Njoto: Difference between revisions

From Ensiklopedia
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
No edit summary
 
Line 1: Line 1:
[[File:Njoto - ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P06-0216.jpg|center|thumb|Njoto. Sumber: [https://anri.go.id ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P06-0216]]] 
Njoto adalah seorang wartawan, politikus, dan pegiat budaya pada awal Indonesia merdeka, 1945-1966. Njoto memiliki memiliki peran penting dalam bidang pers dan kebudayaan. Ia adalah salah satu tokoh yang berhasil memadukan antara pers, kebudayaan dan politik. Dalam dunia pers ia mampu membawa surat kabar ''Harian Rakjat'' menjadi salah satu harian dengan oplah yang tinggi dengan mencapai 60.000 pada tahun 1959 (Aria & Dahlan, 2008). Karakter khusus Njoto dalam bidang jurnalistik adalah “jurnalisme konfrontasi dengan bahasa yang meledak-ledak”, jurnalisme propaganda. Salah satu polemik panjangnya Njoto adalah dengan [[Burhanuddin Mohammad Diah|B.M. Diah]] di harian ''Merdeka'' (Dyah, 1964).  Njoto juga mengolah ''Harian Rakjat'' dengan elemen seni di ruang kebudayaan, baik seni musik, patung, lukis, film, seni pertunjukan, tari, wayang, ludruk, karikatur dan lainnya. Njoto berhasil membawa pengaruh yang khas dalam bahasa jurnalistik yang “meledak”.  
Njoto adalah seorang wartawan, politikus, dan pegiat budaya pada awal Indonesia merdeka, 1945-1966. Njoto memiliki memiliki peran penting dalam bidang pers dan kebudayaan. Ia adalah salah satu tokoh yang berhasil memadukan antara pers, kebudayaan dan politik. Dalam dunia pers ia mampu membawa surat kabar ''Harian Rakjat'' menjadi salah satu harian dengan oplah yang tinggi dengan mencapai 60.000 pada tahun 1959 (Aria & Dahlan, 2008). Karakter khusus Njoto dalam bidang jurnalistik adalah “jurnalisme konfrontasi dengan bahasa yang meledak-ledak”, jurnalisme propaganda. Salah satu polemik panjangnya Njoto adalah dengan [[Burhanuddin Mohammad Diah|B.M. Diah]] di harian ''Merdeka'' (Dyah, 1964).  Njoto juga mengolah ''Harian Rakjat'' dengan elemen seni di ruang kebudayaan, baik seni musik, patung, lukis, film, seni pertunjukan, tari, wayang, ludruk, karikatur dan lainnya. Njoto berhasil membawa pengaruh yang khas dalam bahasa jurnalistik yang “meledak”.  



Latest revision as of 14:30, 27 August 2024

Njoto. Sumber: ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P06-0216

Njoto adalah seorang wartawan, politikus, dan pegiat budaya pada awal Indonesia merdeka, 1945-1966. Njoto memiliki memiliki peran penting dalam bidang pers dan kebudayaan. Ia adalah salah satu tokoh yang berhasil memadukan antara pers, kebudayaan dan politik. Dalam dunia pers ia mampu membawa surat kabar Harian Rakjat menjadi salah satu harian dengan oplah yang tinggi dengan mencapai 60.000 pada tahun 1959 (Aria & Dahlan, 2008). Karakter khusus Njoto dalam bidang jurnalistik adalah “jurnalisme konfrontasi dengan bahasa yang meledak-ledak”, jurnalisme propaganda. Salah satu polemik panjangnya Njoto adalah dengan B.M. Diah di harian Merdeka (Dyah, 1964).  Njoto juga mengolah Harian Rakjat dengan elemen seni di ruang kebudayaan, baik seni musik, patung, lukis, film, seni pertunjukan, tari, wayang, ludruk, karikatur dan lainnya. Njoto berhasil membawa pengaruh yang khas dalam bahasa jurnalistik yang “meledak”.

Njoto membawa karakter sastra revolusioner di Indonesia. Njoto berkeyakinan bahwa kesusastraan revolusioner adalah “melukiskan watak-watak manusia baru” (Njoto, 1961). Njoto meyakini bahwa politik memiliki peran vital dalam segenap ranah kehidupan manusia termasuk dalam sastra yang mendarah menjadi sastra revolusioner (Aria, 2021). Sastra revolusioner ini juga menjadi bagian “realisme sosialis” yang diinterpretasikan oleh Njoto. Sebuah perpaduan antara tradisi besar realitas kritis dan romantisme dalam menampilkan realitas sosial dalam berkesenian (Njoto, 1959). Sebuah gagasan yang kemudian dikenal sebagai realisme sosialis  yang dipadukan dengan revolusioner dalam bidang budaya yang masih hadir sampai saat ini. Njoto juga mengorganisasi kebudayaan bernama Lekra (Lembaga Kesenian Rakjat) yang memperoleh simpati sebanyak 100.000 anggota pada tahun 1963 (Hindley, 1964). Keith Foulcher (1986) mendeskripsikan karakter Lekra adalah menekankan pada hubungan internasional dengan slogan realisme sosialis dan turun ke bawah.

Aktivitas Njoto sejak masa muda, baik dalam bidang politik maupun seni, dikembangkan secara otodidak. Pada tahun 1945 Njoto bersama beberapa temannya (yang tidak disebutkan dalam dokumen) mendirikan PKI Seksi Besuki, dan menjabat sebagai ketua divisi “Agitprop” (Agitasi dan Propaganda). Pada tanggal 3 Maret 1947 ketika terjadi perluasan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dengan 47 anggota, Njoto menjadi salah satu anggota yang mewakili PKI (Partai Komunis Indonesia) (Kahin, 1980). KNIP merupakan badan inti yang idealnya mewakili rakyat yang terdiri dari perwakilan partai maupun perwakilan daerah. Badan ini juga memiliki fungsi legislatif. Untuk dapat menjadi anggota KNIP, Njoto menuakan tahun lahirnya yaitu dua tahun lebih tua dengan tahun lahir lahir 1925 (Parlaunga, 1956). Atas keputusan anggota komite sentral PKI ditunjuk untuk memperkuat perwakilan PKI di Sekretariat Pusat FDR. Di sekretariat pusat FDR Njoto dipilih sebagai kepala Bagian Penerangan. Pada tanggal 1 September 1948, dibentuklah suatu politbiro baru PKI yang beranggotakan beberapa pemuda yang lebih suka menerima kekuasaan Musso daripada pimpinan PKI yang sudah ada; tokoh-tokoh baru itu adalah D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njoto, Sudisman. Njoto memimpin Sekretariat Perwakilan. Njoto dianggap representatif dalam kedudukan ini karena ia bekerja di BP KNIP (Aria, 2021). Njoto juga merupakan tokoh sentral dalam membangun “PKI jalan baru” 1951. Njoto menjabat sebagai wakil ketua CC PKI, dan juga menjadi menteri tanpa portofolio (semacam Menteri yang diperbantukan) sejak tahun 1963 (Yuliantri, 2021).

Njoto  lahir di Jember, Jawa Timur pada tanggal 27 Januari 1927, merupakan anak pemilik toko busana, pakaian dan perlengkapan. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara (Yuliantri, 2021). Sebagai anak seorang pedagang, Njoto berkesempatan bersekolah di HIS Jember. Selama sekolah ia  di bawah asuhan kakeknya, Kyai Mardjo, yang seorang pengusaha. Pada tahun 1942 ketika situasi politik tidak menentu, Njoto kemudian bersekolah di Solo, tepatnya di Sekolah Menengah Tinggi (Nakagako) Margoyudan di daerah Mangkunegaran, pada 1942 (Yuliantri, 2021). Njoto memiliki kemampuan berbahasa asing seperti Belanda, Jepang, Inggris, Cekoslowakia (pasif). Njoto menghilang setelah huru-hara politik 1 Oktober 1965. Beberapa orang masih sempat bertemu dengan Njoto awal tahun 1966 tapi setelahnya Njoto “hilang” dan desas desus kepergiannya masih menjadi tanda tanya sampai saat ini.

Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri


Referensi

Njoto (pengantar), Api 26, Jakarta: Jajasan Pembaharuan,1961.

Njoto, “Pidato Kongres Lekra I”, Harian Rakjat, 7 Februari 1959.

Hindley, Donald., The Communist Party of Indonesia 1951-1963, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1964.

Dyah, B.M., “Bagaimana Harian Rakjat Merivisi Fikiran2 Dalam Manipol” Merdeka, 18 Djuni 1964.

Foucher, Keith., Social Commitment in Literature and The Arts: The Indonesian “Institute of People Culture” 1950-1965. Victoria: Australia, 1986.

McTurnan Kahin, Georger.,  Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, London: Cornell University Press, 1980,

Parlaungan, Hasil Rakjat Memilih: Tokoh-tokoh Parelemen (Hasil Pemilihan Umum  Pertama 1955) di Republik Indonesia. CV Gita, 1956.

Yuliantri, Rhoma Dwi Aria “Njoto: Gagasan“Manusia Baru Indonesia” dan Praktik Kebudayaan (1950-1965),” Disertasi,  Universitas Gadjah Mada, Yogayakarta 2021.

Yuliantri, Rhoma Dwi Aria & Muhidin M Dahlan, Sehimpunan Puisi Lekra, Harian Rakjat 1950-1965, Yogyakarta: Merakesumba, 2008.