Siti Roekiah: Difference between revisions
m (Text replacement - "Referensi: Satrio (Ody) Dwicahyo" to "{{Penulis|Satrio Dwicahyo|Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada|Dr. Farabi Fakih, M.Phil.}}") |
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh") |
||
Line 29: | Line 29: | ||
Woodrich, Christopher A.. ''Ekranisasi Awal''. Indonesia: Gadjah Mada University Press, 2017. | Woodrich, Christopher A.. ''Ekranisasi Awal''. Indonesia: Gadjah Mada University Press, 2017. | ||
[[Category:Tokoh]] | {{Comment}} [[Category:Tokoh]] |
Revision as of 17:02, 25 August 2023
Siti Roekiah (31 Desember 1917–2 September 1945) adalah seorang seniwati yang amat sohor pada 1930-an. Aktris sekaligus penyanyi berdarah Sunda-Belitung ini memang dilahirkan dari pasangan pekerja seni, Mohammad Ali dan Ningsih, yang tergabung dalam Kelompok Opera Poesi Indra Bangsawan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Roekiah lahir ketika rombongan ini sedang singgah di Bandung, sumber lainnya menulis bahwa di Cirebon lah Roekiah lahir.
Bakat Roekiah sebagai seorang seniwati tarik suara telah nampak terlihat sejak kecil. Pada awalnya, orang tua Roekiah tidak menyetujui pilihan sang anak. Menanggapi sikap orang tuanya, Roekiah justru mogok makan dan hanya mau membuka mulut jika kedua orang tuanya mengizinkannya menjadi artis. Perubahan sikap orang tua Roekiah sangatlah tepat, sebab karir Roekiah sebagai artis sangatlah cemerlang.
Roekiah mengawali karir sebagai penyanyi keroncong di berbagai tempat, baik secara langsung maupun melalui siaran radio. Sebagai contoh, Roekiah bernyanyi di Union Dahlia Opera, Het Indische Opera Gezelschap di Radio Goldberg, dan sebagai bintang tetap di Radio NIROM milik pemerintah kolonial. Selain itu, Roekiah juga kerap tampil di Pasar Malam bersama grup tonil Gezelschap Palestina.
Ketika sudah menjadi seniwati tarik suara, Roekiah bertemu Kartolo, aktor, penulis, dan komponis yang kemudian menjadi suaminya. Bersama Kartolo, Roekiah bergabung dengan kelompok Faroka yang sempat mengadakan pertunjukan di Singapura. Pada 1937, Roekiah membintangi film Terang Boelan yang membuat karir dan reputasinya sebagai aktris meroket. Terang Boelan adalah sebuah film layar perak karya Tans Film yang disutradarai oleh Albert Balink. Film Terang Boelan banyak mengangkat cerita kehidupan pedesaan. Uniknya, mayoritas gambar diambil di Singapura dan Filipina, alih-alih Jawa. Melalui film inilah Roekiah bertemu Raden Moechtar, rekan adu peran yang turut membesarkan namanya.
Bersama Raden Moechtar, Roekiah pula membintangi beberapa judul seperti Fatima (1938), Gagak Item/Zwaarte Raaf (1939), dan Sitti Akbari (1940). Ketiga film ini tidak hanya membawa popularitas luar biasa bagi Roekiah, tetapi juga keuntungan besar bagi rumah produksi filmnya. Terang Boelan menuai keuntungan sebesar 200.000 dolar, sementara Fatima, cerita tentang seorang gadis yang menolak pinangan seorang jago dan jatuh cinta kepada seorang nelayan, mendapatkan keuntungan sebesar 200.000 gulden; betapapun hanya menghabiskan biaya produksi sebesar 7.000 gulden saja.
Hampir semua film yang membesarkan nama Roekiah bertemakan romansa dan dianggap bebas dari pengaruh film Mandarin dan Barat yang merajai layar perak di Hindia Belanda. Namun, film-film ini juga tidak terlalu menampakkan karakter “Hindia.” Hal ini disebabkan pengaruh Melayu yang kuat dalam dialog dan music pengiring. Di karya-karya ini, Roekiah tampil dengan beberapa nama besar antara lain Miss Euis, Miss Titing, dan T. Effendi. Sitti Akbari, film yang berpusat pada isu perselingkuhan, kemudian menjadi film terakhir Roekiah bersama Raden Moechtar, aktor yang membersamainya di puncak popularitasnya.
Sulit bagi pekerja seni manapun untuk bebas dari politisasi budaya oleh pemerintah pendudukan Jepang, termasuk Roekiah. Setelah berperan pada film Kuda Sembrani (1942), Roekiah menjadi penyiar radio Jepang. Betapapun tema utama siarannya adalah musik Indonesia, banyak yang mempercayai bahwa siaran ini bertujuan untuk mengkritisi musik barat yang begitu ditentang oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Setelah tiga tahun berkarya untuk tujuan propaganda, Roekiah berperan dalam sebuah pertunjukan berjudul Ke Seberang (1945). Pertunjukkan ini menjadi karya terakhir Roekiah. Sebab kelelahan, Roekiah meninggal dunia sekitar tujuh bulan setelah pertunjukkan ini; tepatnya pada 2 September 1945. Roekiah dimakamkan di Kober Hulu, Jatinegara, Jakarta Timur. Reputasinya di bidang seni dilanjutkan, salah satunya oleh putranya yang merupakan pemusik kawakan Indonesia, Rachmat Kartolo.
Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Biran, Misbach Yusa., Ardan, S. M.., Abdullah, Taufik. Film indonesia: bagian I : 1900-1950. Indonesia: Dewan Film Nasional, 1993.
Imanjaya, Ekky. A to Z about Indonesian Film. Indonesia: DAR! Mizan, 2006.
Said, Salim. Profil dunia film Indonesia. Indonesia: Grafitipers, 1982.
Sonic Modernities in the Malay World: A History of Popular Music, Social Distinction and Novel Lifestyles (1930s-2000s). Netherlands: Brill, 2014.
Woodrich, Christopher A.. Ekranisasi Awal. Indonesia: Gadjah Mada University Press, 2017.