Soekmono: Difference between revisions

From Ensiklopedia
(Created page with "Ketika mega proyek pemugaran Candi Borobudur oleh pemerintah Indonesia mendapat dana dari UNESCO dan siap digarap pada 1970, ditunjuklah sosok arkeolog yang dianggap paling pantas memimpin pekerjaan besar lagi berharga ini. Ia adalah Soekmono, salah satu ahli arkeologi paling terkemuka di tanah air. Soekmono dilahirkan di Ketanggungan, Brebes, Jawa Tengah, tanggal 14 Juli 1922. Sejak muda, ia sudah menunjukkan minatnya dalam bidang sejarah dan kepurbakalaan. Pada masa p...")
 
No edit summary
Line 1: Line 1:
Ketika mega proyek pemugaran Candi Borobudur oleh pemerintah Indonesia mendapat dana dari UNESCO dan siap digarap pada 1970, ditunjuklah sosok arkeolog yang dianggap paling pantas memimpin pekerjaan besar lagi berharga ini. Ia adalah Soekmono, salah satu ahli arkeologi paling terkemuka di tanah air.
Ketika mega proyek pemugaran [[Candi Borobudur]] oleh pemerintah Indonesia mendapat dana dari UNESCO dan siap digarap pada 1970, ditunjuklah sosok arkeolog yang dianggap paling pantas memimpin pekerjaan besar lagi berharga ini. Ia adalah Soekmono, salah satu ahli arkeologi paling terkemuka di tanah air.


Soekmono dilahirkan di Ketanggungan, Brebes, Jawa Tengah, tanggal 14 Juli 1922. Sejak muda, ia sudah menunjukkan minatnya dalam bidang sejarah dan kepurbakalaan. Pada masa pendudukan militer Jepang sejak tahun 1942, Soekmono bekerja di Balai Pustaka dan menghasilkan karya berupa buku dalam bahasa Jawa (Basrowi 2020: 28).
Soekmono dilahirkan di Ketanggungan, Brebes, Jawa Tengah, tanggal 14 Juli 1922. Sejak muda, ia sudah menunjukkan minatnya dalam bidang sejarah dan kepurbakalaan. Pada masa pendudukan militer Jepang sejak tahun 1942, Soekmono bekerja di Balai Pustaka dan menghasilkan karya berupa buku dalam bahasa Jawa (Basrowi 2020: 28).
Line 15: Line 15:
Kesibukan Soekmono sebagai pakar sekaligus praktisi arkeologi memang sangat padat. Namun, ia tidak lantas melupakan tugasnya di ranah akademis. Bahkan, di sela-sela kesibukannya memimpin proyek pemugaran Candi Borobudur, Soekmono menuntaskan disertasinya dengan judul “Candi, Fungsi, dan Pengertiannya” di Universitas Indonesia pada 1974.
Kesibukan Soekmono sebagai pakar sekaligus praktisi arkeologi memang sangat padat. Namun, ia tidak lantas melupakan tugasnya di ranah akademis. Bahkan, di sela-sela kesibukannya memimpin proyek pemugaran Candi Borobudur, Soekmono menuntaskan disertasinya dengan judul “Candi, Fungsi, dan Pengertiannya” di Universitas Indonesia pada 1974.


Jejak akademis Soekmono dapat dilihat dari aktivitasnya mengajar tentang sejarah dan kebudayaan Indonesia di UI, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Udayana Bali, Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Batusangkar di Sumatera Barat, dan lainnya. Tahun 1978, Soekmono dikukuhkan sebagai Guru Besar Arkeologi pada Fakultas Sastra UI. Selanjutnya, pada 1986 hingga 1987, ia menjadi guru besar tamu di ''Rijksuniversiteit te Leiden'', Belanda (Sedyawati (et.al.), 1990: XXVII).
Jejak akademis Soekmono dapat dilihat dari aktivitasnya mengajar tentang sejarah dan kebudayaan Indonesia di UI, [[Universitas Gadjah Mada (UGM)]] Yogyakarta, Universitas Udayana Bali, Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Batusangkar di Sumatera Barat, dan lainnya. Tahun 1978, Soekmono dikukuhkan sebagai Guru Besar Arkeologi pada Fakultas Sastra UI. Selanjutnya, pada 1986 hingga 1987, ia menjadi guru besar tamu di ''Rijksuniversiteit te Leiden'', Belanda (Sedyawati (et.al.), 1990: XXVII).


Soekmono aktif di berbagai lembaga maupun terlibat dalam banyak seminar internasional terkait sejarah atau kepurbakalaan. Keberhasilan Soekmono memimpin megaproyek pemugaran Candi Borobudur membuatnya diminta menjadi konsultan berbagai pekerjaan serupa lainnya dari berbagai negara, seperti The Sukhotai Historical Park di Thailand dan The Pasupatinath Area di Nepal, PT Taman Wisata Borobudur-Prambanan, dan seterusnya. Sederet buku yang telah dihasilkan Soekmono pun cukup banyak, di antaranya adalah ''New Light on Some Borobudur Problems'' (1969), ''Ancient Indonesian Art of the Central and Eastern Javanese Periods'' (1971), tiga buku ''Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Volume 1-3'' (1973), ''Chandi'' ''Borobudur: A Monument of Mankind'' (1976), ''Chandi Gumpung of Muara Jambi'' (1987), ''Rekonstruksi Sejarah Malayu Kuno Sesuai Tuntutan Arkeologi'' (1992), hingga ''The Javanese Candi: Function and Meaning'' (1995).
Soekmono aktif di berbagai lembaga maupun terlibat dalam banyak seminar internasional terkait sejarah atau kepurbakalaan. Keberhasilan Soekmono memimpin megaproyek pemugaran Candi Borobudur membuatnya diminta menjadi konsultan berbagai pekerjaan serupa lainnya dari berbagai negara, seperti The Sukhotai Historical Park di Thailand dan The Pasupatinath Area di Nepal, PT Taman Wisata Borobudur-Prambanan, dan seterusnya. Sederet buku yang telah dihasilkan Soekmono pun cukup banyak, di antaranya adalah ''New Light on Some Borobudur Problems'' (1969), ''Ancient Indonesian Art of the Central and Eastern Javanese Periods'' (1971), tiga buku ''Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Volume 1-3'' (1973), ''Chandi'' ''Borobudur: A Monument of Mankind'' (1976), ''Chandi Gumpung of Muara Jambi'' (1987), ''Rekonstruksi Sejarah Malayu Kuno Sesuai Tuntutan Arkeologi'' (1992), hingga ''The Javanese Candi: Function and Meaning'' (1995).

Revision as of 19:04, 3 August 2023

Ketika mega proyek pemugaran Candi Borobudur oleh pemerintah Indonesia mendapat dana dari UNESCO dan siap digarap pada 1970, ditunjuklah sosok arkeolog yang dianggap paling pantas memimpin pekerjaan besar lagi berharga ini. Ia adalah Soekmono, salah satu ahli arkeologi paling terkemuka di tanah air.

Soekmono dilahirkan di Ketanggungan, Brebes, Jawa Tengah, tanggal 14 Juli 1922. Sejak muda, ia sudah menunjukkan minatnya dalam bidang sejarah dan kepurbakalaan. Pada masa pendudukan militer Jepang sejak tahun 1942, Soekmono bekerja di Balai Pustaka dan menghasilkan karya berupa buku dalam bahasa Jawa (Basrowi 2020: 28).

Lulus dari Universitas Indonesia (UI) tahun 1953, Soekmono menjadi salah satu arkeolog pertama yang memperoleh gelar sarjana dari perguruan tinggi terkemuka tersebut. Ia juga merupakan orang Indonesia pertama yang menyandang gelar sebagai doktorandus dalam bidang studi arkeologi. Belum genap setahun tamat kuliah, Soekmono diangkat sebagai Kepala Dinas Purbakala mulai 1954. Lagi-lagi Soekmono menorehkan tinta emas dalam jejak karier dan kehidupannya. Ia adalah orang pertama yang memimpin Dinas Purbakala sejak Indonesia merdeka (kebudayaan.kemdikbud.go.id., 3 September 2019). Jabatan ini diembannya cukup lama, hingga tahun 1974.

Pada 1969, pemerintah Indonesia memasukkan pemugaran Candi Borobudur dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pemugaran candi umat Buddha terbesar di dunia yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, ini dirasa amat penting demi kelestariannya. Semakin ramainya orang yang datang berkunjung berpotensi merusak bangunan Candi Borobudur. Soekmono sendiri tidak memungkiri bahwa sekukuh apapun sebuah bangunan pasti akan rusak atau bahkan musnah suatu saat nanti. Maka, ia sepakat bahwa pemugaran Candi Borobudur perlu dilakukan. “Secara maksimal, kita cuma memperlambat kemusnahan Borobudur,” sebut Soekmono (Tim Tempo, 2020: 32).

Dalam upaya pelaksanaan pemugaran Candi Borobudur itu, pada 1971 dibentuk Badan Pemugaran Candi Borobudur (BPCB) yang diketuai oleh R. Roosseno, sedangkan Soekmono sebagai sekretaris sekaligus pemimpin proyeknya. Saat itu, Soekmono juga masih menjabat sebagai Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN) alias Dinas Purbakala. Di tahun yang sama, diadakan pertemuan antara BPCB dengan United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), organisasi khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menangani urusan pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan. UNESCO bersedia membantu pendanaan proyek pemugaran Candi Borobudur yang akan dipimpin oleh Soekmono.

Soekmono merancang tiga macam pekerjaan pokok untuk proyek pemugaran Candi Borobudur, yaitu pembongkaran dan pemasangan batu-batu candi, pembetonan fondasi candi, dan pengawetan batu-batu yang menyusunnya. Megaproyek ini tuntas pada 1983 atau dikerjakan secara total selama 12 tahun dengan menelan biaya hingga 25 juta dolar AS (Anom [ed.], 2005: 10).

Dalam sejarah pemugaran candi-candi di Indonesia, proyek pemugaran Candi Borobudur yang dikomandani Soekmono inilah untuk kali pertama menggunakan cara-cara kerja modern. Maka, diperlukan sosok pemimpin proyek yang paham betul mengenai bagaimana cara memperlakukan bangunan-bangunan bersejarah seperti candi, dan itulah salah satu alasan mengapa Soekmono yang dipilih sebagai pemimpin proyek pemugaran Candi Borobudur.

Kesibukan Soekmono sebagai pakar sekaligus praktisi arkeologi memang sangat padat. Namun, ia tidak lantas melupakan tugasnya di ranah akademis. Bahkan, di sela-sela kesibukannya memimpin proyek pemugaran Candi Borobudur, Soekmono menuntaskan disertasinya dengan judul “Candi, Fungsi, dan Pengertiannya” di Universitas Indonesia pada 1974.

Jejak akademis Soekmono dapat dilihat dari aktivitasnya mengajar tentang sejarah dan kebudayaan Indonesia di UI, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas Udayana Bali, Perguruan Tinggi Pendidikan Guru Batusangkar di Sumatera Barat, dan lainnya. Tahun 1978, Soekmono dikukuhkan sebagai Guru Besar Arkeologi pada Fakultas Sastra UI. Selanjutnya, pada 1986 hingga 1987, ia menjadi guru besar tamu di Rijksuniversiteit te Leiden, Belanda (Sedyawati (et.al.), 1990: XXVII).

Soekmono aktif di berbagai lembaga maupun terlibat dalam banyak seminar internasional terkait sejarah atau kepurbakalaan. Keberhasilan Soekmono memimpin megaproyek pemugaran Candi Borobudur membuatnya diminta menjadi konsultan berbagai pekerjaan serupa lainnya dari berbagai negara, seperti The Sukhotai Historical Park di Thailand dan The Pasupatinath Area di Nepal, PT Taman Wisata Borobudur-Prambanan, dan seterusnya. Sederet buku yang telah dihasilkan Soekmono pun cukup banyak, di antaranya adalah New Light on Some Borobudur Problems (1969), Ancient Indonesian Art of the Central and Eastern Javanese Periods (1971), tiga buku Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Volume 1-3 (1973), Chandi Borobudur: A Monument of Mankind (1976), Chandi Gumpung of Muara Jambi (1987), Rekonstruksi Sejarah Malayu Kuno Sesuai Tuntutan Arkeologi (1992), hingga The Javanese Candi: Function and Meaning (1995).

Prof. Dr. R. Soekmono meninggal dunia tanggal 9 Juli 1997 dalam usia 55 tahun. Begitu banyak warisan yang telah ditinggalkan sang guru besar untuk semesta keilmuan sejarah serta arkeologi Indonesia, yang paling terlihat nyata tentu saja Candi Borobudur yang masih gagah berdiri hingga kini dan nanti.

Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri


Referensi

Balai Konservasi Borobudur, “Soekmono”, dalam kebudayaan.kemdikbud.go.id, 3 September 2019, diakses tanggal 30 Oktober 2021 dari https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bkborobudur/soekmono-pemimpin-proyek-restorasi-candi-borobudur/

Edi Sedyawati (et.al.), Monumen: Karya Persembahan untuk Prof. Dr. R. Soekmono, Depok: Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, 1990.

I.G.N. Anom (ed.), The Restoration of Borobudur (World Heritage Series), Paris: UNESCO Publishing, 2005.

M. Basrowi, Borobudur Candiku yang Megah, Semarang: Penerbit Alprin, 2020.

Tim Tempo, Merawat Candi Borobudur, Jakarta: Tempo Publishing, 2020.