Soe Hok Gie: Difference between revisions

From Ensiklopedia
No edit summary
No edit summary
 
(2 intermediate revisions by the same user not shown)
Line 1: Line 1:
[[File:Soe Hok Gie - Arsip Mapala UI.jpg|center|thumb|480x480px|Soe Hok Gie. Sumber: [https://mapala.ui.ac.id/sejarah Arsip Mapala UI]]] 
Soe Hok Gie adalah seorang tokoh aktivis dalam gerakan mahasiswa 1966 dari [[Universitas Indonesia]]. Dia lahir di Kebon Jeruk, Jakarta pada 17 Desember 1942. Latar keluarga Soe Hok Gie adalah keluarga sederhana yang dekat dengan dunia sastra. Ayahnya adalah seorang sastrawan Melayu Tionghoa, Soe Lie Pit yang sempat menjadi editor majalah sastra bulanan, ''Penghidoepan'' tahun 1928-1929 dan menerbitkan sekurangnya lima belas novel, cerita pendek, esai serta catatan perjalanan (Maxwell, 2005: 17-18). Soe juga adik dari Arief Budiman (Soe Hok Djin, 3 Januari 1941–23 April 2020) yang juga seorang tokoh intelektual terkemuka di Indonesia.  
Soe Hok Gie adalah seorang tokoh aktivis dalam gerakan mahasiswa 1966 dari [[Universitas Indonesia]]. Dia lahir di Kebon Jeruk, Jakarta pada 17 Desember 1942. Latar keluarga Soe Hok Gie adalah keluarga sederhana yang dekat dengan dunia sastra. Ayahnya adalah seorang sastrawan Melayu Tionghoa, Soe Lie Pit yang sempat menjadi editor majalah sastra bulanan, ''Penghidoepan'' tahun 1928-1929 dan menerbitkan sekurangnya lima belas novel, cerita pendek, esai serta catatan perjalanan (Maxwell, 2005: 17-18). Soe juga adik dari Arief Budiman (Soe Hok Djin, 3 Januari 1941–23 April 2020) yang juga seorang tokoh intelektual terkemuka di Indonesia.  


Line 25: Line 27:
Pasca kematiannya penerbit LP3ES menerbitkan catatan hariannya dengan judul ''Catatan Seorang Demonstran'' oleh LP3ES pada tahun 1983. Karya-karya studinya diterbitkan pada tahun 1990 dimulai dengan skripsi sarjana mudanya ''Di Bawah Lentera Merah: Riwajat Sarekat Islam Semarang 1917-''1920. Sebuah film diproduksi pada tahun 2005 dengan judul ''Gie'' dengan sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana.
Pasca kematiannya penerbit LP3ES menerbitkan catatan hariannya dengan judul ''Catatan Seorang Demonstran'' oleh LP3ES pada tahun 1983. Karya-karya studinya diterbitkan pada tahun 1990 dimulai dengan skripsi sarjana mudanya ''Di Bawah Lentera Merah: Riwajat Sarekat Islam Semarang 1917-''1920. Sebuah film diproduksi pada tahun 2005 dengan judul ''Gie'' dengan sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana.


Penulis: Yerry Wirawan  
{{Penulis|Yerry Wirawan|Universitas Sanata Dharma|Dr. Farabi Fakih, M.Phil.}}




Line 35: Line 37:


Sam Setyautama, Suma Mihardja. ''Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia''. Jakarta: KPG, 2008.
Sam Setyautama, Suma Mihardja. ''Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia''. Jakarta: KPG, 2008.
[[Category:Tokoh]]
{{Comment}} [[Category:Tokoh]]

Latest revision as of 02:38, 17 September 2024

Soe Hok Gie. Sumber: Arsip Mapala UI

Soe Hok Gie adalah seorang tokoh aktivis dalam gerakan mahasiswa 1966 dari Universitas Indonesia. Dia lahir di Kebon Jeruk, Jakarta pada 17 Desember 1942. Latar keluarga Soe Hok Gie adalah keluarga sederhana yang dekat dengan dunia sastra. Ayahnya adalah seorang sastrawan Melayu Tionghoa, Soe Lie Pit yang sempat menjadi editor majalah sastra bulanan, Penghidoepan tahun 1928-1929 dan menerbitkan sekurangnya lima belas novel, cerita pendek, esai serta catatan perjalanan (Maxwell, 2005: 17-18). Soe juga adik dari Arief Budiman (Soe Hok Djin, 3 Januari 1941–23 April 2020) yang juga seorang tokoh intelektual terkemuka di Indonesia.

Soe Hok Gie menempuh studi sarjananya di jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) pada tahun 1961. Masa perkuliahannya ini merupakan fase kehidupan penting bagi Soe Hok Gie.  Di jurusan Sejarah ini, dia bersahabat dengan Ong Hok Ham dan Nugroho Notosusanto. Dia juga sempat menjadi asisten peneliti Mary Somers Heidhues, yang saat itu meneliti tentang Baperki, yang memujinya sebagai pekerja yang tekun. Untuk pekerjaan penelitiannya ini, Soe Hok Gie selama dua belas bulan membaca koran-koran Tionghoa di Perpustakaan Museum Pusat. Kegiatan ini menimbulkan minatnya pada soal ketionghoaan. Dalam usia muda, Soe Hok Gie menjadi salah satu pimpinan LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) yang mengusung konsep asimilasi. Namun pada tahun 1966, Soe Hok Gie mengundurkan diri dari organisasi ini dengan alasan keterlibatan LPKB dalam bisnis yang dianggapnya kurang jelas. (Maxwell, 2005: 110).

Di kampus UI, Soe Hok Gie menjadi mahasiswa yang sangat aktif dalam berbagai kegiatan. Salah satu aktivitas utamanya adalah sebagai pencinta alam. Soe Hok Gie termasuk salah seorang pendiri kelompok Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) UI pada tahun 1964. Teman-teman naik gunungnya antara lain Herman Lantang dan Aristides Katoppo. Pandangan Soe Hok Gie dalam dunia pencinta alam tertulis dalam sebuah artikel yang terbit dua tahun (1966) kemudian sebagai berikut:

Tujuan Mapala ini adalah mencoba membangun Kembali idealisme di kalangan mahasiswa-mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat, dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya pada patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh, barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik. (Maxwell, 2005: 144).

Soe Hok Gie menjadi salah satu motor utama demonstrasi anti Sukarno dari FSUI. Salah satunya yang menonjol saat dia bersama sejumlah mahasiswa Fakultas Sastra melakukan aksi demonstrasi berjalan kaki dari kampus Salemba menuju kampus Rawamangun pada tanggal 11 Januari 1966. Mereka melanjutkan dengan mengadakan demonstrasi selama sepekan penuh. Demonstrasi besar selanjutnya saat KAMI diundang Sukarno ke Istana Bogor pada 15 Januari 1966, Soe Hok Gie bersama rombongan mahasiswa ikut meramaikan kota Bogor untuk mendukung para pimpinan KAMI. Demonstrasi lain yang menonjol adalah pada 9 dan 10 Maret 1966 yang menyerang sejumlah rumah pribadi, menteri salah satunya adalah rumah Oei Tjoe Tat yang dianggap pendukung setia Sukarno dan dekat dengan kelompok Kiri. Para mahasiswa menyerang rumah Oei Tjoe Tat dan merusak jendela-jendela rumahnya. (Maxwell, 2005: 254).

Setelah Orde Baru berdiri, Soe Hok Gie Kembali ke kampus dan menjadi ketua Senat Fakultas Sastra UI pada tahun 1967-68. Sikapnya ini sejalan dengan pandangannya tentang tugas mahasiswa sebagai gerakan moral yang berjarak dengan kegiatan politik praktis.

Sejak awal Soe Hok Gie bersikap mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah Soeharto dengan Orde Barunya. Tulisan-tulisannya salah satu yang paling awal mengungkapkan terjadinya pembunuhan massal yang terjadi di periode itu. Dalam sebuah artikel yang terbit di majalah mahasiswa tahun 1967, Soe Hok Gie menggunakan nama samaran Dewa untuk menceritakan pembunuhan massal yang terjadi di Bali (Maxwell, 2005: 277).

Sesaat sebelum lulus, Soe Hok Gie berkesempatan ke Amerika Serikat selama tiga bulan untuk mengunjungi sejumlah kampus dan komunitas. Dalam kunjungannya ini Soe Hok Gie mengamati masyarakat Amerika secara langsung, termasuk di antaranya gerakan perang Vietnam ataupun gerakan menuntut persamaan hak kaum kulit hitam. Kunjungan ini juga dimanfaatkannya untuk mengumpulkan bahan-bahan skripsinya.

Soe Hok Gie menyelesaikan kuliahnya dan lulus tahun 1969 dengan judul skripsi Simpang Kiri sebuah Jalan (Kisah Pemberontakan Madiun September 1948) yang kemudian diterbitkan pada tahun 1997 dengan judul yang sama. Setelah lulus, Soe Hok Gie mengajar di Fakultas Sastra sembari terus melanjutkan kritikan-kritikannya yang tajam dan sering tanpa ragu menuliskan nama pejabat yang dikritiknya. Pemerintah Orde Baru juga dipandangnya kurang mampu menarik dukungan masyarakat dengan program pembangunannya. Dia menulis :

“ … Tahun ini adalah tahun pertama Pembangunan Lima Tahun. Sampai saat ini kesan saya adalah bahwa rakyat Indonesia acuh tak acuh terhadap rencana besar ini. Hampir tidak ada komunikasi yang dimengerti masyarakat umum dan Pemerintah yang terlalu  pragmatis sekarang pada akhirnya gagal untuk menimbulkan gairah dan sokongan kerja rakyat.” (Maxwell, 2005: 348).

Namun kerap kali kritikannya ini seperti diabaikan pemerintah. Baginya sikap tersebut membuatnya frustasi. Kekecewaannya pada pemerintahan Orde Baru semakin meningkat saat mendapatkan informasi praktik korupsi yang melibatkan sejumlah tokoh penting di dalam pemerintahan Orde Baru saat itu (Maxwell, 2005: 352-353).

Di era Orde Baru, Soe Hok Gie Kembali meneruskan hobinya naik gunung. Pendakian terakhirnya adalah Gunung Semeru di Jawa Timur. Bersama kawan-kawannya, dia mulai pendakian pada tanggal 14 Desember 1969. Di gunung Semeru, Soe Hok Gie terjebak dalam asap beracun. Soe Hok Gie meninggal tanggal 16 Desember 1969 tepat satu hari sebelum ulang tahunnya. Bersamanya turut meninggal sahabatnya Idan Lubis. Jenazah mereka disemayamkan di FSUI sebelum dimakamkan di Menteng Pulo. Untuk dekat dengan orang tua, makamnya dipindahkan ke pemakaman di Tanah Abang. Saat pemakaman Tanah Abang digusur oleh pemerintah DKI tahun 1975, tulang belulang Soe Hok Gie dikremasikan dan abunya disebarkan teman-teman pencinta alamnya di Gunung Pangrango.

Pasca kematiannya penerbit LP3ES menerbitkan catatan hariannya dengan judul Catatan Seorang Demonstran oleh LP3ES pada tahun 1983. Karya-karya studinya diterbitkan pada tahun 1990 dimulai dengan skripsi sarjana mudanya Di Bawah Lentera Merah: Riwajat Sarekat Islam Semarang 1917-1920. Sebuah film diproduksi pada tahun 2005 dengan judul Gie dengan sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana.

Penulis: Yerry Wirawan
Instansi: Universitas Sanata Dharma
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Leo Suryadinata. Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches. 4th edition. Singapore: ISEAS, 2015.

Maxwell, John. Soe Hok-gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. Jakarta: Grafiti Pers, 2005.

Sam Setyautama, Suma Mihardja. Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: KPG, 2008.