.

Tirtoprodjo, Susanto (1969) “Pembatja Menulis: Saran-saran Mengenai Pemilihan Umum”, Kompas, 22 Oktober, hlm. 02.