Charles Adriaan van Ophuijsen: Difference between revisions
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh") |
No edit summary |
||
Line 1: | Line 1: | ||
[[File:Charles Adriaan van Ophuijsen - Arsip Keluarga.jpg|thumb|Charles Adriaan van Ophuijsen - Arsip Keluarga]] | |||
Charles Adriaan van Ophuijsen adalah ahli linguistik dan pionir ejaan Bahasa Indonesia. Van Ophuijsen lahir di Solok pada 1856. Pada 1876, ia bekerja sebagai pengawas perdagangan di Mandailing Angkola (Van Ophuijsen, 1886, 402). Ketertarikannya pada sastra dan tata bahasa Batak kemungkinan diinspirasi oleh sosok bernama N. van der Tuuk yang telah mempelajari struktur bahasa Batak di Mandailing dan Angkola dan telah menerbitkan buku tata bahasa pertama di Hindia Belanda (Harahap dkk., 2017: 12-13). Berkat kegemaran van Ophuijsen dalam membaca dan menulis, ia diminta menjadi guru di ''[[Kweekschool]]'' Padang Sidempuan. Pada 1883 ia diangkat sebagai direktur sekolah tersebut. ''Kweekschool'' Padang Sidempuan merupakan salah satu sekolah guru terbaik di Hindia Belanda, selain Sekolah Guru di Probolinggo. | Charles Adriaan van Ophuijsen adalah ahli linguistik dan pionir ejaan Bahasa Indonesia. Van Ophuijsen lahir di Solok pada 1856. Pada 1876, ia bekerja sebagai pengawas perdagangan di Mandailing Angkola (Van Ophuijsen, 1886, 402). Ketertarikannya pada sastra dan tata bahasa Batak kemungkinan diinspirasi oleh sosok bernama N. van der Tuuk yang telah mempelajari struktur bahasa Batak di Mandailing dan Angkola dan telah menerbitkan buku tata bahasa pertama di Hindia Belanda (Harahap dkk., 2017: 12-13). Berkat kegemaran van Ophuijsen dalam membaca dan menulis, ia diminta menjadi guru di ''[[Kweekschool]]'' Padang Sidempuan. Pada 1883 ia diangkat sebagai direktur sekolah tersebut. ''Kweekschool'' Padang Sidempuan merupakan salah satu sekolah guru terbaik di Hindia Belanda, selain Sekolah Guru di Probolinggo. | ||
Latest revision as of 08:02, 15 November 2024
Charles Adriaan van Ophuijsen adalah ahli linguistik dan pionir ejaan Bahasa Indonesia. Van Ophuijsen lahir di Solok pada 1856. Pada 1876, ia bekerja sebagai pengawas perdagangan di Mandailing Angkola (Van Ophuijsen, 1886, 402). Ketertarikannya pada sastra dan tata bahasa Batak kemungkinan diinspirasi oleh sosok bernama N. van der Tuuk yang telah mempelajari struktur bahasa Batak di Mandailing dan Angkola dan telah menerbitkan buku tata bahasa pertama di Hindia Belanda (Harahap dkk., 2017: 12-13). Berkat kegemaran van Ophuijsen dalam membaca dan menulis, ia diminta menjadi guru di Kweekschool Padang Sidempuan. Pada 1883 ia diangkat sebagai direktur sekolah tersebut. Kweekschool Padang Sidempuan merupakan salah satu sekolah guru terbaik di Hindia Belanda, selain Sekolah Guru di Probolinggo.
Dalam perjalanan kariernya, Van Ophuijsen juga menekuni filologi dan bahasa Asia di Belanda. Pada 1908 ia ditugaskan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk merancang ortografi (sistem ejaan kebahasaan) Melayu dan Kepulauan Riau (Errington, 2008: 140). Rancangan ejaan baru itu disusun Van Ophuijsen bersama Engku Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Sutan Ibrahim, pada 1890-an (Rokhmansyah et al., 2018: 21).
Pemerintah kolonial Belanda membentuk Komisi Sekolah Pribumi dan Sastra Populer dengan tugas utama menyediakan bahan bacaan yang sesuai bagi rakyat. Sistem Ejaan Van Ophuijsen dirancang untuk membuat bahan bacaan ini secara konsisten. Van Ophuijsen sendiri telah menerbitkan bukunya, Kitab Logat Malajoe: Woordenlijst voor Spelling der Malaische Taal pada 1901, yang berisi aturan untuk romanisasi bahasa Melayu. Namun demikian, tidak semua bahasa di Nusantara dapat diterjemahkan dengan mudah menggunakan sistem ini. Masih ada upaya untuk mempertahankan unsur keaslian bahasa tersebut, yaitu pada bentuk pengucapannya (Apriadsa et al., t.t.: 22). Pada 1910, sistem tata bahasa Van Ophuijsen diterbitkan dan digunakan secara luas di Belanda untuk mendidik calon pegawai kolonial.
Bahasa Melayu merupakan lingua franca yang menurut van Ophuijsen digunakan secara luas di hampir seluruh wilayah di Sumatra dan Semenanjung Melayu serta sebagian wilayah lain di Nusantara. Van Ophuijsen menyatakan bahwa Bahasa Melayu dikategorikan “terbaik” dengan pertimbangan cakupan wilayah penutur bahasa yang luas, dari Johor hingga Riau Lingga. Selain itu, kajian van Ophuijsen telah menggunakan deskripsi filologis dan teks dari manuskrip yang ada di masyarakat, termasuk hikayat (salah satu contoh Hikajat Awang Soeloeng Merah Moeda, lebih lanjut dapat dilihat pada van Ophuijsen, 1912: 236). Meskipun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Hoffman (1973) penjelasan detail mengenai unsur dan fenomena kebahasaan yang berupa huruf dan suara, latar belakang historis, serta tata bahasa, belum ada dalam pedoman yang disusun oleh van Ophuijsen.
Kritik yang diajukan pada penerbitan pedoman tersebut yaitu bahwa Bahasa Melayu seolah-olah ditampilkan sebagai simbol kekuasaan kolonial (Errington, 2008: 141). Hal itu terbukti dari berbagai representasi lembaga dan ideologi penjajah yang menjadi orientasi penyusunan sistem pedoman tersebut. Orientasi penyusunan itu juga dapat diletakkan dalam pelaksanaan kebijakan Politik Etis yang bertujuan untuk membiasakan penduduk asli dengan dunia modern (Hoogervost dan Nordholt, 2017: 454). Dengan kata lain bahwa kajian van Ophuijsen sebenarnya merupakan proyek penyeragaman etnik Melayu yang disponsori oleh negara, sehingga bersifat state-oriented.
Dalam pelaksanaannya, Pedoman Ejaan van Ophuijsen digunakan pada ranah pendidikan di sekolah, khususnya bagi kelas menengah yang baru muncul, untuk mengenalkan konsep-konsep baru menghadapi inkonsistensi dalam memilih bunyi ketika dihadapkan pada tulisan-tulisan berbahasa Arab. Secara keseluruhan, Ejaan van Ophuijsen telah digunakan selama 46 tahun sejak diresmikan pertama kali pada 1901. Hingga pada 1947, Pemerintah Republik Indonesia mengganti Ejaan van Ophuijsen menjadi Ejaan Suwandi, meskipun tetap berlandaskan pada aturan yang berlaku menurut Ejaan van Ophuysen (Saputra et al., 2020:260). Salah satu warisan penanda lingual Ejaan van Ophuijsen adalah penulisan bunyi oe untuk menggantikan /u/, tj untuk /c/, dan j untuk /y/.
Penulis: Noor Nailil Masruroh
Referensi
Apriadsa, A. Cahyono, A. Apriadna, R. (2019). “The importance of diacritics on Dutch Historical MapToponyms in Java, Aceh and Nias”, hlm. 21-40 dalam Storms, M., et al. (Ed.). Mapping Asia: Cartographic Encouters Beteween East and West. Region Symposium of the ICA Commission on the History of Cartography. Springer.
Errington, J. (2008). Linguistics in a Colonial World: A Story of Language, Meaning, and Power. Oxford: Blackwell Publishing
Harahap, A. K., Siregar, K., Daulay, M. (2017). Pendidikan di Tapanuli Bagian Selatan: Perjalanan Panjang Perubahan Status UGN menjadi PTN. Yogyakarta: Penerbit Deepublish.
Rokhmansyah, A., Rijal, S., dan Purwanti (2018). Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Semarang: Unnes Press.
Saputra, M. P. N., dan Fitri, N. A. (2020). Teori dan Aplikasi Bahasa Indonesia. Yayasan Penerbit Muhammad Zaini.
Van Ophuijsen, Ch. A. (1886). “De Poëzie in het Bataksche Volksleven”. Bijdragen Tot de Taal, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 35(4), 402–432. http://www.jstor.org/stable/42568375
Van Ophuijsen, Ch.A (1912). Lexicographische Bijdragen. Bijdragen tot de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 66 (2), 215–236. http://www.jstor.org/stable/20769641