Sarwo Edhie Wibowo: Difference between revisions
m (Text replacement - "Penulis: Satrio (Ody) Dwicahyo" to "{{Penulis|Satrio Dwicahyo|Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada|Dr. Farabi Fakih, M.Phil.}}") |
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh") |
||
Line 53: | Line 53: | ||
Robinson, Geoffrey. ''The Killing Season a History of the Indonesian Massacres, 1965-66'', 2019. | Robinson, Geoffrey. ''The Killing Season a History of the Indonesian Massacres, 1965-66'', 2019. | ||
[[Category:Tokoh]] | {{Comment}} [[Category:Tokoh]] |
Revision as of 16:47, 25 August 2023
Era Orde Baru begitu memanjakan perwira militer dengan memberikan mereka kedudukan di jabatan-jabatan sipil. Namun, tak semua perwira menikmati keleluasaan ini. Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke-5, adalah satu dari sedikit perwira yang tak terbuai.
Namun, rekam jejaknya dalam urusan jabatan di “luar barak” yang cenderung bersih tidak dapat menutupi peran besarnya dalam operasi anti-komunis di penjuru Jawa yang merenggut begitu banyak nyawa. Hingga hari ini tidak ada jumlah pasti tentang korban dari operasi ini. Pihak tentara dan komisi pencari fakta bentukan Presiden Sukarno (kecuali Oei Tjoe Tat) percaya bahwa korbannya tidak lebih dari 100.000 orang. Beberapa organisasi seperti YPKP 1965/1966 dan Komnas HAM menyebut angka 500.000 hingga 3 juta jiwa. Berapapun jumlah pastinya, berbagai pihak termasuk Presiden Suharto sepakat bahwa skala kekerasan dari operasi ini sangatlah masif (Tempo, 18 April 2016).
Kepemimpinannya dalam operasi yang turut membidani kelahiran Orde Baru ini tak serta-merta membuat Presiden Suharto merangkulnya. Justru, ketika Orde Baru mencapai masa kejayaan, Sarwo Edhie pelan-pelan dijauhkan dari pusaran kekuasaan militer di Jakarta. Bahkan, Sarwo Edhie hampir pernah ditugaskan menjadi duta besar RI di Moskow, ibukota komunisme dunia (Endah, 2013: 110).
Sarwo Edhie Wibowo dilahirkan di Purworejo pada 25 Juli 1925. Purworejo, selain merupakan salah satu basis militer Belanda di Jawa Tengah, juga merupakan kota asal beberapa nama legendaris dalam sejarah militer Indonesia, antara lain Ahmad Yani dan Urip Sumohardjo. Tidak ubahnya Jenderal Yani, Sarwo Edhie muda pula bergabung dengan PETA meskipun nasibnya tak begitu mujur karena hanya dipasrahkan tugas-tugas perawatan markas (Pambudi, 2017: 36).
Setelah kemerdekaan, Sarwo Edhie bergabung dengan Batalion III BKR bersama rekan satu daerah yang ia anggap saudara, Ahmad Yani. Di dalam karir militer Sarwo Edhie, Ahmad Yani seringkali muncul sebagai pihak yang memudahkan, betapapun pernah menunda kenaikan pangkatnya. Ahmad Yani juga merupakan perwira yang memperkenalkan Sarwo Edhie pada RPKAD melalui pengangkatannya sebagai Komandan Sekolah Para Komando RPKAD di Bandung (Pambudi, 2017: 37).
Penunjukkan Sarwo Edhie sebagai komandan Sekolah Terjun Payung RPKAD menuai kontroversi karena Sarwo Edhie belum berkualifikasi Komando. Pendidikan setingkat Sesko yang ia jalankan di Australia pun dianggap tidak cukup untuk menduduki posisi di kesatuan berbaret merah ini. Seyogyanya, komandan di dalam RPKAD adalah jebolan pendidikan komando di Batujajar, sesuatu yang baru ditempuh oleh Sarwo Edhie setelah pengangkatannya sebagai orang nomor satu RPKAD pada tahun 1964 (Conboy, 2003: 56).
Setelah menjabat Komandan RPKAD dengan pangkat Kolonel, Sarwo Edhie dihadapkan pada kesulitan yang mengubah kehidupannya. Pada dini hari 1 Oktober 1965, beberapa pejabat teras angkatan darat diculik oleh sekelompok pasukan Cakrabirawa. Salah satu korban penculikan malam itu adalah sahabat Sarwo Edhie, Letjen Ahmad Yani. Dalam merespon keadaan itu, Pangkostrad Mayjen Suharto memerintahkan Kolonel Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD untuk mengambil alih kendali atas keadaan (Soeharto, 1989: 122). Operasi militer tersebut dimulai dari Jakarta dan menuntut Sarwo Edhie untuk adu akal dan baku tembak dengan kesatuan-kesatuan militer pendukung Gerakan 30 September yang antara lain berasal dari Kodam Diponegoro dan Brawijaya (Pambudi, 2017: 5).
Manuver taktis Sarwo Edhie yang paling populer adalah operasi perebutan RRI Jakarta yang dijadikan corong para pendukung Gerakan 30 September untuk menyebarluaskan rencananya menyingkirkan apa yang mereka percayai sebagai Dewan Jenderal. Di dalam operasi ini, dua kompi RPKAD berhadapan dengan pasukan dari Batalyon 454/Diponegoro, 530/Brawijaya, dan Pemuda Rakyat. Meskipun dijaga oleh tiga pasukan, kompi RPKAD yang salah satunya dipimpin oleh Letnan Sintong Panjaitan hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk merebut instalasi tersebut (Pambudi, 2017: 5).
Ketika masih beroperasi di Jakarta, Sarwo Edhie sempat menemui Presiden Sukarno di Istana Bogor. Di pertemuan ini, Sarwo Edhie mendapat kesan bahwa Presiden Sukarno tidak begitu merasa terganggu dengan peristiwa pembunuhan para perwira AD. Kekecewaan Sarwo Edhie ini nampak kontras dengan desas-desus yang dihembuskan oleh Kolonel Ali Murtopo, tangan kanan Presiden Suharto, bahwa Sarwo Edhie mendekat kepada Sukarno. Memang, kepergian Sarwo Edhie ke Bogor dilakukan tanpa restu Suharto. Hal ini membuat Presiden Suharto, atas bisikan Ali Murtopo, percaya bahwa Sarwo Edhie masih bermain dua kaki (Pambudi, 2017: 8-9).
Peran RPKAD di bawah Sarwo Edhie tidak berhenti pada operasi perebutan objek vital di Jakarta. Setelah jenazah para perwira tinggi AD yang diculik dan dibunuh pada 1 Oktober 1965 ditemukan, Sarwo Edhie harus menjalankan tour of duty di penjuru Jawa. Tugas yang diamanatkan kepadanya amatlah jelas: memberantas habis Partai Komunis Indonesia. Aksi ini diwarnai serangkaian penangkapan dan perusakan fasilitas. Namun, eksekusi di tempat juga sangat jamak terjadi di dalam operasi ini.
Selain jumlah korban wafat dan hilang, terdapat dua versi tentang pihak yang berperan dominan dalam operasi ini. Melihat rivalitas tentara yang berlarut kepada PKI dan intelijen serta persenjataan yang dimiliki, sangat memungkinkan bagi tentara, termasuk RPKAD, untuk menjadi penentu utama mengenai siapa yang harus diringkus atau dihabisi. Jess Melvin dalam The Army and the Indonesian Genocide mengamini hal ini dengan berargumen bahwa kekerasan skala besar yang terjadi pasca 30 September 1965 bukan tindakan spontan. Pembunuhan dan serangkaian kekerasan lain di sekitarnya adalah sesuatu yang direncanakan (Melvin, 2018: 20).
Namun, Sintong Panjaitan, salah satu komandan kompi Sarwo Edhie, menolak argumen ini. Baginya, massa sering bergerak secara spontan. Kehadiran RPKAD justru banyak berhasil meredam amukan massa kepada mereka yang terafiliasi atau dituduh menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia (Pambudi, 2017: 18). Spontanitas massa memang tak dipungkiri terjadi di berbagai wilayah. Hal ini sering diakui oleh anggota ormas yang terlibat dalam penangkapan atau eksekusi tersebut. Dalam situasi seperti itu, tentara seringkali “berdiri di belakang.”
Operasi ini pula yang membuat Sarwo Edhie dekat dengan unsur-unsur masyarakat sipil, terutama mahasiswa. Di kalangan mahasiswa yang tidak lagi bersimpati pada Sukarno, Sarwo Edhie sangatlah populer dan berkharisma. Selama operasi anti-komunis, ia memberi kuliah-kuliah umum di beberapa universitas besar, seperti UI dan UGM, demi menggalang dukungan. Sebagai gantinya, Sarwo Edhie mendukung Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang diajukan oleh mahasiswa (Lihat, misalkan Lubis, Padamulia, 1996). Isi tuntutan tersebut adalah: pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, perombakan atas Kabinet Dwikora, dan penurunan harga pangan .
RPKAD di bawah kepemimpinan Sarwo Edhie juga membekali unsur-unsur masyarakat dengan kemampuan militer. Di kalangan mahasiswa, sebagai contoh, RPKAD mendukung pembentukan sayap-sayap paramiliter mahasiswa seperti Resimen “Arif Rahman Hakim” di Jakarta dan “Aris Sumargono” di Yogyakarta. Betapapun mendukung mobilisasi dan militerisasi mahasiswa, Sarwo Edhie pula yang meminta mereka tidak menggunakan istilah resimen dan menggantinya dengan “laskar” (Budiman, 2006: 238).
Namun, kharisma dan wibawa Sarwo Edhie di hadapan mahasiswa justru menjadi alasan kuat bagi Soeharto untuk menyingkirkannya. Seperti perwira lain yang disingkirkan, Sarwo Edhie yang sedang melejit karirnya setelah Orde Baru tegak berdiri justru dijauhkan dari Jakarta. Pertama kali, Sarwo Edhie ditugaskan di Medan sebagai Pangdam II Bukit Barisan. Kemudian, ia diangkat menjadi Pangdam Cenderawasih di Papua. Di bawah komandonya, Republik Indonesia melakukan penentuan pendapat rakyat Papua untuk memilih apakah mereka ingin merdeka atau menjadi bagian dari republik. Hasil Pepera menunjukkan bahwa rakyat Papua ingin tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia. Sarwo Edhie berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik betapapun harus menempuh berbagai cara yang kontroversial (Subroto, 2009: 169).
Di Papua, Sarwo Edhie juga menunjukkan dukungannya kepada ekspedisi alam terbuka dengan membentuk tim untuk menjelajahi lembah “X” atau Lembah Eipomek. Tim yang terdiri dari para perwira baret merah seperti Sintong Panjaitan dan Feisal Tanjung ini menyertai sekelompok pembuat dokumenter dari Prancis (Subroto, 2009: 169). Hal serupa juga nampak dari dukungan konsisten Sarwo Edhie kepada salah satu organisasi penempuh rimba dan pendaki gunung tertua di Indonesia, Wanadri. Hubungan baik antara Kopassus dengan Wanadri terjalin hingga hari ini (Nondi, 2014: 21).
Setelah Papua, Sarwo Edhie belum pula bisa mendekat ke Jakarta. Suharto mempercayainya untuk menjadi Gubernur Akabri Umum dan Darat (Udarat) di Magelang. Penugasan inilah yang memberinya kesempatan untuk memperkenalkan beberapa putrinya dengan Taruna AKABRI yang cemerlang. Salah satunya adalah putri ketiganya, Kristiani Herawati, yang kemudian berjodoh dengan seorang taruna berprestasi bernama Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika duduk menjadi gubernur Akabri, Sarwo Edhie masih merangkul mahasiswa dan “mendamaikannya” dengan para taruna. Relasi taruna dengan mahasiswa sempat renggang karena penembakan Rene Conrad, mahasiswa ITB, oleh seorang taruna Akabri Kepolisian (Pambudi, 2017: 50-51).
Lembah Tidar di Magelang menjadi saksi tugas militer terakhir Sarwo Edhie Wibowo. Selanjutnya, Suharto mengangkatnya pada jabatan yang secara personal tidak ia sukai seperti Duta Besar RI di Seoul, Korea Selatan, Kepala BP7, hingga anggota DPR. Namun, jiwa prajuritnya tak bisa menolak semua penugasan itu. Bagaimanapun, terdapat satu rencana Soeharto yang membuatnya berang, pengangkatannya sebagai duta besar RI di Moskow, Uni Soviet. Sebagai ujung tombak operasi anti-komunis, penugasan itu terasa seperti hinaan untuknya.
Sarwo Edhie menikah dengan Sunarti Sri Hadiyah yang dikenal sebagai Bu Ageng. Pernikahan tersebut melahirkan lima putri dan dua putra. Kristiani Herawati, putri ke-3 Sarwo Edhie, di kemudian hari menjadi Ibu Negara yang mendampingi Presiden RI ke-5, Susilo Bambang Yudhoyono. Salah seorang putranya, Pramono Edhie Wibowo juga sempat menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan Darat yang tidak pernah dinikmati sang ayah. Nama Sarwo Edhie kerap dicalonkan sebagai pahlawan nasional. Namun, tidak sedikit pula yang menganggap bahwa peran Sarwo Edhie di operasi anti-komunis kala itu membuatnya tak layak menyandang gelar tersebut.
Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Bachtiar, Harsja W. Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Jakarta: Penerbit Djambatan, 1988.
Budiman, Arief, Luthfi Assyaukanie, and Stanley. Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan, 1965-2005. Cet. 1. Jakarta: Kerja sama Freedom Institute dan Pustaka Alvabet, 2006.
Melvin, Jess. The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder, 2018. https://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&scope=site&db=nlebk&db=nlabk&AN=1695598.
Nondi, Rusna. Setitik Cahaya Di Kegelapan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014.
Pambudi, Eko Punto, and Et.Al. Sarwo Edhie Dan Misteri 1965: Seri Buku Saku Tempo Tokoh Militer. Jakarta: Tempo, 2018.
Robinson, Geoffrey. The Killing Season a History of the Indonesian Massacres, 1965-66, 2019.