Van Heutsz: Difference between revisions

From Ensiklopedia
m (Admin moved page Johannes Benedictus van Heutsz to Van Heutsz without leaving a redirect)
No edit summary
 
(2 intermediate revisions by the same user not shown)
Line 1: Line 1:
[[File:Van Heutsz - KITLV 28703.jpg|center|thumb|Van Heutsz. Sumber: [http://hdl.handle.net/1887.1/item:803206 Koleksi Digital KITLV - 28703]]]




Line 5: Line 7:
Melalui strategi itulah, solidaritas rakyat Aceh dipecah sehingga mereka mampu ditaklukkan. Snouck Hurgronje kemudian membantu perancangan sebuah perjanjian pendek atau ''korte verklaring'' yang harus ditandatangani oleh para penguasa Aceh. Perjanjian ini secara politik menyatakan bahwa para penguasa tersebut tunduk pada pemerintahan Hindia Belanda. Format ''korte verklaring'' di Aceh ini kemudian menjadi standar dalam perjanjian-perjanjian Hindia Belanda dengan daerah taklukan lain di Nusantara.
Melalui strategi itulah, solidaritas rakyat Aceh dipecah sehingga mereka mampu ditaklukkan. Snouck Hurgronje kemudian membantu perancangan sebuah perjanjian pendek atau ''korte verklaring'' yang harus ditandatangani oleh para penguasa Aceh. Perjanjian ini secara politik menyatakan bahwa para penguasa tersebut tunduk pada pemerintahan Hindia Belanda. Format ''korte verklaring'' di Aceh ini kemudian menjadi standar dalam perjanjian-perjanjian Hindia Belanda dengan daerah taklukan lain di Nusantara.


Setelah berhasil menangani Aceh, Johanes Benedictus van Heutsz kemudian dilantik sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ia melakukan beberapa perubahan signifikan dalam tata kelola pemerintahan Hindia Belanda untuk menyukseskan program Politik Etis yang digagas Kerajaan Belanda. Ia melarang pejabat pemerintah Hindia-Belanda menggunakan payung khas raja-raja Jawa (Meer, 2020: 62). Van Heutsz memandang penggunaan simbol raja-raja Jawa sebagai atribut kedinasan Hindia Belanda tak lebih sebagai pembodohan kolonial abad ke-19. Beberapa kelompok konservatif mengkritik Gubernur Jenderal dengan memberi pandangan bahwa payung bukan sekadar simbol, tetapi merupakan wujud fisik dari kekuasaan itu sendiri. Pertentangan di sekitar kebijakan Van Heutsz ini pun sampai ke telinga Ratu Wilhelmina. Menteri Urusan Koloni kemudian meyakinkan ratu bahwa tindakan Van Heutsz sejalan dengan cita-cita politik etis yang ratu promosikan pada 1901 (Meer, 2020: 65).
Setelah berhasil menangani Aceh, Johanes Benedictus van Heutsz kemudian dilantik sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ia melakukan beberapa perubahan signifikan dalam tata kelola pemerintahan Hindia Belanda untuk menyukseskan program [[Politik Etis]] yang digagas Kerajaan Belanda. Ia melarang pejabat pemerintah Hindia-Belanda menggunakan payung khas raja-raja Jawa (Meer, 2020: 62). Van Heutsz memandang penggunaan simbol raja-raja Jawa sebagai atribut kedinasan Hindia Belanda tak lebih sebagai pembodohan kolonial abad ke-19. Beberapa kelompok konservatif mengkritik Gubernur Jenderal dengan memberi pandangan bahwa payung bukan sekadar simbol, tetapi merupakan wujud fisik dari kekuasaan itu sendiri. Pertentangan di sekitar kebijakan Van Heutsz ini pun sampai ke telinga Ratu Wilhelmina. Menteri Urusan Koloni kemudian meyakinkan ratu bahwa tindakan Van Heutsz sejalan dengan cita-cita politik etis yang ratu promosikan pada 1901 (Meer, 2020: 65).


Pada masa pemerintahan Van Heutsz sekolah-sekolah mulai dibuka. Van Heutsz didukung oleh Menteri Urusan Koloni yang selama tiga tahun (1905-1908) dijabat oleh Dirk Fock yang mendukung ide-ide pendidikan massa. Mereka mendirikan sekolah-sekolah keteknikan dan pendidikan vokasional. Beberapa sekolah vokasi pertama yang dibuka pada tahun 1909 bertempat di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sementara dua tahun sebelumnya, yakni pada 1907, Van Heutsz juga mendorong dibukanya ''volkschool'' atau sekolah rakyat. Van Heutsz juga dikenal mendukung organisasi Budi Utomo dan pers seperti Bintang Hindia (Ricklefs, t.t.: 197-203). Dukungan terhadap Bintang Hindia ini pun didasarkan pada kecenderungan sikap lembaga pers tersebut yang pro terhadap pemerintah Hindia Belanda (Poeze, 1989: 100).
Pada masa pemerintahan Van Heutsz sekolah-sekolah mulai dibuka. Van Heutsz didukung oleh Menteri Urusan Koloni yang selama tiga tahun (1905-1908) dijabat oleh Dirk Fock yang mendukung ide-ide pendidikan massa. Mereka mendirikan sekolah-sekolah keteknikan dan pendidikan vokasional. Beberapa sekolah vokasi pertama yang dibuka pada tahun 1909 bertempat di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sementara dua tahun sebelumnya, yakni pada 1907, Van Heutsz juga mendorong dibukanya ''volkschool'' atau sekolah rakyat. Van Heutsz juga dikenal mendukung organisasi [[Boedi Oetomo|Budi Utomo]] dan pers seperti Bintang Hindia (Ricklefs, t.t.: 197-203). Dukungan terhadap Bintang Hindia ini pun didasarkan pada kecenderungan sikap lembaga pers tersebut yang pro terhadap pemerintah Hindia Belanda (Poeze, 1989: 100).


Walau demikian, pemerintahan Van Heutsz juga dikenal sebagai salah satu periode paling berdarah dalam sejarah Nusantara. Selain Aceh, Van Heutsz juga mengobarkan peperangan di wilayah lain, seperti Seram di Maluku pada tahun 1904, Banjarmasin di tahun 1904-1906, Bone dan beberapa wilayah lain di Sulawesi bagian tengah dan selatan pada 1905-1907, Bali pada 1906, dan Flores tahun 1909. Ekspansi terhadap wilayah-wilayah tersebut didasari oleh keinginan untuk menyeragamkan administrasi dengan memangkas dan membatasi kewenangan raja-raja lokal di Nusantara ke bawah daulat Ratu Wilhelmina di Belanda (Locher-Scholten, 1994: 95-98).
Walau demikian, pemerintahan Van Heutsz juga dikenal sebagai salah satu periode paling berdarah dalam sejarah Nusantara. Selain Aceh, Van Heutsz juga mengobarkan peperangan di wilayah lain, seperti Seram di Maluku pada tahun 1904, Banjarmasin di tahun 1904-1906, Bone dan beberapa wilayah lain di Sulawesi bagian tengah dan selatan pada 1905-1907, Bali pada 1906, dan Flores tahun 1909. Ekspansi terhadap wilayah-wilayah tersebut didasari oleh keinginan untuk menyeragamkan administrasi dengan memangkas dan membatasi kewenangan raja-raja lokal di Nusantara ke bawah daulat Ratu Wilhelmina di Belanda (Locher-Scholten, 1994: 95-98).
Line 25: Line 27:


Khusyairi, Johny A (2011) Memori atas Tiga Gubernur Jenderal di Hindia: Coen, Daendels dan van Heutsz di Belanda. ''Media Masyarakat, Kebudayaan dan Politik.'' 24(2), 117-129.
Khusyairi, Johny A (2011) Memori atas Tiga Gubernur Jenderal di Hindia: Coen, Daendels dan van Heutsz di Belanda. ''Media Masyarakat, Kebudayaan dan Politik.'' 24(2), 117-129.
[[Category:Tokoh]]
{{Comment}} [[Category:Tokoh]]

Latest revision as of 03:29, 17 September 2024

Van Heutsz. Sumber: Koleksi Digital KITLV - 28703


Johannes Benedictus van Heutsz adalah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menjabat pada tahun 1904 hingga 1909. Ia lahir di Coevorden, Belanda, pada 3 Februari 1851. Sebelum menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Heutsz menjabat sebagai Gubernur Aceh sejak 1898-1904. Didampingi oleh seorang penasihat yang ahli tentang Islam, bernama Snouck Hurgronje, Van Heutsz berhasil memadamkan perlawanan rakyat Aceh. Ketika menyadari bahwa penggerak utama perlawanan rakyat Aceh adalah ulama, Van Heutsz dan Snouck Hurgronje mendekati para tetua adat yang disebut Uleebalang yang sejak lama mampu mengimbangi peran para ulama (Locher-Scholten, 1994: 108, Ricklefs, 2008: 184-185).

Melalui strategi itulah, solidaritas rakyat Aceh dipecah sehingga mereka mampu ditaklukkan. Snouck Hurgronje kemudian membantu perancangan sebuah perjanjian pendek atau korte verklaring yang harus ditandatangani oleh para penguasa Aceh. Perjanjian ini secara politik menyatakan bahwa para penguasa tersebut tunduk pada pemerintahan Hindia Belanda. Format korte verklaring di Aceh ini kemudian menjadi standar dalam perjanjian-perjanjian Hindia Belanda dengan daerah taklukan lain di Nusantara.

Setelah berhasil menangani Aceh, Johanes Benedictus van Heutsz kemudian dilantik sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ia melakukan beberapa perubahan signifikan dalam tata kelola pemerintahan Hindia Belanda untuk menyukseskan program Politik Etis yang digagas Kerajaan Belanda. Ia melarang pejabat pemerintah Hindia-Belanda menggunakan payung khas raja-raja Jawa (Meer, 2020: 62). Van Heutsz memandang penggunaan simbol raja-raja Jawa sebagai atribut kedinasan Hindia Belanda tak lebih sebagai pembodohan kolonial abad ke-19. Beberapa kelompok konservatif mengkritik Gubernur Jenderal dengan memberi pandangan bahwa payung bukan sekadar simbol, tetapi merupakan wujud fisik dari kekuasaan itu sendiri. Pertentangan di sekitar kebijakan Van Heutsz ini pun sampai ke telinga Ratu Wilhelmina. Menteri Urusan Koloni kemudian meyakinkan ratu bahwa tindakan Van Heutsz sejalan dengan cita-cita politik etis yang ratu promosikan pada 1901 (Meer, 2020: 65).

Pada masa pemerintahan Van Heutsz sekolah-sekolah mulai dibuka. Van Heutsz didukung oleh Menteri Urusan Koloni yang selama tiga tahun (1905-1908) dijabat oleh Dirk Fock yang mendukung ide-ide pendidikan massa. Mereka mendirikan sekolah-sekolah keteknikan dan pendidikan vokasional. Beberapa sekolah vokasi pertama yang dibuka pada tahun 1909 bertempat di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sementara dua tahun sebelumnya, yakni pada 1907, Van Heutsz juga mendorong dibukanya volkschool atau sekolah rakyat. Van Heutsz juga dikenal mendukung organisasi Budi Utomo dan pers seperti Bintang Hindia (Ricklefs, t.t.: 197-203). Dukungan terhadap Bintang Hindia ini pun didasarkan pada kecenderungan sikap lembaga pers tersebut yang pro terhadap pemerintah Hindia Belanda (Poeze, 1989: 100).

Walau demikian, pemerintahan Van Heutsz juga dikenal sebagai salah satu periode paling berdarah dalam sejarah Nusantara. Selain Aceh, Van Heutsz juga mengobarkan peperangan di wilayah lain, seperti Seram di Maluku pada tahun 1904, Banjarmasin di tahun 1904-1906, Bone dan beberapa wilayah lain di Sulawesi bagian tengah dan selatan pada 1905-1907, Bali pada 1906, dan Flores tahun 1909. Ekspansi terhadap wilayah-wilayah tersebut didasari oleh keinginan untuk menyeragamkan administrasi dengan memangkas dan membatasi kewenangan raja-raja lokal di Nusantara ke bawah daulat Ratu Wilhelmina di Belanda (Locher-Scholten, 1994: 95-98).

Penulis: Haliadi-Sadi


Referensi

Locher-Scholten, Elsbeth (1994) Dutch Expansion in the Indonesia Archipelago around 1900 and the Imperialism Debate.

Meer, Arnout van der (2020) Performing Power. New York: Cornell University Press. Journal of Southeast Asian Studies. 25(1), 91-111.

Ricklefs, M.C (2008) A History of Modern Indonesia since c.1200 (4th eds.). New York: Palgrave Macmillan.

Poeze, Harry A (1989) Early Indonesian Emancipation Abdul Rivai, van Heutsz, and The Bintang Hindia. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 145(1), 87-106.

Khusyairi, Johny A (2011) Memori atas Tiga Gubernur Jenderal di Hindia: Coen, Daendels dan van Heutsz di Belanda. Media Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. 24(2), 117-129.