Sindoesoedarsono Sudjojono: Difference between revisions
No edit summary |
No edit summary |
||
(One intermediate revision by the same user not shown) | |||
Line 1: | Line 1: | ||
[[File:Sindoesoedarsono Sudjojono - Arsip S. Sudjojono Center.jpg|center|thumb|412x412px|Sindoesoedarsono Sudjojono. Sumber: [https://www.ssudjojonocenter.com/ Arsip S. Sudjojono Center]]] | |||
S. Soedjojono atau Sindudarsono Sudjojono adalah seorang pelukis ternama Indonesia. Ia mendapat julukan Bapak Seni Lukis Modern Indonesia, Bapak Nasionalisme Seni Lukis Indonesia, tonggak seni lukis modern Indonesia, dan pelopor pembaharuan seni lukis modern Indonesia; semua julukan tersebut karena sumbangan pemikirannya tentang pengembangan seni lukis yang khas Indonesia. Soedjojono berasal dari keluarga transmigran dari Pulau Jawa. Ia lahir di Kisaran, Sumatera Utara, pada 15 Mei 1913. Ia diangkat anak oleh Yudhokusumo, seorang guru HIS, yang memberinya nama panggilan Djon. Sudjojono diajak ke Jakarta pada 1925. Setelah tamat dari HIS di Jakarta, ia melanjutkan pendidikan di Cimahi lalu ke sekolah [[Taman Siswa]] di Yogyakarta. Seni lukis menjadi mata pelajaran penting dalam kurikulum sekolah [[Taman Siswa]]. Beberapa pelukis seperti Sudjojono, Basuki Resobowo, Rusli, dan Alibasjah pada satu saat dan saat lain adalah murid, guru, atau keduanya di sekolah itu. Benih-benih yang ditanam di [[Taman Siswa]] memberi kontribusi awal yang kemudian memunculkan gerakan baru dalam seni lukis melalui Sudjojono (Holt 2000: 278). | S. Soedjojono atau Sindudarsono Sudjojono adalah seorang pelukis ternama Indonesia. Ia mendapat julukan Bapak Seni Lukis Modern Indonesia, Bapak Nasionalisme Seni Lukis Indonesia, tonggak seni lukis modern Indonesia, dan pelopor pembaharuan seni lukis modern Indonesia; semua julukan tersebut karena sumbangan pemikirannya tentang pengembangan seni lukis yang khas Indonesia. Soedjojono berasal dari keluarga transmigran dari Pulau Jawa. Ia lahir di Kisaran, Sumatera Utara, pada 15 Mei 1913. Ia diangkat anak oleh Yudhokusumo, seorang guru HIS, yang memberinya nama panggilan Djon. Sudjojono diajak ke Jakarta pada 1925. Setelah tamat dari HIS di Jakarta, ia melanjutkan pendidikan di Cimahi lalu ke sekolah [[Taman Siswa]] di Yogyakarta. Seni lukis menjadi mata pelajaran penting dalam kurikulum sekolah [[Taman Siswa]]. Beberapa pelukis seperti Sudjojono, Basuki Resobowo, Rusli, dan Alibasjah pada satu saat dan saat lain adalah murid, guru, atau keduanya di sekolah itu. Benih-benih yang ditanam di [[Taman Siswa]] memberi kontribusi awal yang kemudian memunculkan gerakan baru dalam seni lukis melalui Sudjojono (Holt 2000: 278). | ||
Line 39: | Line 41: | ||
Yuliman, Sanento (1976). Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. | Yuliman, Sanento (1976). Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. | ||
[[Category:Tokoh]] | {{Comment}} [[Category:Tokoh]] |
Latest revision as of 02:33, 17 September 2024
S. Soedjojono atau Sindudarsono Sudjojono adalah seorang pelukis ternama Indonesia. Ia mendapat julukan Bapak Seni Lukis Modern Indonesia, Bapak Nasionalisme Seni Lukis Indonesia, tonggak seni lukis modern Indonesia, dan pelopor pembaharuan seni lukis modern Indonesia; semua julukan tersebut karena sumbangan pemikirannya tentang pengembangan seni lukis yang khas Indonesia. Soedjojono berasal dari keluarga transmigran dari Pulau Jawa. Ia lahir di Kisaran, Sumatera Utara, pada 15 Mei 1913. Ia diangkat anak oleh Yudhokusumo, seorang guru HIS, yang memberinya nama panggilan Djon. Sudjojono diajak ke Jakarta pada 1925. Setelah tamat dari HIS di Jakarta, ia melanjutkan pendidikan di Cimahi lalu ke sekolah Taman Siswa di Yogyakarta. Seni lukis menjadi mata pelajaran penting dalam kurikulum sekolah Taman Siswa. Beberapa pelukis seperti Sudjojono, Basuki Resobowo, Rusli, dan Alibasjah pada satu saat dan saat lain adalah murid, guru, atau keduanya di sekolah itu. Benih-benih yang ditanam di Taman Siswa memberi kontribusi awal yang kemudian memunculkan gerakan baru dalam seni lukis melalui Sudjojono (Holt 2000: 278).
Saat di Yogyakarta Sudjojono belajar melukis pada Mas Pirngadie. Ia juga belajar pada pelukis Jepang Yazaki di Jakarta. Ia mendapatkan teori pencampuran warna dari Mas Pirngadie, tetapi tidak selalu sepaham karena menurut Sudjojono warna seharusnya didasarkan pada rasa, bukan pada tabel. Sementara itu dari Yazaki ia mendapatkan banyak pengalaman untuk memajukan seni lukisnya dengan kepribadian yang kuat (Kusnadi 1986: 191).
Sudjojono mulai dikenal sebagai pelukis setelah mengikuti pameran bersama para pelukis Eropa di Bataviasche Kunstkring pada 1937. Pada tahun yang sama, ia dan beberapa pelukis lain—Agoes Djajasoeminta, Otto Djaja Soentara, R.GA Soekirno, Rameli, Abdulsalam, L. Sutijoso, H. Hoetagaloeng, S. Toetoer, Soerono, Sindusworo, Wakidi, Hendrodjasmoro, dan Syuaib Sastradiwirjo—mendirikan Persatoean Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Organisasi ini dipimpin oleh Agoes Djaja sebagai ketua, sedangkan Sudjojono menjadi sekretaris dan juru bicara. Persagi dibentuk sebagai wadah bagi para anggotanya untuk bertemu, berlatih bersama, dan mendiskusikan pengembangan seni lukis yang khas Indonesia dan kesadaran nasionalisme dalam seni rupa (Wahono 2017: xxvi). Selain di Jakarta, di Bandung juga muncul para para pelukis dengan gagasan yang sejalan dengan Persagi, yaitu Sjafei Sumardja, Affandi, dan Hendra Gunawan (Yuliman 1976: 11).
Mereka mengkritik para pelukis dengan gaya lukisan Mooi Indie atau Hindia Molek yang hanya menyuguhkan keindahan pemandangan alam tanpa menyajikan problematika dan dinamika. Lukisan-lukisan Mooi Indie dianggap tidak mencerminkan penghayatan kejiwaan yang lebih dalam dari pelukisnya, melainkan lebih sebagai hasil cerapan turistik dengan tujuan komersial (Kusnadi 1986: 190). Selain itu, mereka tidak melukiskan pemandangan alam sebagaimana adanya dengan “menghilangkan” jejak peradaban modern seperti tiang listrik dan bangunan pabrik dan “memindahkan” pohon dan semak-semak ke dalam lukisan mereka demi menghasilkan kesan alami dan segar (Yuliman 1976: 7). Dalam suasana memuncaknya nasionalisme, Sudjojono mendesak teman-teman sesama seniman untuk menggambarkan realitas dan kebenaran dalam karya mereka, dan dengan demikian menentukan identitas mereka sebagai orang Indonesia (Holt 2000: 281).
Persagi dibubarkan pada masa pendudukan Jepang. Para pelukis yang bergabung di dalamnya kemudian masuk ke dalam Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan) yang dibentuk pada 1945. Sudjojono, Agus Djaja, dan Affandi berperan penting dalam membina perkembangan seni lukis melalui lembaga ini. Setelah proklamasi kemerdekaan, para pelukis menjadikan Yogyakarta sebagai pusat kegiatan seni lukis seiring dengan pindahnya pusat pemerintahan Indonesia ke kota itu. Affandi bersama Rusli, Hendra, dan Harijadi membentuk perkumpulan Seni Rupa Masyarakat pada 1946. Pada 1947 mereka bergabung dengan Sudjojono dalam Seniman Indonesia Muda (SIM). SIM dibentuk di Madiun pada 1946, kemudian pindah ke Surakarta pada 1947 dan akhirnya ke Yogyakarta pada 1948 (Yuliman 1976: 11).
Gagasan Sudjojono menjadi tonggak bagi perkembangan seni lukis modern di Indonesia. Sudjojono menyatakan bahwa lukisan merupakan cermin jiwa pelukisnya. Nilai karya seni tidak ditentukan berdasar konvensi keindahan, tetapi oleh jiwa seniman yang menciptakannya. Oleh karena itu ia menyebut kesenian sebagai jiwa yang tampak (Sudjojono 2000: 92). Corak sapuan kuas seorang pelukis tidak bisa berdusta. Ia mengumpamakannya sebagai sidik jari pencuri: “Hij is de vinger afdruk van den dief” (Sudjojono, 2000: 30). Oleh karena itu seniman tidak cukup hanya menguasai teknik keahlian di bidangnya. Untuk menjadi seniman tulen, ia harus memiliki watak “bares” atau jujur, cinta pada kebenaran, dan nasionalis. Kebenaran dan keindahan merupakan satu kesatuan. Kebenaran dengan sendirinya akan memperlihatkan keindahan sejauh kebenaran itu “bares”, tidak dibuat-buat dan tanpa dusta pada hatinya sendiri (Sudjojono 2000: 52; Sudjojono 2017: 157–159).
Watak luhur itulah yang harus menjadi dasar bagi pengembangan seni lukis Indonesia baru agar dapat menginspirasi publik karena “watak luhur bisa menggetarkan samudera inspirasi yang ada di langit” (Sudjojono 2000: 39). Seniman harus menjaga dan terus membesarkan watak luhur sepanjang hidupnya karena mereka seringkali menghadapi banyak godaan seperti ingin mendapatkan banyak uang, nama, dan penghargaan. Seniman dengan watak luhur itu menjadi lebih peka untuk menangkap dan menjeritkan penindasan dan ketidakadilan serta kepedihan hidup manusia, bangsa, dan tanah tumpah darahnya. Atas alasan itu pula seorang seniman akan dengan sendirinya menjadi seorang nasionalis. Sudjojono tidak mengaitkan nasionalisme dengan politik, melainkan dengan perasaan yang halus dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran (Sudjojono 2000: 33).
Sudjojono tidak terpaku pada satu gaya lukisan. Lukisan “Cap Go Meh” misalnya, memperlihatkan gaya naif keprimitifan, sementara lukisan “Perempuan di Muka Kelambu” memperlihatkan gaya ekspresionisme yang murni. Namun pada 1950-an ia mengerucutkan pemikirannya tentang jalan pengembangan seni lukis Indonesia modern pada satu gaya yaitu realisme agar seni bisa lebih dimengerti oleh rakyat (Kusnadi 1986: 194). Transformasi ini membuat lukisannya hampir fotografis dari apa yang ia istilahkan realitas. Hal ini terjadi karena sedang mendukung realisme sosial yang diusung oleh kaum komunis (Holt 2000: 384). Ia giat mempromosikan gagasan itu melalui berbagai forum kesenian seperti ceramah dan seminar, dan pameran seni lukis. Ia juga aktif membina dan membimbing pelukis-pelukis muda melalui SIM di Yogyakarta pada 1957–1959 dan Sanggar Pelukis Rakyat (Soenarto PR 1986: 194; Wahono 2017: xxx).
Pada masa itu SIM telah berafiliasi dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada Pemilihan Umum (Pemilu 1955), dengan dukungan PKI, Sudjojono memenangkan kursi di Parlemen. Namun pada 1958 ia keluar secara resmi dari keanggotaannya dalam PKI. Setelah itu ia tinggal di Jakarta dan masih terus berkarya (Holt 2000: 528). Pada Januari 1986, ia masih mengikuti pameran lukisan yang diselenggarakan oleh Direktorat Kesenian walaupun saat itu tengah terbaring di rumah sakit dan akhirnya meninggal pada 26 Maret 1986.
Penulis: Mahendra Pudji Utama
Referensi
“Tentang Pelaku Seni: S Sudjojono” (http://arsip.galeri-nasional.or.id/pelaku_ seni/s-sudjojono/karya).
Holt, Claire (2000). Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terjemahan R.M. Soedarsono. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Kusnadi, “S. Sudjojono Dan Afandi, Sebagai Pelopor Pembaharuan Seni Lukis Indonesia”, Horison No. 6 Thn. XX, Juni 1986, hlm. 190-194”, diakses melalui https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Berkas:Horison_06_ 1986.pdf&page=2.
Soenarto PR, “Mengenang S. Sudjojono ( SS 101 )”, Horison No. 6 Thn. XX, Juni 1986, hlm. 189 dan 194”, diakses melalui https://id.wikipedia.org/w/index. php?title=Berkas:Horison_06_1986.pdf&page=2.
Sudjojono, S. (2000). Seni Lukis, Kesenian dan Seniman. Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia. Diterbitkan pertama kali oleh Indonesia Sekarang, Yogyakarta, 1946.
Sudjojono, S. (2017). Cerita tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Supangkat, Jim (2000). “Kata Pengantar”, dalam S. Sudjojono, Seni Lukis, Kesenian dan Kesenian. Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia.
Wahono, Sri Warso (2017). “Misteri Kode SS 101 S. Sudjojono”, dalam S. Sudjojono, Cerita tentang Saya dan Orang-orang Sekitar Saya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. xxv-xxxii.
Yuliman, Sanento (1976). Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.