Pemilu 1955: Difference between revisions

From Ensiklopedia
No edit summary
No edit summary
Line 19: Line 19:
Sebelum gelaran pemilihan umum atau selama masa kampanye, salah satu hal yang sangat erat kaitannya dengan pemilu adalah alat peraga pemilu yang berupa spanduk, bendera, atau umbul-umbul. Alat peraga ini menjadi alat komunikasi partai kepada khalayak umum, namun pada sisi lain alat peraga kampanye ini juga menjadi sampah visual. Peraturan penggunaan atau pemasangan alat peraga kampanye menjadi sorotan di Semarang. Pemasangan alat peraga kampanye yang berada di wilayah kota Semarang seperti spanduk dan baliho yang berada di wilayah “plat merah” harus mendapat izin dari pemerintah. Hal ini berkaitan dengan keindahan dan tata ruang kota, apabila melanggar maka akan dikenakan sangsi (De Locomotief, 1955).
Sebelum gelaran pemilihan umum atau selama masa kampanye, salah satu hal yang sangat erat kaitannya dengan pemilu adalah alat peraga pemilu yang berupa spanduk, bendera, atau umbul-umbul. Alat peraga ini menjadi alat komunikasi partai kepada khalayak umum, namun pada sisi lain alat peraga kampanye ini juga menjadi sampah visual. Peraturan penggunaan atau pemasangan alat peraga kampanye menjadi sorotan di Semarang. Pemasangan alat peraga kampanye yang berada di wilayah kota Semarang seperti spanduk dan baliho yang berada di wilayah “plat merah” harus mendapat izin dari pemerintah. Hal ini berkaitan dengan keindahan dan tata ruang kota, apabila melanggar maka akan dikenakan sangsi (De Locomotief, 1955).


Penggunaan alat peraga kampanye tidak hanya dilakukan secara langsung dipasang di lokasi-lokasi yang strategis, namun juga dilakukan melalui media masa. Media masa dilihat sebagai media komunikasi yang efektif terutama untuk menggaet kalangan terpelajar atau menengah ke atas. Pemilu 1955 menjadi ajang iklan media massa untuk menunjukkan media massa tersebut bisa menjadi rujukan atau barometer dalam pemilu 1955 (Preangerbode 1955a).<gallery heights="130" perrow="2" class="gambar" style="text-align:center;" mode="slideshow" showfilename="yes" caption="Iklan Kampanye pada Pemilu 1955 di Surat Kabar">
Penggunaan alat peraga kampanye tidak hanya dilakukan secara langsung dipasang di lokasi-lokasi yang strategis, namun juga dilakukan melalui media masa. Media masa dilihat sebagai media komunikasi yang efektif terutama untuk menggaet kalangan terpelajar atau menengah ke atas. Pemilu 1955 menjadi ajang iklan media massa untuk menunjukkan media massa tersebut bisa menjadi rujukan atau barometer dalam pemilu 1955 (Preangerbode 1955a).
File:Iklan kampanye pemilu 1955.jpg
 
File:Iklan kampanye pemilu 1955(1).jpg
Penggunaan media massa seperti surat kabar merupakan sebuah langkah baru dan cenderung berani melawan arus. Jika kebanyakan masih menggunakan alat peraga konvensional yang dipasang pada beberapa titik penting yang mudah menjangkau seluruh kalangan, penggunaan iklan di media massa menyasar kalangan terpelajar dan menengah ke atas. Penggunaan koran sebagai media kampanye bisa diartikan hanya mampu menyedot sekitar 14% dari pemilih yang melek huruf karena pada iklan di surat kabar tersebut tidak menggunakan simbol atau gambar yang mencerminkan salah satu partai.  
</gallery>Penggunaan media massa seperti surat kabar merupakan sebuah langkah baru dan cenderung berani melawan arus. Jika kebanyakan masih menggunakan alat peraga konvensional yang dipasang pada beberapa titik penting yang mudah menjangkau seluruh kalangan, penggunaan iklan di media massa menyasar kalangan terpelajar dan menengah ke atas. Penggunaan koran sebagai media kampanye bisa diartikan hanya mampu menyedot sekitar 14% dari pemilih yang melek huruf karena pada iklan di surat kabar tersebut tidak menggunakan simbol atau gambar yang mencerminkan salah satu partai.  


Penulis : Waskito Widi Wardojo
Penulis : Waskito Widi Wardojo

Revision as of 15:18, 24 May 2023

Pemilihan Umum (Pemilu)  1955 diselenggarakan dalam tiga pergantian kabinet, yaitu kabinet Wilopo, Ali Sastroamidjojo, dan Burhanuddin Harahap (Notosusanto 1993: 121–131). Kampanye pemilu dilakukan pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo yang berlangsung dalam dua tahap, yaitu tahap pertama ketika disahkannya UU No. 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 4 April 1953. Peraturan ini menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang berlangsung secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Peraturan sebelumnya, yakni UU No. 27 tahun 1948 tentang Pemilu dan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR, dinyatakan tidak berlaku lagi. Tahap kedua yakni masa kampanye dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia pada 31 Mei 1954 ditandai dengan disahkannya tanda gambar partai peserta pemilu.

Pemilu 1955 berhasil diselenggarakan pada masa  Kabinet Burhanuddin Harahap (Ricklefs 2008: 495–496). Beberapa hambatan dialami dalam menyelenggarakan Pemilu pertama ini. Salah satunya adalah  buta huruf yang merupakan masalah besar Indonesia pada awal kemerdekaan. Tingkat buta huruf di Indonesia pada 1955 mencapai 86%. Pemilih memberikan suaranya dengan mengidentifikasi simbol atau gambar yang tertera pada kertas suara. Masalah lain yang dihadapi adalah kekurangan tenaga terampil untuk menjadi panitia pemungutan suara (Limburgsch dagblad, 1955; Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, 1955).

Situasi perang dingin juga berdampak pada pemilu 1955. Pihak Amerika yang tengah gencar memerangi komunisme di seluruh dunia menginginkan hal yang sama di Indonesia. Pemilu 1955 mengundang perhatian dari Amerika. Salah satu utusan Central Intelligence Agency (CIA) yang datang ke Indonesia pada tanggal 16 Juli 1955 menginginkan agar PKI tidak memenangkan Pemilu 1955 (Ottmans 2001: 52–53).

Pemilu untuk pemilihan anggota DPR berlangsung 29 September 1955 dengan memerebutkan 257 kursi dengan jumlah peserta yang memperebutkan sekitar 600-700 orang (lihat Tabel 1). Jumlah pemilih yang terdaftar 82 juta namun sampai Agustus 1955 baru sekitar 60% yang terdaftar (Dagblad, 1955; Java-bode: Nieuws, 1955a). Kampanye menyongsong pemilu 1955 dilangsungkan lebih dari satu tahun (Soekarno1988b: 59).

Persiapan pemilu disampaikan oleh Burhanuddin Harapan di hadapan parlemen pada pertengahan Oktober 1955.  Harahap juga menyatakan bahwa pemilihan di tingkat kabupaten juga dapat berlangsung. Pemilihan di tingkat kabupaten didsarkan atas Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1954 dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1955. Pemilihan di tingkat kabupaten selambat-lambatnya dilaksanakan pada 29 November 1955 (Nederlandsch, 1955).

Pemilihan umum untuk anggota Dewan Konstituante dilakukan  15 Desember 1955. Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan sehingga kursi yang dipilih hanya 514 (lihat Tabel 2).

Pemilu 1955 terselenggara dengan baik dengan partisipasi masyarakat yang cukup tinggi dengan dihadiri lebih dari 39 juta orang. Jumlah pemilih yang memberikan hak suara sah sebanyak 37.410.249 dari 43.104.464   (Indische courant voor Nederland, 1956). Hasil Pemilu 1955 menunjukkan bahwa kekuatan politik di Indonesia terpolarisasi menjadi empat besar yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Empat partai besar ini memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat, sedangkan kekuatan lainnya menyebar di berbagai partai.

Kesulitan dan tantangan yang dihadapi selama persiapan sampai tahap penghitungan suara menjadi hal yang wajar mengingat kondisi masyarakat dan keterbatasan panita. Namun,  Presiden Soekarno menunjukkan komitmen yang tinggi saat memberikan amanat bahwa pemilu harus dijalankan sesuai dengan tuntutan revolusi Indonesia (Soekarno 1988b: 60). Soekarno juga mengajak para pemimpin politik untuk segera bertemu untuk menghindari polarisasi di masyarakat pasca pemilu. Pertemuan elit politik diharapkan menjadi  ajang yang menyatukan untuk membangun Indonesia di kemudian hari (Soekarno 1988a: 63–65).

Pemilu 1955 yang dilangsungkan untuk kali pertama  di Indonesia mendapat sambutan hangat baik dari masyarakat sebagai pemilih dan juga dari beberapa kalangan yang ingin menyukseskan gelaran pemilu pertama di Indonesia. Pemilu  1955 mendapat dukungan dari Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dengan memberhentikan kegiatan pemutaran film saat pemilihan umum. Pemutaran film hanya dilangsungkan pada pukul 18.00 dan 21.00 (Java-Bode: Nieuws, 1955b). Pemutaran film di bioskop yang dilangsungkan pada sore dan malam hari ini ditujukan untuk memberikan kesempatan karyawan mereka untuk memberikan hak suara.

Sebelum gelaran pemilihan umum atau selama masa kampanye, salah satu hal yang sangat erat kaitannya dengan pemilu adalah alat peraga pemilu yang berupa spanduk, bendera, atau umbul-umbul. Alat peraga ini menjadi alat komunikasi partai kepada khalayak umum, namun pada sisi lain alat peraga kampanye ini juga menjadi sampah visual. Peraturan penggunaan atau pemasangan alat peraga kampanye menjadi sorotan di Semarang. Pemasangan alat peraga kampanye yang berada di wilayah kota Semarang seperti spanduk dan baliho yang berada di wilayah “plat merah” harus mendapat izin dari pemerintah. Hal ini berkaitan dengan keindahan dan tata ruang kota, apabila melanggar maka akan dikenakan sangsi (De Locomotief, 1955).

Penggunaan alat peraga kampanye tidak hanya dilakukan secara langsung dipasang di lokasi-lokasi yang strategis, namun juga dilakukan melalui media masa. Media masa dilihat sebagai media komunikasi yang efektif terutama untuk menggaet kalangan terpelajar atau menengah ke atas. Pemilu 1955 menjadi ajang iklan media massa untuk menunjukkan media massa tersebut bisa menjadi rujukan atau barometer dalam pemilu 1955 (Preangerbode 1955a).

Penggunaan media massa seperti surat kabar merupakan sebuah langkah baru dan cenderung berani melawan arus. Jika kebanyakan masih menggunakan alat peraga konvensional yang dipasang pada beberapa titik penting yang mudah menjangkau seluruh kalangan, penggunaan iklan di media massa menyasar kalangan terpelajar dan menengah ke atas. Penggunaan koran sebagai media kampanye bisa diartikan hanya mampu menyedot sekitar 14% dari pemilih yang melek huruf karena pada iklan di surat kabar tersebut tidak menggunakan simbol atau gambar yang mencerminkan salah satu partai.

Penulis : Waskito Widi Wardojo


Referensi

Buku

Feith, Herbert, 1971. The Indonesian Elections of 1955, New York, Cornell University.

Notosusanto, N. (ed.). 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI Republik Indonesia: Dari Proklamasi sampai Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Ottmans, W. 2001. Bung Karno Sahabatku. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Ricklefs, M. C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.

Sukarno. 1988a. Marilah Kita Kubur Partai-Partai. Dalam Herbeth  Feith & L. Castles (Ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1966. Jakarta: LP3ES.

Sukarno. 1988b. "Pemilihan umum dan Kesatuan Nasional." Dalam Herbert Feith & L. Castles (Ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1966. Jakarta: LP3ES.


Surat Kabar

" Advertentie. Indonesische cabinet geeft mandaat terug," dalam De Locomotief,  11 Mei 1955

“Advertentie” dalam Java-bode : nieuws,  handels-en advertentieblad voor N.-I  7 September 1955a 

“Advertentie” dalam Java-bode : nieuws,  handels-en advertentieblad voor N.-I., 26 September 1955b.

“Advertentie”, dalam A. I. dagblad, de Preangerbode, 27 Juni 1955a 

“Advertentie”, dalam A. I. dagblad, de. 20 September 1955b

"Indonesia ter Stembus Eerste verkiezing op 29 September 1955?", dalam Dagblad, O, 2 Agustus 1955

"Kabinet Burhanuddin legt basis voor gezonde ontwikkeling" dalam Nederlandsch  Indische Courant voor.  24 Oktober 1955

“Nog geen data voor Indonesische verkiziengen Proefneming in Lembang had goed verloop,” dalam Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, 1 Februari 1955

" PNI vorm meet 119 zetels grootste partij in Constituante" dalam Indische courant voor Nederlandsch, 23 Juli 1956 

"Verkizingen in Indonesie," dalam Limburgsch Dagblad, 27 September 1955.