Ahmad Khatib Al-Minangkabawi: Difference between revisions

From Ensiklopedia
No edit summary
No edit summary
 
(2 intermediate revisions by the same user not shown)
Line 1: Line 1:
Syekh [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]] memiliki nama lengkap Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz Al Khatib Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari al- Minangkabawi. Lahir di Koto Tuo, kota Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat. Mengenai tahun kelahirannya terjadi perdebatan antara penulis biografinya yaitu Hamka, Abdul Jabar dan Deliar Noer. Hamka dan Abdul Jabar menyebut ia lahir pada hari Senin, 26 Mei 1860 M atau 6 Dzulhijjah 1276 H. Sedangkan Deliar Noer mengatakan ia lahir pada tahun 1885 dan wafat pada tanggal 8 Jumadil Awal 1334 H/1916 M (Abdullah, 2013: 281; Ilyas, 2017: 88, dan Wirman, 2017: 163).
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860-1915) adalah salah satu pelopor gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Berasal dari Minangkabau, Sumatra Barat, Syekh Ahmad Khatib yang bernama lengkap Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz Al Khatib Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari al- Minangkabawi, dikenal luas sebagai ulama besar yang menjadi rujukan keilmuan Islam tidak hanya bagi ulama nusantara tapi juga ulama Timur Tengah. Kapasitas pengetahuan dan pengalamannya sebagai imam, khatib, dan pengajar di Masjidil Haram membentuknya menjadi pribadi yang alim, berkarakter dan mumpuni dalam merespons persoalan keagamaan.  


Ayahnya bernama Buya [[Abdul Latif]] adalah seorang ulama yang terpandang dan salah seorang pejuang Perang Padri. Ketika Ahmad Khatib masih muda, ia diajak ayahnya untuk pergi ke Tanah Suci melaksanakan ibadah haji dan mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an. Ibunya bernama Limbak Urai (Aminah) binti Tuanku Nan Rancak , seorang yang berasal dari Koto Tuo Balai Gurah (Ahsin, 2020: 64; Ilyas, 2017: 88). Syekh [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]] adalah anak pertama dari lima bersaudara yakni H. Mahmud, H. Hafsah, H. Aisyah, H. Safiah. Ia memiliki hubungan keluarga dengan H. [[Agus Salim]] dari pihak ayah, dan bersaudara dengan H. Thaher Jalaluddin dari pihak ibu. H. [[Thaher Jalaluddin]] (1869-1956 M) adalah seorang ulama yang ahli di bidang ilmu astronomi dan ilmu falak yang mendirikan jurnal ''A-Imam'' (1906-1908) di Singapura. Pada masanya, terbitan ini adalah terbitan pertama yang mensosialisasikan gagasan pembaharu Islam dari Mesir (Abdullah, 2013: 56). Jika ditinjau dari silsilahnya, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi memiliki hubungan dengan Tuanku Nan Tuo (1723-1830 M). [[Tuanku Nan Tuo]] adalah seorang guru dari para pejuang dan ulama-ulama Paderi yang usia hidupnya mencapai 107 tahun (Kemendikbud, 2017; Wirman, 2017: 163). Kakek atau buyutnya bernama Abdullah adalah seorang ulama yang ditunjuk dan dipilih oleh masyarakat koto Gadang untuk menjadi seorang imam dan Khatib (Ilyas, 2017: 88). Sejak ditunjuknya beliau menjadi seorang Imam dan Khatib, akhirnya gelar Khatib mulai melekat hingga anak keturunannya, termasuk kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.
Dia berasal dari keluarga ulama. Kakeknya, Abdullah, adalah seorang imigran Hijaz yang bermukim di Kota Gadang dan berhasil menjadi elit religius di daerah tersebut sebagai ''khatib nagari''. Ayahnya, Abdu al-Latif, adalah kepala kabupaten Empat Angkat (‘Abd al-Jabbar 1982: 38; Hamka 1958: 230-6; Saeran 1981: 16-22; Djaja 1966: 567-69). Ia mengenyam pendidikan formal tingkat dasar di Sekolah Rendah (SR) hingga di tingkat Sekolah Raja (''Kweekschool''), mendalami bahasa Inggris di sekolah ''Meer Uitgebreid Lager Onderwijs'' (MULO), serta  secara rutin menghafal al-Qur-an di bawah bimbingan ayahnya (Kemendikbud, 2019; Wirman, 2017: 89).  


Syekh [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]] menikahi seorang gadis yang bernama Khadijah putri dari seorang pemilik toko buku di Makkah yang bernama Muhammad Saleh Kurdi. Di usia pernikahan yang tidak begitu lama Khadijah istri Ahmad Khatib wafat dengan meninggalkan seorang anak laki-laki bernama Abdul Karim. Oleh karena kagumnya Shaleh al-Kurdi dengan sosok Ahmad Khatib terutama karena ketekunan, kerajinan, kepandaian dan keahliannya di dalam penguasaan akan ilmu agama Islam, sepeninggal wafat putri pertamanya, Shaleh al-Kurdi menginginkan Ahmad Khatib menjadi menantu untuk putri keduanya, Fatimah. Dari Pernikahan kedua ini  lahirlah tiga orang anak bernama Abdul Malik, Abdul Hamid , dan Khadijah (Wirman, 2017: 88).
Pergumulan intelektual Ahmad Khatib dengan para ulama Timur Tengah dimulai ketika pada tahun 1881, Akhmad Khatib tiba di kota suci, bersama kakek dan sepupunya, Muhammad Thahir Djalaluddin (1856-1956). Selain menyelesaikan hafalan al-Qur’an, ia mempelajari berbagai cabang ilmu kepada beberapa ulama besar. Selain kepada tiga ulama Mesir peletak fondasi kuat bagi purifikasi Islam dengan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah: Sayyid Bakri bin Muhammad Zain al-‘Abidin Syatha’ (1846-1893), ‘Umar bin Muhammad Zain al-‘Abidin Syatha’ dan ‘Uthman bin Muhammad Zain al-‘Abidin Syatha’, Ahmad Khatib tercatat juga berguru kepada Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlân, Muhammad Saleh, Syekh Abdul Hâdi, dan Yahya Kabli (Burhanuddin, 2021:173; Sanusi dan Edwar 1981: 17; Yatim 1999; ‘Abd al-Jabbar 1982: 38).  


Dalam menjalani kehidupan masa mudanya di negeri Arab, Syekh [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]] hidup dalam disiplin keilmuan yang tinggi. Ia menjadi sosok yang mampu menjadi pionir awal pembuktian bahwa seorang asli Nusantara bisa menjadi Imam dari mazhab Syafi’i di Masjidil Haram, Mekkah sekaligus menjadi syekh (guru besar) dalam bidang berbagai macam ilmu agama Islam. Hal tersebut merupakan kedudukan yang terpandang yang pernah diraih oleh orang Indonesia di Mekkah (Abdullah, 2013: 281; Ahsin, 2020: 62 dan Pambudi, 2019: 5). Ketajaman pemikiran serta keilmuannya yang luas sering menjadi rujukan bagi ulama-ulama di Indonesia di dalam mengatasi dan menentukan suatu hukum yang berkaitan tentang permasalah Aqidah, Syariah, dan Muamalah. Tentu saja keilmuan itu ia dapatkan melalui proses belajar yang panjang.
Kepada mereka, Ahmad Khatib mengkaji berbagai disiplin keilmuan, baik ilmu umum maupun ilmu keagamaan: Ilmu Tauhid, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Fikih, Ilmu Usul Fikih, Ilmu Usul Hadȋts, Ilmu Qowaidul Lughot (Nahwu dan Saraf), Ilmu Balâghah, Ilmu Mantiq (Ilmu Kalam/Ilmu Logika), Ilmu Tarikh, Ilmu Siyar/Atsar (Ilmu yang membahas seputar kisah hidup Rasulullah SAW), Ilmu Riyâdiyat (Ilmu Matematika), dan lain-lain. Selain bergabung dengan ''halaqa'' sebagai anggota komunitas Jawi, Ahmad Khatib juga mengikuti ceramah-ceramah dari para ulama Mekkah (‘Abd al-Jabbar 1982: 38).  


Perbendaharaan keilmuan seorang Syekh [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]] berawal dari ayah kandungnya, Syekh Abdul Latif yang diketahui adalah seorang ulama dan juga sekaligus seorang Khatib yang dihormati di Bukittinggi. Bersama ayahnya, Ahmad Khatib Al-Minangkabawi muda belajar banyak hal yang berkaitan dengan ilmu-ilmu dasar di dalam agama Islam seperti ilmu membaca dan menghafalkan sebagian Al-Qur’an. Ahmad Khatib pernah menimba pendidikan formal mulai dari tingkat dasar di Sekolah Rendah (SR) hingga di tingkat Sekolah Raja atau ''[[Kweekschool]]'' (Sekolah Guru, sekarang menjadi SMA 2 Kota Bukittinggi) pada tahun 1871 (Azra, 2017: 17; Kemendikbud, 2019). Tercatat ia pernah belajar bahasa Inggris di sekolah [[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)|''Meer Uitgebreid Lager Onderwijs'' (MULO)]], sebuah lembaga yang didirikan Belanda pada waktu itu (Wirman, 2017: 89). Kemudian saat berumur sekitar kurang lebih 11 tahun, ia diajak ayahnya untuk pergi berhaji ke Mekkah. Ahmad Khatib dibiarkan oleh ayahnya untuk tetap tinggal di Mekkah agar ia dapat menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya. Namun dalam referensi lain dijelaskan bahwa beliau dan ayahnya tidak langsung pulang ke tanah air, namun beliau dan ayahandanya sempat menetap sekitar 5 tahun di kota suci (Ilyas, 2017: 89). Di negeri Arab sana seorang Ahmad Khatib muda memiliki banyak kesempatan dan peluang untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama/ilmuan-ilmuan besar yang ada di Mekkah. Dihimpun dari beberapa referensi (Abdullah, 2013: 39; Ahsin, 2020: 67 dan Yatim, 1999: 256-261), berikut adalah nama guru-gurunya saat belajar di Mekkah:
Hubungannya yang erat dengan Muhammad Salih al-Kurdi—dalam perjalanannya menikahi dua putrinya: Khadijah dan Fatimah, membuat Ahmad Khatib menjadi bagian dari elit Mekkah. Ia memperoleh berbagai kemudahan dan dukungan politik bagi kariernya di Mekkah. Antara tahun 1887 dan 1892, ia menjadi imam di Masjidil Haram yang membuatnya terkenal di kalangan komunitas Jawi di Mekkah (Laffan 203: 106-7; ‘Abd al-Jabbar 1982: 39; Wirman, 2017). Dia juga membangun kariernya sebagai guru komunitas Jawi di lingkaran Bab Ziyada, selain menulis sekitar 46 buah kitab, terutama untuk masyarakat Melayu (Burhanuddin, 2012: 243). Ia menjadi pionir, ulama Nusantara yang memiliki rekoginisi di Timur Tengah. Ketajaman pemikiran serta keluasan wawasan keilmuan membuatnya menjadi rujukan bagi ulama-ulama di Indonesia di dalam mengatasi dan menentukan suatu hukum yang berkaitan dengan aqidah, syariah, dan muamalah (Abdullah, 2013: 281; Ahsin, 2020: 62; Pambudi, 2019: 5).


# Tiga keluarga Syatha’:
Sumbangsih ide pemikiran dari Ahmad Khatib turut mendorong gelombang pembaharuan Islam pada awal abad ke-20. Sebagai tokoh intelektual dari komunitas Jawi (Asia Tenggara) di Mekkah, Ahmad Khatib memegang peran menentukan dalam perkembangan pembaharuan Islam di Indonesia, mengukuhkan iktiar dari ulama pembaharu Mesir, Muhammad ‘Abduh dan Rashīd Ridā. Seperti juga Rashīd Ridā, Ahmad Khatib selalu menekankan pentingnya kembali ke Islam masa Nabi dan sahabat (salāf), menganjurkan corak beragama yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah; menyuarakan perlunya ijtihad dalam beragama, dan karenanya meninggalkan bermazhab; menentang keras paham dan praktek keagamaan lokal, khususnya yang terkontaminasi tradisi dan agama pra-Islam; dan berbasis di lingkungan perkotaan melalui sekolah-sekolah modern yang didirikan (Burhanuddin, 2021); Bahtiyar, 2019: 51-63; Mudhafier, 2013:14).
#* Syekh Bakrî ibn Muhammad Zain al-‘آbidîn Syatâ,
#* Syekh Umar ibn Muhammad Zain al-‘آbidîn Syatâ, dan
#* Syekh Uthmân ibn Muhammad Zain al-‘آbidîn Syatâ.
# Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlân.
# Syekh Muhammad Nawawi Banten (menurut pendapat dari    Amirul Ulum).
# Muhammad Saleh Kurdi (mertua Ahmad Khatib yang seorang    ulama, dan sekaligus seorang saudagar yang memiliki toko kitab/buku).
# Syekh Abdul Hâdi.
# Syaikhah Fâtimah (Istri Syekh Abdul Hâdi).


Melalui Ahmad Khatib, proses transmisi gagasan pembaharuan Mesir ke Indonesia menguat dan memantik semangat perubahan di kalangan Muslim Indonesia. Dalam konteks komunitas Jawi, tumbuhnya kecenderungan baru ini dimotori oleh Ahmad Khatib, yang kemudian sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam di Indonesia awal abad ke-20. Tidak hanya sebagai ulama yang menekankan pemurnian praktek-praktek ajarah Islam, tapi juga ‘guru untuk generasi pertama kaum muda’ di Melayu-Indonesia. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan Hasyim Asy‘ari di NU adalah di antara murid-murid Akhmad Khatib (Burhanuddin, 2012: 251).


Keluarga Syata’ terkenal sebagai suatu keluarga yang sangat kental akan nilai-nilai keagamaan, dan dunia keilmuan. Komunitas Jawi yang belajar ilmu agama Islam terutama yang belajar ke negeri Arab akan sangat familiar jika disebutkan nama keluarga tersebut dan banyak juga ulama-ulama yang sekolah ke negeri Arab berguru dan menimba ilmu kepada mereka (Ahsin, 2020: 67).
Ahmad Khatib melakukan diseminasi gagasan pembaharuan Islam di Sumatera Barat dan Hindia Belanda secara umum melalui karya-karyanya yang ditulis untuk merespons isu-isu Islam aktual pada masa tersebut. Dalam kaitannya dengan persoalan waris, ia menerjemahkan ''Al-Minhaj al-Mashru’'' dalam bahasa Melayu dari karya aslinya yang berbahasa Arab. Buku ini mengurai aturan Islam mengenai waris. Dikaitkan dengan adat Minangkabau tentang waris, Ahmad Khatib menulis ''al-Da’i al-Masmu’'' dan kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu atas permintaan anggota komunitas Jawi yang berasal dari Sumatera Barat.  


Dari beberapa orang gurunya, seorang Ahmad Khatib dapat menyelami berbagai disiplin keilmuan, khususnya ilmu-ilmu yang berbau keagamaan, dan beberapa ilmu umum. Di antara ilmu-ilmu yang telah dia pelajari selama menimba ilmu di negara Arab adalah seperti Ilmu Tauhid, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Fikih, Ilmu Usul Fikih, Ilmu Usul Hadȋts, Ilmu Qowaidul Lughot (Nahwu dan Saraf), Ilmu Balâghah, Ilmu Mantiq (Ilmu Kalam/Ilmu Logika), Ilmu Tarikh, Ilmu Siyar/Atsar (Ilmu yang membahas seputar kisah hidup Rasulullah SAW), dan Ilmu Riyâdiyat (Ilmu Matematika), dan lain-lain.
Argumen dasar karya ini bahwa aturan adat mengharuskan harta warisan (''pusako'') diturunkan melalui garis keturunan matrilineal—dari paman ibu atau bapak ke paman dan kemudian ke anak-anak saudara perempuannya. Hal ini telah mengakar dalam sistem sosial matrilineal masyarakat Minangkabau sejak dahulu dan betahan lama pada masa masa setelahnya (Burhanuddin, 2021:173; von Benda-Beckmann 1979: 150-2). Dalam karyanya tersebut ia berupaya mengembangkan menambahkan ke dalam ''al-Minhaj'' satu bab khusus mengenai aturan Islam tentang waris (''kitab al-fara’id''), di mana dia mengemukakan bahwa harta waris harus dibagikan menurut hukum Islam (Burhanuddin, 2012: 245).  


Syekh [[Ahmad Khatib Al-Minangkabawi]] adalah seorang ulama yang tergolong produktif. Sedikitnya tercatat ada 46 buah buku telah selesai ditulis. Buku-buku tersebut biasanya menggunakan bahasa Arab atau bahasa Melayu. Beberapa diantaranya membahas tentang Ilmu Fiqh, Ilmu Ushul Fiqh, Ilmu Tasawuf, Ilmu faraid (Ilmu Mawaris), dan lain-lain. Berikut adalah karya Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dihimpun dari beberapa sumber (Bahtiyar, 2019: 51-63 dan Mudhafier, 2013:14): ''Irsyadul Hiyara fi Izalati Ba‟dha Syibhi Nashara'' (1911); ''Tanbihul Anam fi ar-Raddi „ala Risalati Kaffil Awam anil Khaudhi fi Syirkati al-Islam'' (1911). ''Al-Qawlu as-Shidqu fi Ilhaq al-Walad bi al-Muthalliq'' (1910). ''As-Syumus al-Lami‟ah fi ar-Raddi „ala Maratibi as-Sab‟ah'' (1907). ''Husnu ad-Difa‟ fi Nahyi „an Ibtida’'' (1901). ''Al-‘Umdah fi Man‟i Qashr fi Masafati al-Jiddah'' (1899). ''Al-Qawlu al-Mufid Syarhu Mathla‟ as-Sa‟id'' (1896). ''As-Suyuf wal Khanajir ala Riqab Kulli man Yad‟u lil Kafir'' (1895). ''Al-Jawahir al-Faridah fi al-Ajwibah al-Mufidah'' (1893). ''Raddu ala Taftihil Muqillatin'' (1892). ''Dhaw‟u as-Siraj'' (1891). ''Ar-Riyadh al-Wurdiyah fi al-Ushul at-Tauhidiyah wa al-Furu‟ al-Fiqhiyah'' (1890). ''Alamul Hisab fi „Ilmi al-Hisab'' (1889). ''Raudhat al-Hisab fi A‟mali al-Hisab'' (1889). ''Ad-Da‟i al-Masmu‟ fi Raddi ala man Yurisu al-Ukhuwah wa al-Akhawat maa Wujudi al-Ushuli wa al-Furu’'' (1888). ''Al-Jawahir an-Naqiyah fi A’mali al-Jaibir'' (1888). ''An-Nafahat Hasyiyatu al-Waraqat'' (1885). ''Hasyiyatu Fathul Jawad, Al-Bahiyah Saniyah fi al-A‟mal al-Jaibiyah, Salul Hisam, Tanbihil Ghafil li Suluki Thariqati al-Awail, Iqna‟un Nufus bi Ilhaq Awraq anwath bi ‘Umlati al-Fulus, Raf‟u al-Iltibas ‘an Hukmil Anwatil Muta’amal biha Baina an-Nas, Al-Khithah al-Mardiyah fi ar-Raddi „ala man Yaqulu bi Bid‟ati at-Talaffuzh bi an-Niyah, Al-Maw’izhah al-Hasanah Liman Yarghab minal A’mal al-Hasana, Al-Hawi fi an-Nahwi, Mukhtashar al-Hawi, As-Saifu al-Battar fi Muhiqqi Kalimat Ba’du Ahli al-Ightirar, Al-Ayat al-Bayyinat lil Munshifin fi Raddi Khurafat minal-Muta’asshibin, Kasfyu al-Ghain fi Istiqlal Kulli min Qawlai al-Jihad wal ‘Ain, Izharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bi as-Shadiqin, Maslaku ar-Raghibin fi Thariqi Sayyidil Mursalin, As-Sharim asl-Mufra li Washalallahu ‘alaihi wassalam isi Kulli Kazibin wa Muftara, Al-Aqwal al-Wadhihat fi Hukmi man „Alaihi Qadha’i as-Shalawat, Hillul Uqdah fi Tashih al-‘Umdah, Kasyfu ar-Ran fi Hukmi Wadh‟i Yad Ba‟da Tathawuli az-Zaman, Fathul Khabir fi Basmalati at-Tafsir, Ad-Durrah al-Bahiyah fi Ada’i Zakati az-Zurrah al-Habasyiyah, Fathul Mubin Liman Salaka Thariqal Washilin, An-Natijah fi Tahqiqi as-Sanah as-Syamsiyah wa al-Qamariyah, Mu’iunul Jayiz fi Taqiqi, An-Nur as-Syum’ah fi Akhami Jum’ah, Shalahul Jama’atain fi Jawazi Ta’addudil Jum’atain,'' dan juga ''kitab An-Nukhlah al-Bahiyah, Al-Minhaj al-Masyru’''.
Melalui ''al-Minhaj al-Mashru’'', Ahmad Khatib menyuarakan kritik kerasnya kepada adat Minangkabau mengenai warisan, yang digambarkannya sebagai adat pra-Islam (''jahiliyya'') dan karenanya bertentangan dengan ajaran Islam. Seraya menyerang adat ini, ia pun menudinganya sebagai sumber berjaraknya masyarakat Minangkabau dari Islam. Dia bahkan menganggap bahwa praktik adat ini telah menggiring mereka sebagai orang-orang tak beriman (Burhanuddin, 2012: 248).  


Mendekati pergantian abad ke-18 ke-19, terdapat perdebatan baru yang menghangat di kalangan Kaum Muda (kelompok muda). Hal ini terjadi akibat dampak dari kebijakan politik, sistem ekonomi kapitalis pemerintah Belanda, dan ditambah dengan masuknya berbagai gagasan baru yang berasal dari Singapura, Mekkah, dan Mesir yang didalamnya ada pengaruh dari Syekh Ahmad Khatib.  Ia memang dikenal tidak hanya sebagai ulama yang menekankan pemurnian praktek-praktek ajaran Islam, tapi sekaligus ‘guru untuk generasi pertama kaum muda’ (Steenbrink, 1984: 145-146) di Melayu-Indonesia. Beberapa kelompok Kaum Muda menginginkan agar terciptanya modernisasi hukum yaitu mengubah hukum adat yang konservatif menjadi hukum dengan pola-pola barat dan sekuler. Wujud dari gerakan itu adalah adanya Kelompok Pemuda Melayu pada 1906, kemudian Perkumpulan Usaha pada 1912, dan Persatuan Pemuda Sumatra pada 1918. Langkah-langkah tersebut bertujuan untuk mencoba memperkenalkan sebuah sistem pendidikan baru yang lebih modern dan juga berupaya untuk memasukkan gagasan Barat yang bersifat Sekuler ke dalam hukum adat lama yang dianggap kuno/konservatif (Indrawati, 2016: 6).
Ulasan terkait warisan juga diurai dalam karyanya yang lain, ''al-Jawhara al-Farida fi al-Ajwiba al-Mufida'' (1897). Dalam karya ini, ia mendedah beberapa hal dasar mengenai aturan Islam tentang warisan dan dikaitkan dalam konteks Sumatera Barat, khususnya terkait dasar pelaksanaan adat di daerah yang keluar dari aturan Islam dalam pembagian harta waris (''pusako'') (Burhanuddin, 2021:173). Kedalaman wawasan dan pengetahuannya atas kasus pewarisan menempatkan Ahmad Khatib sebagai ulama, guru dan mufti yang disegani. Keterlibatannya dalam menyelesaikan persoalan sengketa Islam di Minangkabau menegaskan kedudukan dan wewenangnya yang setara dengan gurunya di Mekkah, Syekh Sayyid Ahmad Zainī Dahlān dengan kumpulan fatwanya, ''Muhimmat al-Nafā’is'' (Kaptein, 1997). Hingga akhir hayatnya, Ahmad Khatib menjadi pemimpin komunitas Jawi dan Muslim Hindia Belanda yang berkontribusi dalam gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat pada awal abad ke-20.{{Penulis|Setyadi Sulaiman|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.}}
 
Ahmad Khatib memiliki hubungan yang erat dengan orang-orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji dan belajar agama Islam di Tanah Suci. Melalui murid-murid ini terjalin hubungan dengan umat Islam di Indonesia. Di antara murid-murid Ahmad Khatib yang terkenal adalah Syekh [[Muhammad Djamil Djambek]], Haji [[Abdul Karim Amrullah]], Haji [[Abdullah Ahmad]], Haji [[Ahmad Dahlan]], Syaikh [[Sulaiman Ar-Rasuli]] dan Kyai Haji [[Hasyim Asj’ari]]. Di samping mengajarkan fikih mazhab Syafi’i, Syaikh Ahmad Khatib memberikan kesempatan kepada murid-muridnya untuk membaca tulisan-tulisan karya  pembaharu Muhammad Abduh dari Mesir yang dimuat dalam majalah ''al-Urwah al-Wusqa'' dan Afsir ''al-Manar'' (Noer, 1980: 39), yang memang menjadi sarana utama sosialisasi gagasan-gagasan pembaharuan Islam di hampir seluruh dunia Muslim (Abdullah, 2013).  
 
Penulis: Martina Safitry




Line 39: Line 28:
Ahsin, Moh. 2020. “Studi Pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb Al-Minangkabawi Tentang Pembagian Harta Warisan di Minangkabau dalam Kitab Al-Dâ`Ȋ Al-Masmȗ” ''Tesis.'' Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ahsin, Moh. 2020. “Studi Pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb Al-Minangkabawi Tentang Pembagian Harta Warisan di Minangkabau dalam Kitab Al-Dâ`Ȋ Al-Masmȗ” ''Tesis.'' Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


Azra, Azyumardi. 2012. ''Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III'', Jakarta; Kencana.
‘Abd al-Jabbar, ‘Umar. 1982. ''Siyār wa Tarājim ba‘ad ‘Ulamā’ ina fī al-Qarn al-Rab Ashar lī al-Hijra''. Jeddah: Tihama.


Bahtiyar, Anis, 2019, “Pengaruh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Terhadap Dinamika Intelektual Islam di Indonesia 1900-1947 M.” ''Skripsi''. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. <nowiki>http://digilib.uinsby.ac.id/33121/1/Anis</nowiki> Bahtiyar_A02215002.pdf .
Bahtiyar, Anis, 2019, “Pengaruh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Terhadap Dinamika Intelektual Islam di Indonesia 1900-1947 M.” ''Skripsi''. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. <nowiki>http://digilib.uinsby.ac.id/33121/1/Anis</nowiki> Bahtiyar_A02215002.pdf .


Ilyas, Ahmad Fauzi. 2017 “Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Polemik Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara”, ''Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies'' Vol.1, no. 1 diakses dalam <nowiki>http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/JCIMS/article/viewFile/1008/844</nowiki>.
Benda-Beckmann, '' ''Franz Von, 1979. ''Property in Social Continuity: Continuity and Changes in the Maintenance of Property Relationships through Time in MinangKabau, West Sumatra''. Verhandelingen: Van Het Koninklijk Institut Voor Taal-, Land-En Volkenkunde, 86. The Hague: Martinus Nijhoff.  
 
Burhanuddin, Jajat, 2021. “The Triumph of the Second Leaders: Ahmad Khatib and Rashīd Ridā in Islamic Reform in Indonesia” ''Jurnal AFKARUNA'' Vol. 17 No. 2.
 
Burhanuddin, Jajat, 2012, ''Ulama & Kekuasaan: Pergulatan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia'', Bandung: Mizan.
 
Kaptein, Nico J.G. 1997. ''The Muhimmat al-Nafa’is: A Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian Muslims from the End of the Nineteenth Century''. Jakarta: INIS.
 
Djaja, Tamar, 1966. ''Pustaka Indonesia: Riwajat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air,'' Volume 2. Bulan Bintang.  


Indrawati, Nadia Nur 2016, “Peran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860-1916 M) dalam Islamisasi Nusantara”, ''Skripsi'', Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon.
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). 1958. ''Ajahku: Riwayat hidup Dr. H. Abd. Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera''. Djakarta: Widjaja.


Kemendikbud, 2017. “Makam Tuanku Nan Tuo IV Angkek” Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. Dapat diakses dalam laman  <nowiki>https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/makam-tuanku-nan-tuo-iv-angkek-agam/</nowiki> .
Ilyas, Ahmad Fauzi. 2017 “Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Polemik Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara”, ''Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies'' Vol.1, no. 1 diakses dalam <nowiki>http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/JCIMS/article/viewFile/1008/844</nowiki>.


Kemendikbud. 2019, “Kweekschool Fort de Kock (Sekolah Raja Bukittinggi)”,  dapat diakses dalam laman <nowiki>https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/kweekschool-fort-de-kock-sekolah-raja-bukittinggi/</nowiki>
Kemendikbud. 2019, “Kweekschool Fort de Kock (Sekolah Raja Bukittinggi)”,  dapat diakses dalam laman <nowiki>https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/kweekschool-fort-de-kock-sekolah-raja-bukittinggi/</nowiki>


Mudhafier, Fadhlan, 2013, “Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy: Pemikiran dan Perjuangannya Masa 1276 – 1334 Hijriah (1852 – 1915 Masehi)”, dalam Adam Fauzi Hafiddin (ed) ''in Monografi'', Jakarta: Penerbit Kemala Indonesia.
Mudhafier, Fadhlan, 2013. “Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy: Pemikiran dan Perjuangannya Masa 1276 – 1334 Hijriah (1852 – 1915 Masehi)”, dalam Adam Fauzi Hafiddin (ed) ''in Monografi'', Jakarta: Penerbit Kemala Indonesia.


Pambudi, Rangga Hafizh. 2019. “Pemikiran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Tentang Pendidikan Islam” ''Skripsi''. Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.
Pambudi, Rangga Hafizh. 2019. “Pemikiran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Tentang Pendidikan Islam” ''Skripsi''. Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.


Steenbrink, Karel A. 1984. ''Beberapa aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19''. Jakarta: Bulan Bintang.
M. Sanusi Latief and Edward, 1981. ''Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat,'' Sumatera Barat: Islamic Centre.


Teguh, Irfan  “Syekh Ahmad Khatib, Guru Para Guru & Ulama yang Tak Gentar Berdebat”, <nowiki>https://tirto.id/syekh-ahmad-Khatib-guru-para-guru-ulama-yang-tak-gentar-berdebat-dnFq</nowiki> .
Saeran, Nursal. 1981. “Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy” dalam Sanusi Latief and Edwar (eds.). ''Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat.'' Padang: Islamic Centre.


Wirman,  Eka Putra. 2017. “Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi; Icon Tholabul Ilmi Minangkabau Masa Lalu Untuk Refleksi Sumatera Barat Hari Ini dan Masa Depan”, ''Jurnal Ulunnuha'' Vol.6, no.2 doi:10.15548/JU.V6I2.598.   
Wirman,  Eka Putra. 2017. “Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi; Icon Tholabul Ilmi Minangkabau Masa Lalu Untuk Refleksi Sumatera Barat Hari Ini dan Masa Depan”, ''Jurnal Ulunnuha'' Vol.6, no.2 doi:10.15548/JU.V6I2.598.   


Yatim, Badri. 1999. ''Sejarah Peradaban Islam: Dirasat Islamiyah.'' Jakarta: Rajawali Press.  
Yatim, Badri. 1999. ''Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci: Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925''. Jakarta: Logos.{{Comment}}
[[Category:Tokoh]]
[[Category:Tokoh]]

Latest revision as of 11:35, 24 August 2023

Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860-1915) adalah salah satu pelopor gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Berasal dari Minangkabau, Sumatra Barat, Syekh Ahmad Khatib yang bernama lengkap Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz Al Khatib Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari al- Minangkabawi, dikenal luas sebagai ulama besar yang menjadi rujukan keilmuan Islam tidak hanya bagi ulama nusantara tapi juga ulama Timur Tengah. Kapasitas pengetahuan dan pengalamannya sebagai imam, khatib, dan pengajar di Masjidil Haram membentuknya menjadi pribadi yang alim, berkarakter dan mumpuni dalam merespons persoalan keagamaan.

Dia berasal dari keluarga ulama. Kakeknya, Abdullah, adalah seorang imigran Hijaz yang bermukim di Kota Gadang dan berhasil menjadi elit religius di daerah tersebut sebagai khatib nagari. Ayahnya, Abdu al-Latif, adalah kepala kabupaten Empat Angkat (‘Abd al-Jabbar 1982: 38; Hamka 1958: 230-6; Saeran 1981: 16-22; Djaja 1966: 567-69). Ia mengenyam pendidikan formal tingkat dasar di Sekolah Rendah (SR) hingga di tingkat Sekolah Raja (Kweekschool), mendalami bahasa Inggris di sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), serta  secara rutin menghafal al-Qur-an di bawah bimbingan ayahnya (Kemendikbud, 2019; Wirman, 2017: 89).

Pergumulan intelektual Ahmad Khatib dengan para ulama Timur Tengah dimulai ketika pada tahun 1881, Akhmad Khatib tiba di kota suci, bersama kakek dan sepupunya, Muhammad Thahir Djalaluddin (1856-1956). Selain menyelesaikan hafalan al-Qur’an, ia mempelajari berbagai cabang ilmu kepada beberapa ulama besar. Selain kepada tiga ulama Mesir peletak fondasi kuat bagi purifikasi Islam dengan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah: Sayyid Bakri bin Muhammad Zain al-‘Abidin Syatha’ (1846-1893), ‘Umar bin Muhammad Zain al-‘Abidin Syatha’ dan ‘Uthman bin Muhammad Zain al-‘Abidin Syatha’, Ahmad Khatib tercatat juga berguru kepada Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlân, Muhammad Saleh, Syekh Abdul Hâdi, dan Yahya Kabli (Burhanuddin, 2021:173; Sanusi dan Edwar 1981: 17; Yatim 1999; ‘Abd al-Jabbar 1982: 38).

Kepada mereka, Ahmad Khatib mengkaji berbagai disiplin keilmuan, baik ilmu umum maupun ilmu keagamaan: Ilmu Tauhid, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Fikih, Ilmu Usul Fikih, Ilmu Usul Hadȋts, Ilmu Qowaidul Lughot (Nahwu dan Saraf), Ilmu Balâghah, Ilmu Mantiq (Ilmu Kalam/Ilmu Logika), Ilmu Tarikh, Ilmu Siyar/Atsar (Ilmu yang membahas seputar kisah hidup Rasulullah SAW), Ilmu Riyâdiyat (Ilmu Matematika), dan lain-lain. Selain bergabung dengan halaqa sebagai anggota komunitas Jawi, Ahmad Khatib juga mengikuti ceramah-ceramah dari para ulama Mekkah (‘Abd al-Jabbar 1982: 38).

Hubungannya yang erat dengan Muhammad Salih al-Kurdi—dalam perjalanannya menikahi dua putrinya: Khadijah dan Fatimah, membuat Ahmad Khatib menjadi bagian dari elit Mekkah. Ia memperoleh berbagai kemudahan dan dukungan politik bagi kariernya di Mekkah. Antara tahun 1887 dan 1892, ia menjadi imam di Masjidil Haram yang membuatnya terkenal di kalangan komunitas Jawi di Mekkah (Laffan 203: 106-7; ‘Abd al-Jabbar 1982: 39; Wirman, 2017). Dia juga membangun kariernya sebagai guru komunitas Jawi di lingkaran Bab Ziyada, selain menulis sekitar 46 buah kitab, terutama untuk masyarakat Melayu (Burhanuddin, 2012: 243). Ia menjadi pionir, ulama Nusantara yang memiliki rekoginisi di Timur Tengah. Ketajaman pemikiran serta keluasan wawasan keilmuan membuatnya menjadi rujukan bagi ulama-ulama di Indonesia di dalam mengatasi dan menentukan suatu hukum yang berkaitan dengan aqidah, syariah, dan muamalah (Abdullah, 2013: 281; Ahsin, 2020: 62; Pambudi, 2019: 5).

Sumbangsih ide pemikiran dari Ahmad Khatib turut mendorong gelombang pembaharuan Islam pada awal abad ke-20. Sebagai tokoh intelektual dari komunitas Jawi (Asia Tenggara) di Mekkah, Ahmad Khatib memegang peran menentukan dalam perkembangan pembaharuan Islam di Indonesia, mengukuhkan iktiar dari ulama pembaharu Mesir, Muhammad ‘Abduh dan Rashīd Ridā. Seperti juga Rashīd Ridā, Ahmad Khatib selalu menekankan pentingnya kembali ke Islam masa Nabi dan sahabat (salāf), menganjurkan corak beragama yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah; menyuarakan perlunya ijtihad dalam beragama, dan karenanya meninggalkan bermazhab; menentang keras paham dan praktek keagamaan lokal, khususnya yang terkontaminasi tradisi dan agama pra-Islam; dan berbasis di lingkungan perkotaan melalui sekolah-sekolah modern yang didirikan (Burhanuddin, 2021); Bahtiyar, 2019: 51-63; Mudhafier, 2013:14).

Melalui Ahmad Khatib, proses transmisi gagasan pembaharuan Mesir ke Indonesia menguat dan memantik semangat perubahan di kalangan Muslim Indonesia. Dalam konteks komunitas Jawi, tumbuhnya kecenderungan baru ini dimotori oleh Ahmad Khatib, yang kemudian sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam di Indonesia awal abad ke-20. Tidak hanya sebagai ulama yang menekankan pemurnian praktek-praktek ajarah Islam, tapi juga ‘guru untuk generasi pertama kaum muda’ di Melayu-Indonesia. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan Hasyim Asy‘ari di NU adalah di antara murid-murid Akhmad Khatib (Burhanuddin, 2012: 251).

Ahmad Khatib melakukan diseminasi gagasan pembaharuan Islam di Sumatera Barat dan Hindia Belanda secara umum melalui karya-karyanya yang ditulis untuk merespons isu-isu Islam aktual pada masa tersebut. Dalam kaitannya dengan persoalan waris, ia menerjemahkan Al-Minhaj al-Mashru’ dalam bahasa Melayu dari karya aslinya yang berbahasa Arab. Buku ini mengurai aturan Islam mengenai waris. Dikaitkan dengan adat Minangkabau tentang waris, Ahmad Khatib menulis al-Da’i al-Masmu’ dan kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu atas permintaan anggota komunitas Jawi yang berasal dari Sumatera Barat.

Argumen dasar karya ini bahwa aturan adat mengharuskan harta warisan (pusako) diturunkan melalui garis keturunan matrilineal—dari paman ibu atau bapak ke paman dan kemudian ke anak-anak saudara perempuannya. Hal ini telah mengakar dalam sistem sosial matrilineal masyarakat Minangkabau sejak dahulu dan betahan lama pada masa masa setelahnya (Burhanuddin, 2021:173; von Benda-Beckmann 1979: 150-2). Dalam karyanya tersebut ia berupaya mengembangkan menambahkan ke dalam al-Minhaj satu bab khusus mengenai aturan Islam tentang waris (kitab al-fara’id), di mana dia mengemukakan bahwa harta waris harus dibagikan menurut hukum Islam (Burhanuddin, 2012: 245).

Melalui al-Minhaj al-Mashru’, Ahmad Khatib menyuarakan kritik kerasnya kepada adat Minangkabau mengenai warisan, yang digambarkannya sebagai adat pra-Islam (jahiliyya) dan karenanya bertentangan dengan ajaran Islam. Seraya menyerang adat ini, ia pun menudinganya sebagai sumber berjaraknya masyarakat Minangkabau dari Islam. Dia bahkan menganggap bahwa praktik adat ini telah menggiring mereka sebagai orang-orang tak beriman (Burhanuddin, 2012: 248).

Ulasan terkait warisan juga diurai dalam karyanya yang lain, al-Jawhara al-Farida fi al-Ajwiba al-Mufida (1897). Dalam karya ini, ia mendedah beberapa hal dasar mengenai aturan Islam tentang warisan dan dikaitkan dalam konteks Sumatera Barat, khususnya terkait dasar pelaksanaan adat di daerah yang keluar dari aturan Islam dalam pembagian harta waris (pusako) (Burhanuddin, 2021:173). Kedalaman wawasan dan pengetahuannya atas kasus pewarisan menempatkan Ahmad Khatib sebagai ulama, guru dan mufti yang disegani. Keterlibatannya dalam menyelesaikan persoalan sengketa Islam di Minangkabau menegaskan kedudukan dan wewenangnya yang setara dengan gurunya di Mekkah, Syekh Sayyid Ahmad Zainī Dahlān dengan kumpulan fatwanya, Muhimmat al-Nafā’is (Kaptein, 1997). Hingga akhir hayatnya, Ahmad Khatib menjadi pemimpin komunitas Jawi dan Muslim Hindia Belanda yang berkontribusi dalam gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat pada awal abad ke-20.

Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Abdullah, Taufik. 2013. Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia jilid 2. Jakarta: Direktorat Sejarah, Kemendikbud.

Ahsin, Moh. 2020. “Studi Pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb Al-Minangkabawi Tentang Pembagian Harta Warisan di Minangkabau dalam Kitab Al-Dâ`Ȋ Al-Masmȗ” Tesis. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

‘Abd al-Jabbar, ‘Umar. 1982. Siyār wa Tarājim ba‘ad ‘Ulamā’ ina fī al-Qarn al-Rab Ashar lī al-Hijra. Jeddah: Tihama.

Bahtiyar, Anis, 2019, “Pengaruh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Terhadap Dinamika Intelektual Islam di Indonesia 1900-1947 M.” Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. http://digilib.uinsby.ac.id/33121/1/Anis Bahtiyar_A02215002.pdf .

Benda-Beckmann,  Franz Von, 1979. Property in Social Continuity: Continuity and Changes in the Maintenance of Property Relationships through Time in MinangKabau, West Sumatra. Verhandelingen: Van Het Koninklijk Institut Voor Taal-, Land-En Volkenkunde, 86. The Hague: Martinus Nijhoff.  

Burhanuddin, Jajat, 2021. “The Triumph of the Second Leaders: Ahmad Khatib and Rashīd Ridā in Islamic Reform in Indonesia” Jurnal AFKARUNA Vol. 17 No. 2.

Burhanuddin, Jajat, 2012, Ulama & Kekuasaan: Pergulatan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia, Bandung: Mizan.

Kaptein, Nico J.G. 1997. The Muhimmat al-Nafa’is: A Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian Muslims from the End of the Nineteenth Century. Jakarta: INIS.

Djaja, Tamar, 1966. Pustaka Indonesia: Riwajat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air, Volume 2. Bulan Bintang.

Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). 1958. Ajahku: Riwayat hidup Dr. H. Abd. Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera. Djakarta: Widjaja.

Ilyas, Ahmad Fauzi. 2017 “Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Polemik Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara”, Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies Vol.1, no. 1 diakses dalam http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/JCIMS/article/viewFile/1008/844.

Kemendikbud. 2019, “Kweekschool Fort de Kock (Sekolah Raja Bukittinggi)”,  dapat diakses dalam laman https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/kweekschool-fort-de-kock-sekolah-raja-bukittinggi/

Mudhafier, Fadhlan, 2013. “Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy: Pemikiran dan Perjuangannya Masa 1276 – 1334 Hijriah (1852 – 1915 Masehi)”, dalam Adam Fauzi Hafiddin (ed) in Monografi, Jakarta: Penerbit Kemala Indonesia.

Pambudi, Rangga Hafizh. 2019. “Pemikiran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Tentang Pendidikan Islam” Skripsi. Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

M. Sanusi Latief and Edward, 1981. Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Sumatera Barat: Islamic Centre.

Saeran, Nursal. 1981. “Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy” dalam Sanusi Latief and Edwar (eds.). Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre.

Wirman,  Eka Putra. 2017. “Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi; Icon Tholabul Ilmi Minangkabau Masa Lalu Untuk Refleksi Sumatera Barat Hari Ini dan Masa Depan”, Jurnal Ulunnuha Vol.6, no.2 doi:10.15548/JU.V6I2.598. 

Yatim, Badri. 1999. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci: Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925. Jakarta: Logos.