Sjafruddin Prawiranegara: Difference between revisions

From Ensiklopedia
m (Text replacement - "Penulis: Ilham Daeng Makkelo" to "{{Penulis|Ilham Daeng Makkelo|Universitas Hasanuddin|Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum}}")
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
Line 39: Line 39:


Sjafruddin Prawiranegara, ''Ekonomi dan keuangan. Makna Ekonomi Islam.'' Jakarta: Pustaka Jaya, 2011.
Sjafruddin Prawiranegara, ''Ekonomi dan keuangan. Makna Ekonomi Islam.'' Jakarta: Pustaka Jaya, 2011.
[[Category:Tokoh]]
{{Comment}} [[Category:Tokoh]]

Revision as of 15:41, 25 August 2023

Sjafruddin Prawiranegara, tokoh sentral masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat pada 22 Desember 1948, adalah putra kelahiran Serang Banten pada 28 Februari 1911. Beliau adalah anak kedua dari Arsjad Prawiraatmadja, yang pernah menjabat sebagai jaksa, masih memiliki kekerabatan dekat dengan Sultan Banten.

Sjafruddin lahir dan dibesarkan dalam keluarga muslim yang taat. Hal ini terkait dengan ayahnya yang pernah belajar di pesantren, selain pendidikan Eropa. Dia memulai pendidikan di ELS (Europeesche Lagere School). Sehari-hari ia biasa berkomunikasi dalam bahasa Belanda dengan ayahnya dan bahasa Sunda dengan saudara-saudara dan anggota keluarga yang lain. Setelah tamat ELS, ia melanjutkan pendidikan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Madiun, menyusul ayahnya yang bertugas di Ngawi, Jawa Timur. Dari situ,  Sjafruddin melanjutkan pendidikannya ke AMS (Algemeene Middlebare School) Bandung.

Sjafruddin lulus AMS pada tahun 1931, ia kemudian melanjutkan studi ke RHS (Rechts Hoge School), merupakan Sekolah Tinggi Hukum yang didirikan di Batavia pada tahun 1924. Saat kuliah di RHS, Sjafruddin aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Ia bergabung dalam USI (Unitas Studiosorum Indonesiensis), perhimpunan mahasiswa Indonesia yang cenderung memusatkan kegiatan mereka dalam urusan seperti diskusi, olahraga, dan darmawisata. Bahkan, untuk menampung segala kegiatan mereka, perkumpulan ini memiliki gedung sendiri. Sjafruddin menghabiskan waktu yang cukup lama di RHS. Di tahun terakhir di RHS dan tinggal mengerjakan skripsi, dia menelantarkan pendidikan tingginya hampir tiga tahun lamanya. Kematian ayahnya pada Maret 1939 memicu Sjafruddin menuntaskan studinya. Akhirnya pada bulan September, ia lulus sebagai Meester in de Rechten (Sarjana Hukum).

Sjafruddin mulai meniti karir di Department van Financien (Departemen Keuangan), yang saat itu terjadi kekurangan tenaga kerja karena akses dari Belanda ke Hindia terputus, sehingga pemerintah kolonial terpaksa menerima tenaga pribumi. Sjafruddin diterima bekerja di Department van Financien dan ditempatkan di Kantor Inspeksi Pajak di Kediri, Jawa Timur. Saat duduk di bangku pemerintahan, koleganya kebanyakan orang Belanda yang terpaksa membuat ia harus terus berkomunikasi dengan bahasa Belanda. Namun dengan peralihan jabatan ke tangan Jepang pada tahun 1942, ia mulai sering menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Ia juga mengasah kemampuan bahasa Indonesia berkat bantuan dari R. Soedjono, pegawai pajak kelas II, pegawai tertinggi di bawah Sjafruddin.

Pada tanggal 29 Agustus 1945, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk menggantikan Panitia Persiapan Kemerdekaan yang sebelumnya bertindak sebagai penasihat Presiden. Dengan ditandatangani dekrit pada tanggal 16 Oktober, KNIP resmi menjadi lembaga legislatif. Sjafruddin resmi menjadi anggota KNIP pada bulan November 1945 dan ditunjuk langsung oleh Sutan Syahrir di Bandung. Pengangkatan Sjafruddin sebagai anggota Badan Pekerja KNIP atas rekomendasi kawan-kawannya saat bersekolah hukum yang turut aktif dalam organisasi USI. Mereka banyak yang menjadi pembantu Sutan Syahrir. Alasan lainnya adalah Sjafruddin tidak mewakili kelompok manapun, yang mana merupakan syarat menjadi anggota Badan Pekerja. Namun peraturan ini berubah dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden yang meminta setiap anggota KNIP memiliki partai yang menaungi. Pergulatan batin terjadi dalam diri Sjafruddin, karena dia harus memilih antara Islam dengan sosialisme. Pada akhirnya ia memilih Masyumi sebagai partai pilihan.

Kabinet Syahrir ke-3 resmi dibentuk pada tanggal 2 Oktober 1946 dan Sjafruddin ditunjuk menjadi Menteri Keuangan. Prestasinya sebagai Menteri Keuangan terlihat dari terobosan-terobosan yang ia tawarkan untuk masa depan Indonesia yang masih seumur jagung itu. Sjafruddin merealisasikan mimpi Indonesia untuk memiliki mata uang terpisah dari yang dipakai pada zaman Belanda maupun Jepang yakni gulden dan yen. Ide ini sebenarnya sudah muncul pada awal kemerdekaan Indonesia, namun baru dapat terealisasi pada pemerintahan Kabinet Syahrir ke-3 dimana Sjafruddin menjabat sebagai Menteri Keuangan. Menurutnya, penerbitan mata uang baru, yakni ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) sebagai satu-satunya alat tukar yang sah di Indonesia dapat menjadi alat perjuangan yang menunjukkan eksistensi Indonesia sebagai negara yang berdaulat. ORI secara resmi menjadi alat tukar dan pembayaran yang sah pada tanggal 30 Oktober 1946. Semalam sebelum resmi diterbitkan, Sjafruddin yang saat itu menjabat Menteri Keuangan menyampaikan pidato melalui RRI yang isinya adalah menghimbau rakyat untuk berhemat dan membatasi pembelian untuk barang-barang yang tidak dibutuhkan.

Karir Sjafruddin selanjutnya di panggung politik adalah dengan menjabat sebagai Menteri Kemakmuran pada era Kabinet Hatta yang diumumkan pada tanggal 19 Januari 1948. Tugas dan tanggung jawab utama Sjafruddin adalah memperbaiki ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang porak poranda akibat Agresi Militer Belanda.

Akhir tahun 1948 Indonesia dihantam masa sulit di mana pihak Belanda menolak nota yang dibuat Komisi Tiga Negara (KTN) untuk mempercepat proses perundingan. Pihak Belanda mengirimkan sinyal bahwa perundingan tidak dapat dicapai dan hendak melancarkan aksi militer lagi. Oleh karena itu diadakannya pertemuan dihadiri petinggi bangsa seperti Presiden Sukarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta membahas siasat yang diambil kalau-kalau agresi militer benar dilakukan. Dalam pertemuan dibicarakan juga kemungkinan Sumatera dijadikan pusat kedudukan pemerintahan jika keadaan ibu kota menjadi genting. Puncaknya pada tanggal 18 Desember 1948, Belanda secara sepihak membatalkan Perjanjian Renville dan keesokan paginya Kota Yogyakarta, ibu kota negara saat itu, diserang tiba-tiba oleh pasukan Belanda.

Sidang Kabinet diadakan di hari yang sama dihadiri juga oleh Presiden Sukarno, membahas situasi gawat dan tindakan darurat yang harus diambil. Salah satu keputusannya adalah dengan menunjuk Sjafruddin, yang saat itu berada di Bukittinggi untuk mengumumkan Pemerintahan Darurat, membentuk kabinet, dan mengambil-alih Pemerintahan Pusat. Hal ini direspon cepat oleh Sjafruddin, di mana pada tanggal 22 Desember 1948, ia mendeklarasikan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Sebagai pemimpin PDRI, Sjafruddin juga merangkap sebagai Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri. Situasi di ibu kota sangat genting, dimana para tokoh bangsa termasuk Sukarno, Muhammad Hatta, Sutan Syahrir diasingkan ke luar Jawa. Mandat PDRI berakhir tanggal 10 Juli 1949, diserahkan secara langsung oleh Sjafruddin kepada Presiden Sukarno ketika ia kembali ke Yogyakarta. Setelah pengembalian Mandat PDRI, diadakan sidang Kabinet Hatta membahas transformasi Kabinet Hatta ke-2. Sjafruddin kemudian ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri.

Hasil Konferensi Meja Bundar yang diselenggarakan di Den Haag, 23-29 Oktober 1949 memuat beberapa poin, di antaranya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia yang berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam hal ini terpilih Sukarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Kabinet Hatta menunjuk Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan. Perlu dipahami bahwa selama pemerintahan RIS, kondisi perekonomian Indonesia luluh-lantah. Bukan hanya kas negara menipis karena perang namun juga Indonesia harus memikul beban dengan membayar utang-utang pemerintah Hindia-Belanda.

Oleh karena itu, Sjafruddin sebagai Menteri Keuangan mencoba memperbaiki kondisi ekonomi rakyat, salah satunya adalah dengan cara menstabilkan kondisi moneter. Walaupun Indonesia sudah punya mata uang ORI, dipasaran masih beredar mata uang lain seperti uang NICA, yang disebut juga “uang merah.” Hal ini mengakibatkan inflasi. Pada tanggal 19 Maret 1950, Sjafruddin mengeluarkan keputusan yang diantaranya membuat hanya satu mata uang yang berlaku, mengurangi jumlah uang yang beredar, dan menurunkan harga barang. Pemotongan uang menjadi dua bagian, yang disebut “Operasi Gunting Sjafruddin,” adalah salah satu usaha untuk menyelamatkan perekonomian bangsa yang sedang terpuruk. Pemotongan berlaku untuk pecahan Rp 5 ke atas. Hanya bagian kiri yang berlaku sebagai alat transaksi dan bernilai setengah dari nominalnya.

Sjafruddin juga pernah menjabat sebagai Presiden De Javasche Bank. Ia diangkat secara resmi sebagai Gubernur Bank pada tanggal 2 Juni 1953, berdasarkan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia (UUPBI) tahun 1953 nomor 11. Ia adalah Gubernur Bank Indonesia pertama yang didirikan pada 1 Juli 1953. Sjafruddin turut aktif dalam penyusunan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia, salah satunya adalah gagasan dia tentang pembentukan Dewan Moneter, dimana tidak dijumpai di perbankan negara lain.

Pada tahun 1958, Sjafruddin terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) sebagai respon kekecewaannya terhadap Presiden Sukarno. Pada 15 Februari 1958, PPRI dideklarasikan di Bukittinggi Sumatera Barat dan Sjafruddin tampil sebagai perdana menteri. PPRI hanya berusia singkat karena berhasil ditumpas pemerintahan Sukarno. Walaupun Sjafruddin terlibat dalam aksi revolusi tersebut, ia mendapatkan abolisi (pengampunan) dari Presiden Sukarno. Dan ini menandai akhir karir Sjafruddin dalam panggung politik. Ia kemudian lebih memusatkan diri dalam kegiatan keagamaan di Yayasan Pesantren Islam dan Korps Mubalig Indonesia (KMI).

Sjafruddin menghabiskan sisa hidupnya sebagai penulis yang sangat produktif. Puluhan karya tulisnya tersebar dan dibaca banyak kalangan. Beberapa di antaranya adalah Islam sebagai Pedoman Hidup, Agama dan Bangsa: Pembangunan dan Masalah-masalahnya, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam.

Penulis: Ilham Daeng Makkelo
Instansi: Universitas Hasanuddin
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT. Jakarta: Inti Idayu Press, 1986.

Sjafruddin Prawiranegara, Islam sebagai Pedoman Hidup: Kumpulan Karangan Terpilih. Jilid I. Jakarta: Inti Idayu Press, 1986.

Sjafruddin Prawiranegara, Agama dan Bangsa: Pembangunan dan Masalah-masalahnya. Jakarta: Pustaka Jaya, 2011.

Sjafruddin Prawiranegara, Ekonomi dan keuangan. Makna Ekonomi Islam. Jakarta: Pustaka Jaya, 2011.