Pranoto Reksosamodra: Difference between revisions
(Created page with "Jenderal Pranoto Reksosamodra lahir di Desa Bagelen, Purworejo pada 16 April 1923. Setelah memperoleh pendidikan awal, yang diingatnya banyak diisi bernyanyi dan bermain serta menghafal surat-surat Al-Fatihah dan dan Ikhlas (Bachtiar 2014: 5 dan 19), Pranoto pada 1928 memulai sekolah di HIS Muhammadiyah Kemayoran. Namun karena harus pindah ke Bagelen, Pranoto melanjutkan sekolah di HIS Katolik Paus Pius yang ada di Bagelen dan lulus pada 1937 (Bachtiar 2014: 24-25). Se...") |
No edit summary |
||
(4 intermediate revisions by the same user not shown) | |||
Line 1: | Line 1: | ||
[[File:Pranoto Reksosamodra - Buku Sejarah TNI-AD Kodam VII Diponegoro 1968.jpg|center|thumb|Pranoto Reksosamodra. Sumber: [https://books.google.co.id/books/about/Sedjarah_TNI_AD_Kodam_VII_Diponegoro.html?id=nT3OAAAAMAAJ&redir_esc=y Repro dari Buku ''Sejarah TNI-AD Kodam VII Diponegoro'' (1968)]]] | |||
Jenderal Pranoto Reksosamodra lahir di Desa Bagelen, Purworejo pada 16 April 1923. Setelah memperoleh pendidikan awal, yang diingatnya banyak diisi bernyanyi dan bermain serta menghafal surat-surat Al-Fatihah dan dan Ikhlas (Bachtiar 2014: 5 dan 19), Pranoto pada 1928 memulai sekolah di [[Hollandsch Inlandsche School (HIS)|HIS]] [[Muhammadiyah]] Kemayoran. Namun karena harus pindah ke Bagelen, Pranoto melanjutkan sekolah di HIS Katolik Paus Pius yang ada di Bagelen dan lulus pada 1937 (Bachtiar 2014: 24-25). Selanjutnya Pranoto melanjutkan ke MULO Muhammadiyah di Yogyakarta. Setelah lulus dari MULO pada 1 Agustus 1940, ia melanjutkan ke sekolah guru, yaitu ''Hogere Inlandsche Kweekschool'' (HIK) Muhammadiyah di Yogyakarta juga dan lulus pada 1942 (Bachtiar 2014: 34 dan 36). | |||
Setelah lulus dari HIK, Pranoto diterima menjadi guru SMP di Pekalongan. Namun, Pranoto tertarik untuk masuk pendidikan militer dan mengikuti pendidikan militer [[Pembela Tanah Air (PETA)]] angkatan pertama (Bachtiar 2014: 37). Setelah tamat dan diwisuda menjadi ''Shudancho'' (Letnan Dua)'','' Pranoto ditugaskan di ''Dai Ichi Daidan'' (Batalyon Satu) di Wates, Yogyakarta bersama dengan ''Shudancho'' Soeharto (kelak menjadi Presiden ke-2 RI). Di kesatuan PETA, Pranoto ditugaskan di bagian pendidikan yang sering kali dikirim untuk mengikuti pendidikan tambahan seperti ''Eiseiho Kyukyu Ho'' (latihan Pertolongan Pertama pada Kecelakaan, ''Kendho'' (anggar gaya Jepang), ''Sumo'' (gulat gaya Jepang), ''Hato Tsu Kyoiku'' (Latihan menggunakan merpati pos dan lain-lain (Bachtiar 2014: 38-40). | |||
Persoalan politik pada 1965 mengubah kehidupan Pranoto Reksosamodra karena keluarnya surat penahanan bagi dirinya pada 16 Februari 1966 dengan tuduhan terlibat dalam G30S. Sejak 1966 statusnya diubah menjadi tahanan rumah yang dijalaninya hingga 16 Februari 1981 (Bachtiar, 2014: 194-195 dan 259). | Ketika pecah perang kemerdekaan, Pranoto segera bergabung dengan [[Badan Keamanan Rakyat|Badan Keamanan Rakyat (BKR)]] di Yogyakarta dan pada 1947 ditunjuk menjadi Komandan Batalyon 1 Resimen XXI Divisi IX/Diponegoro (Bachtiar 2014: 41). Sejak itu ia aktif dalam tugas-tugas kemiliteran. Serangan terhadap Tangsi Kotabaru yang ditempati bekas tentara dan orang-orang sipil Jepang dan tempat menyimpan senjata menjadi salah satu kenangan hidupnya. Setelah itu, Pranoto tidak pernah absen dalam tugas-tugas militer selama masa revolusi. Pada 1956 Pranoto menjadi Komandan Gerakan Banteng Nasional dalam penumpasan [[Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII)|DI/TII]] di Slawi Jawa Tengah dan pada 1958 menjadi Panglima Komando Operasi 17 menghadapi pemberontakan [[PRRI/PERMESTA|PRRI]] di Sumatera Barat (Bachtiar 2014: 42, 109-111 dan 118). | ||
Jabatan yang pernah dipegang Pranoto antara lain adalah Kepala Staf T&T IV/Divisi Diponegoro pada 1957 (Bachtiar, 2014: 115-117). Tidak lama memegang jabatan tersebut, Pranoto mendapat tugas belajar ke [[Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD)|Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD)]], Kursus C Bandung yang dijalaninya sejak 26 Maret 1957 sampai 30 Januari 1958. Setelah menyelesaikan tugas belajarnya, pada 1959, Pranoto diberi tugas sebagai Panglima T&T IV/Divisi Diponegoro menggantikan Kolonel Soeharto dengan pangkat Kolonel Infanteri (Bachtiar 2014: 149). Pada 1961, setelah jabatan Panglima T&T IV/Divisi Diponegoro digantikan Brigjen [[Mohammad Sarbini Martodihardjo|M. Sarbini]], [[Sukarno|Presiden Sukarno]] memberi tugas Pranoto untuk menjadi bagian dari rombongan “Missie Yani”, yaitu misi Angkatan Darat untuk pembelian alat dan senjata ke Eropa Barat, Amerika dan beberapa negara di Asia (Bachtiar 2014: 169-170). | |||
Sepulangnya dari perjalanan “Missie Yani”, Pranoto diberi tugas sebagai Wakil Ketua Staf Komando Gabungan 3 (Wakastaf G III KOTI) Komando Tertinggi APRI, yaitu Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Jakarta (Bachtiar, 2014: 172-173). Sejak 1 Juli 1962 Pranoto diangkat menjadi Asisten III Menteri Panglima Angkatan Darat, meskipun masih tetap menjadi Wakastaf G III KOTI (Bachtiar 2014: 180) Pada 1965, Pranoto diangkat Presiden Sukarno sebagai ''Caretaker'' Menteri Panglima Angkatan Darat. Ketika ''Caretaker'' Menpangad diserahkan kepada Soeharto, Pranoto diberi tugas dalam urusan sehari-hari (''daily duty'') (Bachtiar 2014: 181 dan 191, ''<nowiki>https://www.merdeka.com</nowiki>,'' Lev, 1966: 109). | |||
Persoalan politik pada 1965 mengubah kehidupan Pranoto Reksosamodra karena keluarnya surat penahanan bagi dirinya pada 16 Februari 1966 dengan tuduhan terlibat dalam [[G30S/Gestok Tahun 1965|G30S]]. Sejak 1966 statusnya diubah menjadi tahanan rumah yang dijalaninya hingga 16 Februari 1981 (Bachtiar, 2014: 194-195 dan 259). | |||
Selama bertugas dalam dunia militer, tanda penghargaan dan tanda jasa yang diperoleh Pranoto adalah Medali Sewindu Angkatan Perang RI (1957), Satya Lantjana Peristiwa Aksi Militer I (1958), Satya Lantjana Peristiwa Aksi Militer II (1958), Tanda Jasa Pahlawan/Bintang Gerilya (1958), Satya Lantjana Kesetiaan VIII (1958), Satya Lantjana Kesetiaan XVI (1958), Satya Lantjana Kesetiaan XVI (1958), Satya Lantjana Sapta Marga (1959), Satya Lantjana Gerakan Operasi Militer VI (1959), dan Satya Lantjana Satya Dharma (1962) (Bachtiar 2014: 259). | Selama bertugas dalam dunia militer, tanda penghargaan dan tanda jasa yang diperoleh Pranoto adalah Medali Sewindu Angkatan Perang RI (1957), Satya Lantjana Peristiwa Aksi Militer I (1958), Satya Lantjana Peristiwa Aksi Militer II (1958), Tanda Jasa Pahlawan/Bintang Gerilya (1958), Satya Lantjana Kesetiaan VIII (1958), Satya Lantjana Kesetiaan XVI (1958), Satya Lantjana Kesetiaan XVI (1958), Satya Lantjana Sapta Marga (1959), Satya Lantjana Gerakan Operasi Militer VI (1959), dan Satya Lantjana Satya Dharma (1962) (Bachtiar 2014: 259). | ||
Line 15: | Line 19: | ||
Pranoto Reksosamodra meninggal dunia pada 9 Juni 1992 dan dimakamkan di Tanah Kusir. Pada 2001, Pranoto masih mendapatkan tanda penghargaan sebagai Eksponen Pejoang Angkatan 45 dari Dewan Harian Daerah Angkatan 45 DKI Jakarta (Bachtiar 2014: 259). | Pranoto Reksosamodra meninggal dunia pada 9 Juni 1992 dan dimakamkan di Tanah Kusir. Pada 2001, Pranoto masih mendapatkan tanda penghargaan sebagai Eksponen Pejoang Angkatan 45 dari Dewan Harian Daerah Angkatan 45 DKI Jakarta (Bachtiar 2014: 259). | ||
Penulis | {{Penulis|Asti Kurniawati|Universitas Sebelas Maret|Dr. Farabi Fakih, M.Phil.}} | ||
Line 25: | Line 29: | ||
“Pranoto Reksosamodra, Nasib Tragis Jenderal Pilihan Soekarno”, ''<nowiki>https://www.merdeka.com/peristiwa/pranoto-reksosamodra-nasib-tragis-jenderal-pilihan-soekarno.html</nowiki>'' | “Pranoto Reksosamodra, Nasib Tragis Jenderal Pilihan Soekarno”, ''<nowiki>https://www.merdeka.com/peristiwa/pranoto-reksosamodra-nasib-tragis-jenderal-pilihan-soekarno.html</nowiki>'' | ||
{{Comment}} | |||
[[Category:Tokoh]] | [[Category:Tokoh]] |
Latest revision as of 02:08, 17 September 2024
Jenderal Pranoto Reksosamodra lahir di Desa Bagelen, Purworejo pada 16 April 1923. Setelah memperoleh pendidikan awal, yang diingatnya banyak diisi bernyanyi dan bermain serta menghafal surat-surat Al-Fatihah dan dan Ikhlas (Bachtiar 2014: 5 dan 19), Pranoto pada 1928 memulai sekolah di HIS Muhammadiyah Kemayoran. Namun karena harus pindah ke Bagelen, Pranoto melanjutkan sekolah di HIS Katolik Paus Pius yang ada di Bagelen dan lulus pada 1937 (Bachtiar 2014: 24-25). Selanjutnya Pranoto melanjutkan ke MULO Muhammadiyah di Yogyakarta. Setelah lulus dari MULO pada 1 Agustus 1940, ia melanjutkan ke sekolah guru, yaitu Hogere Inlandsche Kweekschool (HIK) Muhammadiyah di Yogyakarta juga dan lulus pada 1942 (Bachtiar 2014: 34 dan 36).
Setelah lulus dari HIK, Pranoto diterima menjadi guru SMP di Pekalongan. Namun, Pranoto tertarik untuk masuk pendidikan militer dan mengikuti pendidikan militer Pembela Tanah Air (PETA) angkatan pertama (Bachtiar 2014: 37). Setelah tamat dan diwisuda menjadi Shudancho (Letnan Dua), Pranoto ditugaskan di Dai Ichi Daidan (Batalyon Satu) di Wates, Yogyakarta bersama dengan Shudancho Soeharto (kelak menjadi Presiden ke-2 RI). Di kesatuan PETA, Pranoto ditugaskan di bagian pendidikan yang sering kali dikirim untuk mengikuti pendidikan tambahan seperti Eiseiho Kyukyu Ho (latihan Pertolongan Pertama pada Kecelakaan, Kendho (anggar gaya Jepang), Sumo (gulat gaya Jepang), Hato Tsu Kyoiku (Latihan menggunakan merpati pos dan lain-lain (Bachtiar 2014: 38-40).
Ketika pecah perang kemerdekaan, Pranoto segera bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Yogyakarta dan pada 1947 ditunjuk menjadi Komandan Batalyon 1 Resimen XXI Divisi IX/Diponegoro (Bachtiar 2014: 41). Sejak itu ia aktif dalam tugas-tugas kemiliteran. Serangan terhadap Tangsi Kotabaru yang ditempati bekas tentara dan orang-orang sipil Jepang dan tempat menyimpan senjata menjadi salah satu kenangan hidupnya. Setelah itu, Pranoto tidak pernah absen dalam tugas-tugas militer selama masa revolusi. Pada 1956 Pranoto menjadi Komandan Gerakan Banteng Nasional dalam penumpasan DI/TII di Slawi Jawa Tengah dan pada 1958 menjadi Panglima Komando Operasi 17 menghadapi pemberontakan PRRI di Sumatera Barat (Bachtiar 2014: 42, 109-111 dan 118).
Jabatan yang pernah dipegang Pranoto antara lain adalah Kepala Staf T&T IV/Divisi Diponegoro pada 1957 (Bachtiar, 2014: 115-117). Tidak lama memegang jabatan tersebut, Pranoto mendapat tugas belajar ke Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD), Kursus C Bandung yang dijalaninya sejak 26 Maret 1957 sampai 30 Januari 1958. Setelah menyelesaikan tugas belajarnya, pada 1959, Pranoto diberi tugas sebagai Panglima T&T IV/Divisi Diponegoro menggantikan Kolonel Soeharto dengan pangkat Kolonel Infanteri (Bachtiar 2014: 149). Pada 1961, setelah jabatan Panglima T&T IV/Divisi Diponegoro digantikan Brigjen M. Sarbini, Presiden Sukarno memberi tugas Pranoto untuk menjadi bagian dari rombongan “Missie Yani”, yaitu misi Angkatan Darat untuk pembelian alat dan senjata ke Eropa Barat, Amerika dan beberapa negara di Asia (Bachtiar 2014: 169-170).
Sepulangnya dari perjalanan “Missie Yani”, Pranoto diberi tugas sebagai Wakil Ketua Staf Komando Gabungan 3 (Wakastaf G III KOTI) Komando Tertinggi APRI, yaitu Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Jakarta (Bachtiar, 2014: 172-173). Sejak 1 Juli 1962 Pranoto diangkat menjadi Asisten III Menteri Panglima Angkatan Darat, meskipun masih tetap menjadi Wakastaf G III KOTI (Bachtiar 2014: 180) Pada 1965, Pranoto diangkat Presiden Sukarno sebagai Caretaker Menteri Panglima Angkatan Darat. Ketika Caretaker Menpangad diserahkan kepada Soeharto, Pranoto diberi tugas dalam urusan sehari-hari (daily duty) (Bachtiar 2014: 181 dan 191, https://www.merdeka.com, Lev, 1966: 109).
Persoalan politik pada 1965 mengubah kehidupan Pranoto Reksosamodra karena keluarnya surat penahanan bagi dirinya pada 16 Februari 1966 dengan tuduhan terlibat dalam G30S. Sejak 1966 statusnya diubah menjadi tahanan rumah yang dijalaninya hingga 16 Februari 1981 (Bachtiar, 2014: 194-195 dan 259).
Selama bertugas dalam dunia militer, tanda penghargaan dan tanda jasa yang diperoleh Pranoto adalah Medali Sewindu Angkatan Perang RI (1957), Satya Lantjana Peristiwa Aksi Militer I (1958), Satya Lantjana Peristiwa Aksi Militer II (1958), Tanda Jasa Pahlawan/Bintang Gerilya (1958), Satya Lantjana Kesetiaan VIII (1958), Satya Lantjana Kesetiaan XVI (1958), Satya Lantjana Kesetiaan XVI (1958), Satya Lantjana Sapta Marga (1959), Satya Lantjana Gerakan Operasi Militer VI (1959), dan Satya Lantjana Satya Dharma (1962) (Bachtiar 2014: 259).
Pranoto Reksosamodra meninggal dunia pada 9 Juni 1992 dan dimakamkan di Tanah Kusir. Pada 2001, Pranoto masih mendapatkan tanda penghargaan sebagai Eksponen Pejoang Angkatan 45 dari Dewan Harian Daerah Angkatan 45 DKI Jakarta (Bachtiar 2014: 259).
Penulis: Asti Kurniawati
Instansi: Universitas Sebelas Maret
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Bachtiar, Imelda (2014) Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra. Dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya. Jakarta: Kompas.
Lev, Daniel S., “Indonesia 1965: The Year of the Coup”, Asian Survey, Vol. 6, No. 2 (Feb., 1966), pp. 103-110.
“Pranoto Reksosamodra, Nasib Tragis Jenderal Pilihan Soekarno”, https://www.merdeka.com/peristiwa/pranoto-reksosamodra-nasib-tragis-jenderal-pilihan-soekarno.html