Tahir Jalaluddin: Difference between revisions

From Ensiklopedia
(Created page with "left|frame|Foto Syeikh Tahir Jalaluddin sewaktu masih muda berusia antara 24-30 tahun, difoto sekitar tahun 1893-99. Sumber: koleksi Alijah Gordon & Alwi bin Alhady, 1999. Syekh Tahir Jalaluddin Al-Azhari dikenal sebagai ulama dari Tanah Minang kelahiran Cangking, Agam, Sumatera Barat pada Selasa, 8 Desember 1869 M (4 Ramadan 1286 H). Nama panjangnya adalah Syekh Muhammad Tahir bin Muhammad bin Jalaluddin Ahmad bin Abdullah al-Minangkabawi a...")
 
No edit summary
 
(3 intermediate revisions by the same user not shown)
Line 1: Line 1:
[[File:Tahir Jalaluddin.jpg|left|frame|Foto Syeikh Tahir Jalaluddin sewaktu masih muda berusia antara 24-30 tahun, difoto sekitar tahun 1893-99. Sumber: koleksi Alijah Gordon & Alwi bin Alhady, 1999.]]
[[File:Tahir Jalaluddin.jpg|frame|Foto Syeikh Tahir Jalaluddin sewaktu masih muda berusia antara 24-30 tahun, difoto sekitar tahun 1893-99. Sumber: koleksi Alijah Gordon & Alwi bin Alhady, 1999.|center]]
Syekh Tahir Jalaluddin Al-Azhari dikenal sebagai ulama dari Tanah Minang kelahiran Cangking, Agam, Sumatera Barat pada Selasa, 8 Desember 1869 M (4 Ramadan 1286 H). Nama panjangnya adalah Syekh Muhammad Tahir bin Muhammad bin Jalaluddin Ahmad bin Abdullah al-Minangkabawi al-Azhari. Namanya cukup terkenal sebagai ulama di Nusantara dengan gerakan Islam modern dan pembaharu.
Syekh Tahir Jalaluddin Al-Azhari dikenal sebagai ulama dari Tanah Minang kelahiran Cangking, Agam, Sumatera Barat pada Selasa, 8 Desember 1869 M (4 Ramadan 1286 H). Nama panjangnya adalah Syekh Muhammad Tahir bin Muhammad bin Jalaluddin Ahmad bin Abdullah al-Minangkabawi al-Azhari. Namanya cukup terkenal sebagai ulama di Nusantara dengan gerakan Islam modern dan pembaharu.


Line 16: Line 16:
Syaikh Thahir Jalaluddin juga pernah belajar di Mesir (al-Azhar) pada tahun 1893-1897 (Yunus, 2001: 100). Selama di Mesir, dia banyak dipengaruhi oleh karya dan pemikiran Syaikh Muhammad Abduh (Hamka, 1982: 275; Bahtiyar, 2019: 68). Salah satu pemikiran Syaikh Thahir Jalaluddin yang cukup kontroversial adalah dukungannya terhadap hisab dalam penentuan awal bulan. Padahal, pandangan populer kala itu (terutama di Sumatera Barat) adalah menggunakan rukyat dari pendapat para ulama terdahulu. Namun Syaikh Thahir Jalaluddin tetap berpegang teguh terhadap keyakinannya sembari terus memperdalam pengetahuan di bidang ilmu falak (astronomi).
Syaikh Thahir Jalaluddin juga pernah belajar di Mesir (al-Azhar) pada tahun 1893-1897 (Yunus, 2001: 100). Selama di Mesir, dia banyak dipengaruhi oleh karya dan pemikiran Syaikh Muhammad Abduh (Hamka, 1982: 275; Bahtiyar, 2019: 68). Salah satu pemikiran Syaikh Thahir Jalaluddin yang cukup kontroversial adalah dukungannya terhadap hisab dalam penentuan awal bulan. Padahal, pandangan populer kala itu (terutama di Sumatera Barat) adalah menggunakan rukyat dari pendapat para ulama terdahulu. Namun Syaikh Thahir Jalaluddin tetap berpegang teguh terhadap keyakinannya sembari terus memperdalam pengetahuan di bidang ilmu falak (astronomi).


Syaikh Thahir Jalaluddin tercatat pernah mengembara ke beberapa wilayah seperti Singapura (1888), Riau (1892), dan Malaysia (1899). Sewaktu menetap di Singapura, Syekh Tahir kemudian menerbitkan Majalah ''Al-Imam''. Ketika di Riau, ia bertemu dengan Raja Muhammad Thahir Hakim, seorang Hakim dari Kesultanan Riau. Ia disarankan tinggal di Pulau Penyengat dan mempelajari Kitab Falak berjudul ''al-Thal‘ al-Sa‘îd.'' Syaikh Thahir Jalaluddin juga pernah sampai ke Surabaya, Buleleng, Ampenan (Bali), Sumbawa, Bima, dan Gowa. Tak pelak, perjalanan dan pengembaraannya ini menegaskan wawasan, peran dan kiprah Syaikh Thahir Jalaluddin di kepulauan Melayu-Nusantara (Butar Butar, 2018: 305).
Syaikh Thahir Jalaluddin tercatat pernah mengembara ke beberapa wilayah seperti Singapura (1888), Riau (1892), dan Malaysia (1899). Sewaktu menetap di Singapura, Syekh Tahir kemudian menerbitkan Majalah ''Al-Imam''. Ketika di Riau, ia bertemu dengan Raja Muhammad Thahir Hakim, seorang Hakim dari Kesultanan Riau. Ia disarankan tinggal di Pulau Penyengat dan mempelajari Kitab Falak berjudul ''al-Thal‘ al-Sa‘îd.'' Syaikh Thahir Jalaluddin juga pernah sampai ke Surabaya, Buleleng, Ampenan (Bali), Sumbawa, Bima, dan Gowa. Tak pelak, perjalanan dan pengembaraannya ini menegaskan wawasan, peran dan kiprah Syaikh Thahir Jalaluddin di kepulauan [[Melayu]]-Nusantara (Butar Butar, 2018: 305).


Di Malaysia, pengaruh Syaikh Thahir Jalaluddin dalam pengembangan ilmu falak sangat besar. Karena itulah didirikan sebuah lembaga bernama ''Sheikh Tahir Astronomical Center'' di Pulau Pinang, Malaysia untuk mengenang jasa-jasa Thahir Jalaluddin. Selain itu, banyak sumbangan yang telah ia curahkan untuk perkembangan ilmu. Para murid yang sempat menuntut ilmu padanya kemudian juga banyak yang menjadi ulama.
Di Malaysia, pengaruh Syaikh Thahir Jalaluddin dalam pengembangan ilmu falak sangat besar. Karena itulah didirikan sebuah lembaga bernama ''Sheikh Tahir Astronomical Center'' di Pulau Pinang, Malaysia untuk mengenang jasa-jasa Thahir Jalaluddin. Selain itu, banyak sumbangan yang telah ia curahkan untuk perkembangan ilmu. Para murid yang sempat menuntut ilmu padanya kemudian juga banyak yang menjadi ulama.
Line 22: Line 22:
Syaikh Thahir Jalaluddin meninggal dunia di Kuala Kangsar, Perak pada tahun 1376 H/1956 M (Nazwar, 1983: 20). Terdapat sederet karya Syaikh Thahir Jalaluddin dalam bidang Ilmu Falak seperti  ''Nukhbah al-Taqrîrât fî Hisâb al-Auqât wa Sumût al-Qiblat bi al-Lûghârîtmât'', ''Natîjah al-‘Umr'', ''Al-Qiblah fî al-Nushus Ulamâ’ al-Syâfi‘iyyah fi ma Yata‘allaqu bi Istiqbâl al-Qiblah al-Syar‘iyyah Manqûlah min Ummahât Kutub al-Madzhab'' serta karya-karya lainnya (Butar Butar, 2018: 305; Hamid & Malik, 2017: 68).
Syaikh Thahir Jalaluddin meninggal dunia di Kuala Kangsar, Perak pada tahun 1376 H/1956 M (Nazwar, 1983: 20). Terdapat sederet karya Syaikh Thahir Jalaluddin dalam bidang Ilmu Falak seperti  ''Nukhbah al-Taqrîrât fî Hisâb al-Auqât wa Sumût al-Qiblat bi al-Lûghârîtmât'', ''Natîjah al-‘Umr'', ''Al-Qiblah fî al-Nushus Ulamâ’ al-Syâfi‘iyyah fi ma Yata‘allaqu bi Istiqbâl al-Qiblah al-Syar‘iyyah Manqûlah min Ummahât Kutub al-Madzhab'' serta karya-karya lainnya (Butar Butar, 2018: 305; Hamid & Malik, 2017: 68).


Penulis: Mansyur
{{Penulis|Mansyur|Masyarakat Sejarah Indonesia|Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.}}




Line 42: Line 42:


Yunus, Yulizal (2001). ''Syeikh Thaher Jalaluddin''” dalam Mestika Zed (penyunting) ''Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat dan Perjuangannya''. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat.
Yunus, Yulizal (2001). ''Syeikh Thaher Jalaluddin''” dalam Mestika Zed (penyunting) ''Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat dan Perjuangannya''. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat.
[[Category:Tokoh]]
{{Comment}} [[Category:Tokoh]]

Latest revision as of 03:13, 17 September 2024

Foto Syeikh Tahir Jalaluddin sewaktu masih muda berusia antara 24-30 tahun, difoto sekitar tahun 1893-99. Sumber: koleksi Alijah Gordon & Alwi bin Alhady, 1999.

Syekh Tahir Jalaluddin Al-Azhari dikenal sebagai ulama dari Tanah Minang kelahiran Cangking, Agam, Sumatera Barat pada Selasa, 8 Desember 1869 M (4 Ramadan 1286 H). Nama panjangnya adalah Syekh Muhammad Tahir bin Muhammad bin Jalaluddin Ahmad bin Abdullah al-Minangkabawi al-Azhari. Namanya cukup terkenal sebagai ulama di Nusantara dengan gerakan Islam modern dan pembaharu.

Ia dikenal sebagai pakar Astronomi dan Ilmu Falak dari tanah Melayu.

Nama Syekh Tahir Jalaluddin bukan hanya tersohor di daerah Sumatera, tetapi dikenal hingga wilayah Singapura dan Malaysia. Karyanya, Kitab Ilmu Falak, menjadi salah satu rujukan perkembangan ilmu falak di Nusantara sampai era kekinian.

Syekh Tahir Jalaluddin berasal dari keluarga ulama dan taat beragama. Ayahnya adalah tokoh di Minangkabau dengan gelar Syekh Muhammad bergelar Tuanku Cangking (Hendri dkk., 2019: 23; Noer, 1973: 41). Kakeknya seorang ulama bernama Ahmad Jalaluddin (dengan gelar Tuanku Sami). Thahir Jalaluddin memiliki lima orang saudara, namun sejak kanak-kanak mereka telah ditinggal kedua orang tuanya. Ayahnya meninggal tatkala Thahir Jalaluddin berusia 2 tahun, sedangkan ibunya meninggal tatkala ia berusia 9 tahun. Thahir Jalaluddin diasuh oleh Limbak Urai, ibu dari Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (Hamka dalam Butar Butar, 2018: 303-304).

Pada tahun 1881, Thahir Jalaluddin yang baru berusia 11 tahun pergi ke Mekkah untuk menuntut ilmu. Di sana ia tinggal bersama Syaikh Ahmad Khatib di rumah Syaikh Muhammad Shalih al-Kurdi (mertua Ahmad Khatib). Syaikh Muhammad Shalih al-Kurdi adalah seorang pedagang buku terkemuka yang memiliki kedekatan dengan Raja (Syarif) Husain. Segenap kebutuhan Thahir Jalaluddin waktu itu dipenuhi oleh Syaikh Ahmad Khatib, yang kala itu baru berusia 19 tahun (Amir, 2008: 44-45; Butar Butar, 2018: 304).

Pada awal kedatangannya ke Mekkah, Syaikh Thahir Jalaluddin belajar ilmu-ilmu tajwid kepada Syaikh ‘Abd al-Haq. Kemudian ia belajar agama kepada Sayyid ‘Umar Syathâ, Syaikh Muhammad al-Khayyâth, dan Sayyid Bakri Syathâ’. Setelah itu, ia mempelajari berbagai bidang ilmu seperti nahu, saraf, ma‘ani, badi‘, mantik, fikih, hadits, tafsir, geometri, dan ilmu falak atau astronomi (Hamid & Malik, 2017: 67-68).

Pada zamannya, Syaikh Thahir Jalaluddin dikenal sebagai tokoh ilmu falak yang berpengaruh, sebagaimana halnya Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Ahmad Rifa’i, dan Syaikh Sholeh Darat. Sebelum Syaikh Thahir Jalaluddin, sejatinya telah ada sejumlah ulama yang menguasai ilmu falak seperti Muhammad Nur bin Nik Mat Kecik (Fathani), Jamil Jambek (Minangkabau), Abdullah Fahim (Pulau Pinang), dan Abu Bakar bin Hasan (Johor).

Syaikh Thahir Jalaluddin juga pernah belajar di Mesir (al-Azhar) pada tahun 1893-1897 (Yunus, 2001: 100). Selama di Mesir, dia banyak dipengaruhi oleh karya dan pemikiran Syaikh Muhammad Abduh (Hamka, 1982: 275; Bahtiyar, 2019: 68). Salah satu pemikiran Syaikh Thahir Jalaluddin yang cukup kontroversial adalah dukungannya terhadap hisab dalam penentuan awal bulan. Padahal, pandangan populer kala itu (terutama di Sumatera Barat) adalah menggunakan rukyat dari pendapat para ulama terdahulu. Namun Syaikh Thahir Jalaluddin tetap berpegang teguh terhadap keyakinannya sembari terus memperdalam pengetahuan di bidang ilmu falak (astronomi).

Syaikh Thahir Jalaluddin tercatat pernah mengembara ke beberapa wilayah seperti Singapura (1888), Riau (1892), dan Malaysia (1899). Sewaktu menetap di Singapura, Syekh Tahir kemudian menerbitkan Majalah Al-Imam. Ketika di Riau, ia bertemu dengan Raja Muhammad Thahir Hakim, seorang Hakim dari Kesultanan Riau. Ia disarankan tinggal di Pulau Penyengat dan mempelajari Kitab Falak berjudul al-Thal‘ al-Sa‘îd. Syaikh Thahir Jalaluddin juga pernah sampai ke Surabaya, Buleleng, Ampenan (Bali), Sumbawa, Bima, dan Gowa. Tak pelak, perjalanan dan pengembaraannya ini menegaskan wawasan, peran dan kiprah Syaikh Thahir Jalaluddin di kepulauan Melayu-Nusantara (Butar Butar, 2018: 305).

Di Malaysia, pengaruh Syaikh Thahir Jalaluddin dalam pengembangan ilmu falak sangat besar. Karena itulah didirikan sebuah lembaga bernama Sheikh Tahir Astronomical Center di Pulau Pinang, Malaysia untuk mengenang jasa-jasa Thahir Jalaluddin. Selain itu, banyak sumbangan yang telah ia curahkan untuk perkembangan ilmu. Para murid yang sempat menuntut ilmu padanya kemudian juga banyak yang menjadi ulama.

Syaikh Thahir Jalaluddin meninggal dunia di Kuala Kangsar, Perak pada tahun 1376 H/1956 M (Nazwar, 1983: 20). Terdapat sederet karya Syaikh Thahir Jalaluddin dalam bidang Ilmu Falak seperti  Nukhbah al-Taqrîrât fî Hisâb al-Auqât wa Sumût al-Qiblat bi al-Lûghârîtmât, Natîjah al-‘Umr, Al-Qiblah fî al-Nushus Ulamâ’ al-Syâfi‘iyyah fi ma Yata‘allaqu bi Istiqbâl al-Qiblah al-Syar‘iyyah Manqûlah min Ummahât Kutub al-Madzhab serta karya-karya lainnya (Butar Butar, 2018: 305; Hamid & Malik, 2017: 68).

Penulis: Mansyur
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Prof. Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M. Hum.


Referensi

Amir, Mafri (2008). Reformasi Islam Dunia Melayu-Indonesia: Studi Pemikiran, Gerakan, dan Pengaruh Syaikh Muhammad Thahir Jalaluddin 1869-1956. Jakarta: Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI.

Bahtiyar, M. Anis (2019). “Pengaruh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Terhadap Dinamika Intelektual Islam di Indonesia 1900-1947”. Skripsi pada Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Butar-Butar: Arwin Juli Rakhmadi (2018). “Kontribusi Syaikh M. Thahir Jalaluddin Dalam Bidang Ilmu Falak”, dalam Miqot Vol. XLII No. 2 Juli-Desember.

Deliar Noer (1973). Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

Hamka (1982). Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera. Jakarta: Umminda.

Hamid, Faisal Ahmad Faisal Bin Abdul & Mohd Puaad Bin Abdul Malik (2017). “Analisis Penulisan Syeikh Muhammad Tahir Jalaluddin Dalam Kitab Ta‘yid Tadhkirah Muttabi‘al-Sunnah, Journal of Al-Tamaddun 12, No.1.

Hendri, dkk (2019). “Tokoh Falak Minangkabau (Studi Pemikiran Saadoeddin Djamber dan Tahir Jalaluddin)”, dalam Islam Transformatif: Journal of Islamic Studies, Vol. 03 , No. 01, Januari-Juni.

Yunus, Yulizal (2001). Syeikh Thaher Jalaluddin” dalam Mestika Zed (penyunting) Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat dan Perjuangannya. Padang: Islamic Centre Sumatera Barat.