Usmar Ismail: Difference between revisions

From Ensiklopedia
(Created page with "Usmar Ismail adalah tokoh perfilman nasional dan pendiri Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Film karya Usmar Ismail berjudul ''Darah dan Doa'' (1950)'','' menjadi tonggak sejarah perfilman Indonesia. Sebelumnya, belum ada apa yang disebut dengan film Indonesia, karena yang ada hanyalah pembuatan film di Indonesia (Biran, 1990: 45). Usmar Ismail dilahirkan di Batu Sangkar, Sumatra Barat pada 20 Mei 1921. Usmar Ismail merupakan anak keenam dari enam bersaudara...")
 
No edit summary
Line 1: Line 1:
Usmar Ismail adalah tokoh perfilman nasional dan pendiri Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Film karya Usmar Ismail berjudul ''Darah dan Doa'' (1950)'','' menjadi tonggak sejarah perfilman Indonesia. Sebelumnya, belum ada apa yang disebut dengan film Indonesia, karena yang ada hanyalah pembuatan film di Indonesia (Biran, 1990: 45).  
Usmar Ismail adalah tokoh perfilman nasional dan pendiri Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Film karya Usmar Ismail berjudul ''Darah dan Doa'' (1950)'','' menjadi tonggak sejarah perfilman Indonesia. Sebelumnya, belum ada apa yang disebut dengan film Indonesia, karena yang ada hanyalah pembuatan film di Indonesia (Biran, 1990: 45).  


Usmar Ismail dilahirkan di Batu Sangkar, Sumatra Barat pada 20 Mei 1921. Usmar Ismail merupakan anak keenam dari enam bersaudara pasangan Ismail Datuk Manggung dan Siti Fatimah. Saudara-saudara Usmar Ismail yang lain adalah Abu Hanifah, Nursiah Dahlan, Achmad Munandar, Kartini, dan Siti Nuraini. Oleh karena dilahirkan dari keluarga yang taat beragama, pada usia 7 tahun, ia telah pandai mengaji. Pada usia ini pula, tepatnya pada 1928, Usmar Ismail masuk ke ''Hollandsch Inlandsche School'' (HIS) di Batu Sangkar. Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS, ia melanjutkan pendidikan ke ''Meer Uitgebreid Lager Onderwijs'' (MULO) di Simpang Haru, Padang. Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan pertama, pada 1938, ia meneruskan pendidikannya ke ''Algemeene Middlebare School'' (AMS) di Yogyakarta hingga 1941 (Safwan, 1983: 5-6).  
Usmar Ismail dilahirkan di Batu Sangkar, Sumatra Barat pada 20 Mei 1921. Usmar Ismail merupakan anak keenam dari enam bersaudara pasangan Ismail Datuk Manggung dan Siti Fatimah. Saudara-saudara Usmar Ismail yang lain adalah Abu Hanifah, Nursiah Dahlan, Achmad Munandar, Kartini, dan Siti Nuraini. Oleh karena dilahirkan dari keluarga yang taat beragama, pada usia 7 tahun, ia telah pandai mengaji. Pada usia ini pula, tepatnya pada 1928, Usmar Ismail masuk ke [[Hollandsch Inlandsche School (HIS)|''Hollandsch Inlandsche School'' (HIS)]] di Batu Sangkar. Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS, ia melanjutkan pendidikan ke [[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)|''Meer Uitgebreid Lager Onderwijs'' (MULO)]] di Simpang Haru, Padang. Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan pertama, pada 1938, ia meneruskan pendidikannya ke ''Algemeene Middlebare School'' (AMS) di Yogyakarta hingga 1941 (Safwan, 1983: 5-6).  


Selain menjadi guru, ayah Usmar Ismail adalah seorang penulis. Tidak heran, jika darah kepengarangan sang ayah, juga menurun pada anak-anak mereka, termasuk Usmar Ismail dan Abu Hanifah (Anwar, 2010: 53)''.'' Bahkan nanti, Abu Hanifah, seorang dokter, penulis, dan politik Masyumi yang sempat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (1945-1950), mempunyai pengaruh yang kuat terhadap karya-karya awal Usmar Ismail (Sen, 2009: 24).  
Selain menjadi guru, ayah Usmar Ismail adalah seorang penulis. Tidak heran, jika darah kepengarangan sang ayah, juga menurun pada anak-anak mereka, termasuk Usmar Ismail dan Abu Hanifah (Anwar, 2010: 53)''.'' Bahkan nanti, Abu Hanifah, seorang dokter, penulis, dan politik Masyumi yang sempat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (1945-1950), mempunyai pengaruh yang kuat terhadap karya-karya awal Usmar Ismail (Sen, 2009: 24).  


Pada 1942, Usmar Ismail telah menyelesaikan pendidikannya di Yogyakarta dan hijrah ke Jakarta. Di Jakarta, ia bekerja sebagai pengarang di ''Keimin Bunka Shidosho,'' Kantor Besar Pusat Kebudayaan yang diawasi oleh Jepang. Bersama Abu Hanifah, Rosihan Anwar, H.B. Jassin, Cornel Simanjuntak, Usmar Ismail mendirikan kelompok teater modern (''tonil'') dengan nama Sandiwara Penggemar Maya pada kurun 1943 hingga 1945. Drama terkenal yang pernah dipentaskan kelompok sandiwara ini adalah ''Taufan di Atas Asia'' (1943) karya Abu Hanifah, sedangkan drama yang ditulis oleh Usmar Ismail adalah ''Mutiara dari Nusa Laut'' (1943), ''Mekar Melati'' (1945), dan ''Liburan Seniman'' (1945) (Safwan, 1983: 8). Usmar Ismail juga membuat syair-syair untuk lagu gubahan Cornel Simanjuntak, baik propaganda pesanan Jepang atau kolaborasi seni dan patriotis, seperti ''Pada Pahlawan'' dan ''Teguh Kukuh Berlapis Baja.'' Namun, yang paling terkenal adalah ''Tjitra,'' yang diterbitkan pertama kali di majalah ''Djawa Baroe'' pada Desember 1943. Kemudian, sajak dan lagu itu difilmkan pada 1946 dengan judul ''Bajangan di Waktu Fadjar'' (Imanjaya, 2009: 24).  
Pada 1942, Usmar Ismail telah menyelesaikan pendidikannya di Yogyakarta dan hijrah ke Jakarta. Di Jakarta, ia bekerja sebagai pengarang di ''Keimin Bunka Shidosho,'' Kantor Besar Pusat Kebudayaan yang diawasi oleh Jepang. Bersama Abu Hanifah, [[Rosihan Anwar]], [[Hans Bague Jassin (H.B. Jassin)|H.B. Jassin]], Cornel Simanjuntak, Usmar Ismail mendirikan kelompok teater modern (''tonil'') dengan nama Sandiwara Penggemar Maya pada kurun 1943 hingga 1945. Drama terkenal yang pernah dipentaskan kelompok sandiwara ini adalah ''Taufan di Atas Asia'' (1943) karya Abu Hanifah, sedangkan drama yang ditulis oleh Usmar Ismail adalah ''Mutiara dari Nusa Laut'' (1943), ''Mekar Melati'' (1945), dan ''Liburan Seniman'' (1945) (Safwan, 1983: 8). Usmar Ismail juga membuat syair-syair untuk lagu gubahan Cornel Simanjuntak, baik propaganda pesanan Jepang atau kolaborasi seni dan patriotis, seperti ''Pada Pahlawan'' dan ''Teguh Kukuh Berlapis Baja.'' Namun, yang paling terkenal adalah ''Tjitra,'' yang diterbitkan pertama kali di majalah ''Djawa Baroe'' pada Desember 1943. Kemudian, sajak dan lagu itu difilmkan pada 1946 dengan judul ''Bajangan di Waktu Fadjar'' (Imanjaya, 2009: 24).  


Setelah Proklamasi, Usmar Ismail bersama-sama dengan Cornel Simanjuntak, Rosihan Anwar, Hamidy Djamil, Suryo Sumanto, dan Djajakusuma, bergabung dalam Seniman Merdeka. Mereka mementaskan sandiwara keliling Jakarta, untuk mengobarkan semangat anti penjajahan setelah Belanda ingin menguasi Indonesia kembali. Sementara itu, ia juga aktif sebagai jurnalis, saat ia bersama-sama dengan Syamsudin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, mendirikan surat kabar ''Rakyat.'' Ketika ibukota dipindahkan ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946–27 Desember 1949, Usmar Ismail kembali ke Yogyakarta dan memasuki dinas militer. Di sana, ia mendirikan harian ''Patriot'' dan majalah kebudayaan ''Arena.'' Ia juga terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946-1947 melalui sebuah Kongres PWI di Malang (Chisaan, 2008: 173).  
Setelah Proklamasi, Usmar Ismail bersama-sama dengan Cornel Simanjuntak, [[Rosihan Anwar]], Hamidy Djamil, Suryo Sumanto, dan Djajakusuma, bergabung dalam Seniman Merdeka. Mereka mementaskan sandiwara keliling Jakarta, untuk mengobarkan semangat anti penjajahan setelah Belanda ingin menguasi Indonesia kembali. Sementara itu, ia juga aktif sebagai jurnalis, saat ia bersama-sama dengan Syamsudin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, mendirikan surat kabar ''Rakyat.'' Ketika ibukota dipindahkan ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946–27 Desember 1949, Usmar Ismail kembali ke Yogyakarta dan memasuki dinas militer. Di sana, ia mendirikan harian ''Patriot'' dan majalah kebudayaan ''Arena.'' Ia juga terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946-1947 melalui sebuah Kongres PWI di Malang (Chisaan, 2008: 173).  


Pada 1948, Usmar Ismail menjadi wartawan di ''Antara.'' Atas tuduhan subversif saat menjadi wartawan tersebut, ia sempat ditahan oleh Belanda dan dijebloskan ke penjara Cipinang Jakarta. Setelah dapat keluar dari penjara, Usmar Ismail membantu Andjar Asmara sebagai asisten sutradara. Mereka mengerjakan film berjudul ''Gadis Desa'' di sebuah perusahaan produksi film milik Belanda, ''South Pacific Corporation'' (Siagian, t.t.: 69; Imanjaya, 2009: 16). Pada 1948 pula, Usmar Ismail menerbitkan sebuah naskah sandiwara berjudul ''Sedih dan Gembira'' yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1948. Selain itu, sebagai penyair, sajak-sajaknya terkumpul dalam ''Puntung Berasap'' diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1950 (Chisaan, 2008: 171).  
Pada 1948, Usmar Ismail menjadi wartawan di ''[[Antara]].'' Atas tuduhan subversif saat menjadi wartawan tersebut, ia sempat ditahan oleh Belanda dan dijebloskan ke penjara Cipinang Jakarta. Setelah dapat keluar dari penjara, Usmar Ismail membantu Andjar Asmara sebagai asisten sutradara. Mereka mengerjakan film berjudul ''Gadis Desa'' di sebuah perusahaan produksi film milik Belanda, ''South Pacific Corporation'' (Siagian, t.t.: 69; Imanjaya, 2009: 16). Pada 1948 pula, Usmar Ismail menerbitkan sebuah naskah sandiwara berjudul ''Sedih dan Gembira'' yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1948. Selain itu, sebagai penyair, sajak-sajaknya terkumpul dalam ''Puntung Berasap'' diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1950 (Chisaan, 2008: 171).  


Pada 30 Maret 1950, Usmar Ismail mendirikan Persatuan Film Nasional Indonesia (Perfini) dan memulai produksi film pertamanya, ''Darah dan Doa'' (1950). Setahun berikutnya, Usmar Ismail kembali memproduksi film dengan tema yang sama, masing-masing berjudul ''Enam Djam di Yogya'' (1951) dan ''Dosa Tak Berampun'' (1951). Pada 1952, Usmar Ismail melanjutkan pendidikan tinggi di University of California Los Angeles (UCLA). Selama kuliah, Usmar Ismail tetap rajin menulis di surat kabar, terutama mengenai pertemuannya dengan para sutradara Hollywood seperti Ellia Kazan (Imanjaya, 2021: 22). Selama kuliah di UCLA, Usmar Ismail memproduksi sebuah film bergaya Hollywood, ''Kafedo.'' Pada masa itu pula, ia memproduseri sebuah film silat berlatar budaya minang, dengan judul ''Harimau Tjampa'' (1953). Film ini disutradarai oleh D. Djajakusuma dan meraih penghargaan Festival Film Indonesia 1955 untuk kategori skenario terbaik (Imanjaya, 2021: 45-46). Pada 1955 pula, untuk meningkatkan kualitas insan perfilman, Usmar Ismail mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) (''Tim Narasi'', 2009: 260).
Pada 30 Maret 1950, Usmar Ismail mendirikan Persatuan Film Nasional Indonesia (Perfini) dan memulai produksi film pertamanya, ''Darah dan Doa'' (1950). Setahun berikutnya, Usmar Ismail kembali memproduksi film dengan tema yang sama, masing-masing berjudul ''Enam Djam di Yogya'' (1951) dan ''Dosa Tak Berampun'' (1951). Pada 1952, Usmar Ismail melanjutkan pendidikan tinggi di University of California Los Angeles (UCLA). Selama kuliah, Usmar Ismail tetap rajin menulis di surat kabar, terutama mengenai pertemuannya dengan para sutradara Hollywood seperti Ellia Kazan (Imanjaya, 2021: 22). Selama kuliah di UCLA, Usmar Ismail memproduksi sebuah film bergaya Hollywood, ''Kafedo.'' Pada masa itu pula, ia memproduseri sebuah film silat berlatar budaya minang, dengan judul ''Harimau Tjampa'' (1953). Film ini disutradarai oleh D. Djajakusuma dan meraih penghargaan Festival Film Indonesia 1955 untuk kategori skenario terbaik (Imanjaya, 2021: 45-46). Pada 1955 pula, untuk meningkatkan kualitas insan perfilman, Usmar Ismail mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) (''Tim Narasi'', 2009: 260).
Line 15: Line 15:
Setelah pulang dari Amerika, Usmar Ismail semakin aktif memproduksi film. Berturut-turut, Usmar Ismail memproduksi film berjudul ''Krisis'' (1953), ''Lewat Djam Malam'' (1954), ''Tiga Dara'' (1956), ''Tamu Agung'' (1955), dan ''Asrama Dara'' (1958). Film ''Krisis'' disebut sebagai film paling laris kedua setelah ''Terang Boelan'' (1937), sehingga dibuat lagi sekuelnya dengan judul ''Lagi-Lagi Krisis'' (1955). ''Lewat Djam Malam,'' menjadi film terbaik dan memenangkan Festival Film Jakarta 1955. Film ''Tamu Agung'' yang mengangkat isu fenomena politik menjelang Pemilu 1955 dengan genre satire komedi, memenangkan penghargaan film komedi terbaik pada Festival Film Hongkong 1956 (''US Army'', 1964: 260).  
Setelah pulang dari Amerika, Usmar Ismail semakin aktif memproduksi film. Berturut-turut, Usmar Ismail memproduksi film berjudul ''Krisis'' (1953), ''Lewat Djam Malam'' (1954), ''Tiga Dara'' (1956), ''Tamu Agung'' (1955), dan ''Asrama Dara'' (1958). Film ''Krisis'' disebut sebagai film paling laris kedua setelah ''Terang Boelan'' (1937), sehingga dibuat lagi sekuelnya dengan judul ''Lagi-Lagi Krisis'' (1955). ''Lewat Djam Malam,'' menjadi film terbaik dan memenangkan Festival Film Jakarta 1955. Film ''Tamu Agung'' yang mengangkat isu fenomena politik menjelang Pemilu 1955 dengan genre satire komedi, memenangkan penghargaan film komedi terbaik pada Festival Film Hongkong 1956 (''US Army'', 1964: 260).  


Pada 1962, Usmar Ismail bersama Djamaludin Malik mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), organisasi budaya di bawah Partai Nahdlatul Ulama. Melalui Partai NU, Usmar Ismail diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) pada 1966-1969 (Nugroho dan Herlina, 2015: 79). Di Lesbumi pula, Usmar Ismail menginisiasi lahirnya lembar kebudayaan ''Muara'' di harian ''Duta Masyarakat.'' Selain itu, bersama-sama dengan Asrul Sani dan Anas Ma’ruf, Usmar Ismail menerbitkan ''Abad Muslimin.'' Melalui media tersebut, ia mengkampanyekan sikap kebudayaannya yang disebut oleh Asrul Sani dengan “nasionalis-religius” (Chisaan, 2008: 177).  
Pada 1962, Usmar Ismail bersama [[Djamaluddin Malik|Djamaludin Malik]] mendirikan [[Lembaga Seniman Budayawan Muslimin (LESBUMI)|Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi)]], organisasi budaya di bawah Partai [[Nahdlatul Ulama (NU)|Nahdlatul Ulama]]. Melalui Partai NU, Usmar Ismail diangkat menjadi anggota [[Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR)|Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR)]] pada 1966-1969 (Nugroho dan Herlina, 2015: 79). Di Lesbumi pula, Usmar Ismail menginisiasi lahirnya lembar kebudayaan ''Muara'' di harian ''Duta Masyarakat.'' Selain itu, bersama-sama dengan [[Asrul Sani]] dan Anas Ma’ruf, Usmar Ismail menerbitkan ''Abad Muslimin.'' Melalui media tersebut, ia mengkampanyekan sikap kebudayaannya yang disebut oleh [[Asrul Sani]] dengan “nasionalis-religius” (Chisaan, 2008: 177).  


Pada 17 Agustus 1962, Usmar Ismail mendapatkan anugerah Piagam Widjaya Kusuma, hadiah seni tertinggi sebagai perintis di bidang film dan seni drama oleh Presiden Sukarno. Pada 11 Oktober 1962, Dewan Film Indonesia mendeklarasikan hari pertama pengambilan gambar film ''Darah dan Doa'' pada 30 Maret sebagai Hari Film Nasional (Imanjaya, 2020: 17). Kemudian, pada 1963, melalui film ''Bayangan di Waktu Fajar'' produksi gabungan antara Perfini dengan Singapura, ia memenangkan penghargaan sebagai aktor terbaik untuk Rendra Karno dalam Festival Film Asia di Tokyo (Safwan, 1983: 54). Bagaimanapun, Usmar adalah produser film yang produktif. Dari 1950-1970, Usmar Ismail telah memproduksi 33 film layar lebar, dengan berbagai genre, yaitu ''drama'' 13, ''comedy''/satire 9, ''action'' 7, dan ''musical/entertainment'' 4 (Anwar,2009: 83).  
Pada 17 Agustus 1962, Usmar Ismail mendapatkan anugerah Piagam Widjaya Kusuma, hadiah seni tertinggi sebagai perintis di bidang film dan seni drama oleh Presiden Sukarno. Pada 11 Oktober 1962, Dewan Film Indonesia mendeklarasikan hari pertama pengambilan gambar film ''Darah dan Doa'' pada 30 Maret sebagai Hari Film Nasional (Imanjaya, 2020: 17). Kemudian, pada 1963, melalui film ''Bayangan di Waktu Fajar'' produksi gabungan antara Perfini dengan Singapura, ia memenangkan penghargaan sebagai aktor terbaik untuk Rendra Karno dalam Festival Film Asia di Tokyo (Safwan, 1983: 54). Bagaimanapun, Usmar adalah produser film yang produktif. Dari 1950-1970, Usmar Ismail telah memproduksi 33 film layar lebar, dengan berbagai genre, yaitu ''drama'' 13, ''comedy''/satire 9, ''action'' 7, dan ''musical/entertainment'' 4 (Anwar,2009: 83).  

Revision as of 14:09, 2 August 2023

Usmar Ismail adalah tokoh perfilman nasional dan pendiri Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Film karya Usmar Ismail berjudul Darah dan Doa (1950), menjadi tonggak sejarah perfilman Indonesia. Sebelumnya, belum ada apa yang disebut dengan film Indonesia, karena yang ada hanyalah pembuatan film di Indonesia (Biran, 1990: 45).

Usmar Ismail dilahirkan di Batu Sangkar, Sumatra Barat pada 20 Mei 1921. Usmar Ismail merupakan anak keenam dari enam bersaudara pasangan Ismail Datuk Manggung dan Siti Fatimah. Saudara-saudara Usmar Ismail yang lain adalah Abu Hanifah, Nursiah Dahlan, Achmad Munandar, Kartini, dan Siti Nuraini. Oleh karena dilahirkan dari keluarga yang taat beragama, pada usia 7 tahun, ia telah pandai mengaji. Pada usia ini pula, tepatnya pada 1928, Usmar Ismail masuk ke Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Batu Sangkar. Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS, ia melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Simpang Haru, Padang. Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan pertama, pada 1938, ia meneruskan pendidikannya ke Algemeene Middlebare School (AMS) di Yogyakarta hingga 1941 (Safwan, 1983: 5-6).

Selain menjadi guru, ayah Usmar Ismail adalah seorang penulis. Tidak heran, jika darah kepengarangan sang ayah, juga menurun pada anak-anak mereka, termasuk Usmar Ismail dan Abu Hanifah (Anwar, 2010: 53). Bahkan nanti, Abu Hanifah, seorang dokter, penulis, dan politik Masyumi yang sempat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (1945-1950), mempunyai pengaruh yang kuat terhadap karya-karya awal Usmar Ismail (Sen, 2009: 24).

Pada 1942, Usmar Ismail telah menyelesaikan pendidikannya di Yogyakarta dan hijrah ke Jakarta. Di Jakarta, ia bekerja sebagai pengarang di Keimin Bunka Shidosho, Kantor Besar Pusat Kebudayaan yang diawasi oleh Jepang. Bersama Abu Hanifah, Rosihan Anwar, H.B. Jassin, Cornel Simanjuntak, Usmar Ismail mendirikan kelompok teater modern (tonil) dengan nama Sandiwara Penggemar Maya pada kurun 1943 hingga 1945. Drama terkenal yang pernah dipentaskan kelompok sandiwara ini adalah Taufan di Atas Asia (1943) karya Abu Hanifah, sedangkan drama yang ditulis oleh Usmar Ismail adalah Mutiara dari Nusa Laut (1943), Mekar Melati (1945), dan Liburan Seniman (1945) (Safwan, 1983: 8). Usmar Ismail juga membuat syair-syair untuk lagu gubahan Cornel Simanjuntak, baik propaganda pesanan Jepang atau kolaborasi seni dan patriotis, seperti Pada Pahlawan dan Teguh Kukuh Berlapis Baja. Namun, yang paling terkenal adalah Tjitra, yang diterbitkan pertama kali di majalah Djawa Baroe pada Desember 1943. Kemudian, sajak dan lagu itu difilmkan pada 1946 dengan judul Bajangan di Waktu Fadjar (Imanjaya, 2009: 24).

Setelah Proklamasi, Usmar Ismail bersama-sama dengan Cornel Simanjuntak, Rosihan Anwar, Hamidy Djamil, Suryo Sumanto, dan Djajakusuma, bergabung dalam Seniman Merdeka. Mereka mementaskan sandiwara keliling Jakarta, untuk mengobarkan semangat anti penjajahan setelah Belanda ingin menguasi Indonesia kembali. Sementara itu, ia juga aktif sebagai jurnalis, saat ia bersama-sama dengan Syamsudin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, mendirikan surat kabar Rakyat. Ketika ibukota dipindahkan ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946–27 Desember 1949, Usmar Ismail kembali ke Yogyakarta dan memasuki dinas militer. Di sana, ia mendirikan harian Patriot dan majalah kebudayaan Arena. Ia juga terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946-1947 melalui sebuah Kongres PWI di Malang (Chisaan, 2008: 173).

Pada 1948, Usmar Ismail menjadi wartawan di Antara. Atas tuduhan subversif saat menjadi wartawan tersebut, ia sempat ditahan oleh Belanda dan dijebloskan ke penjara Cipinang Jakarta. Setelah dapat keluar dari penjara, Usmar Ismail membantu Andjar Asmara sebagai asisten sutradara. Mereka mengerjakan film berjudul Gadis Desa di sebuah perusahaan produksi film milik Belanda, South Pacific Corporation (Siagian, t.t.: 69; Imanjaya, 2009: 16). Pada 1948 pula, Usmar Ismail menerbitkan sebuah naskah sandiwara berjudul Sedih dan Gembira yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1948. Selain itu, sebagai penyair, sajak-sajaknya terkumpul dalam Puntung Berasap diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1950 (Chisaan, 2008: 171).

Pada 30 Maret 1950, Usmar Ismail mendirikan Persatuan Film Nasional Indonesia (Perfini) dan memulai produksi film pertamanya, Darah dan Doa (1950). Setahun berikutnya, Usmar Ismail kembali memproduksi film dengan tema yang sama, masing-masing berjudul Enam Djam di Yogya (1951) dan Dosa Tak Berampun (1951). Pada 1952, Usmar Ismail melanjutkan pendidikan tinggi di University of California Los Angeles (UCLA). Selama kuliah, Usmar Ismail tetap rajin menulis di surat kabar, terutama mengenai pertemuannya dengan para sutradara Hollywood seperti Ellia Kazan (Imanjaya, 2021: 22). Selama kuliah di UCLA, Usmar Ismail memproduksi sebuah film bergaya Hollywood, Kafedo. Pada masa itu pula, ia memproduseri sebuah film silat berlatar budaya minang, dengan judul Harimau Tjampa (1953). Film ini disutradarai oleh D. Djajakusuma dan meraih penghargaan Festival Film Indonesia 1955 untuk kategori skenario terbaik (Imanjaya, 2021: 45-46). Pada 1955 pula, untuk meningkatkan kualitas insan perfilman, Usmar Ismail mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) (Tim Narasi, 2009: 260).

Setelah pulang dari Amerika, Usmar Ismail semakin aktif memproduksi film. Berturut-turut, Usmar Ismail memproduksi film berjudul Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), Tiga Dara (1956), Tamu Agung (1955), dan Asrama Dara (1958). Film Krisis disebut sebagai film paling laris kedua setelah Terang Boelan (1937), sehingga dibuat lagi sekuelnya dengan judul Lagi-Lagi Krisis (1955). Lewat Djam Malam, menjadi film terbaik dan memenangkan Festival Film Jakarta 1955. Film Tamu Agung yang mengangkat isu fenomena politik menjelang Pemilu 1955 dengan genre satire komedi, memenangkan penghargaan film komedi terbaik pada Festival Film Hongkong 1956 (US Army, 1964: 260).

Pada 1962, Usmar Ismail bersama Djamaludin Malik mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), organisasi budaya di bawah Partai Nahdlatul Ulama. Melalui Partai NU, Usmar Ismail diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) pada 1966-1969 (Nugroho dan Herlina, 2015: 79). Di Lesbumi pula, Usmar Ismail menginisiasi lahirnya lembar kebudayaan Muara di harian Duta Masyarakat. Selain itu, bersama-sama dengan Asrul Sani dan Anas Ma’ruf, Usmar Ismail menerbitkan Abad Muslimin. Melalui media tersebut, ia mengkampanyekan sikap kebudayaannya yang disebut oleh Asrul Sani dengan “nasionalis-religius” (Chisaan, 2008: 177).

Pada 17 Agustus 1962, Usmar Ismail mendapatkan anugerah Piagam Widjaya Kusuma, hadiah seni tertinggi sebagai perintis di bidang film dan seni drama oleh Presiden Sukarno. Pada 11 Oktober 1962, Dewan Film Indonesia mendeklarasikan hari pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa pada 30 Maret sebagai Hari Film Nasional (Imanjaya, 2020: 17). Kemudian, pada 1963, melalui film Bayangan di Waktu Fajar produksi gabungan antara Perfini dengan Singapura, ia memenangkan penghargaan sebagai aktor terbaik untuk Rendra Karno dalam Festival Film Asia di Tokyo (Safwan, 1983: 54). Bagaimanapun, Usmar adalah produser film yang produktif. Dari 1950-1970, Usmar Ismail telah memproduksi 33 film layar lebar, dengan berbagai genre, yaitu drama 13, comedy/satire 9, action 7, dan musical/entertainment 4 (Anwar,2009: 83).

Menjelang akhir 1960-an, setelah rehat dari film, Usmar Ismail merambah dunia bisnis dengan mendirikan klub malam pertama di Indonesia. Usmar Ismail juga pernah menjabat sebagai Direktur Bank Kemakmuran Jakarta dari 1956-1960 dan Presiden Direktur Travel Biro Triple T dari 1950-1970 (Anwar, 2009: 79). Usmar Ismail meninggal pada 2 Januari 1971 dalam usia 49 tahun, karena pendarahan otak. Jenazahnya dimakamkan di Karet, Jakarta (Chisaan, 2008: 182). Namanya dikenang sebagai bapak perfilman Indonesia dan diabadikan menjadi nama sebuah Gedung di Jalan Rasuna Said, Jakarta.

Penulis: Rabith Jihan Amaruli


Referensi:

Anwar, Rosihan. 2009. Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 2. Jakarta: Kompas.

Anwar, Rosihan. 2010. Napak Tilas ke Belanda: 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949. Jakarta: Kompas.

Biran, Misbach Yusa. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Chisaan, Choirotun. 2008. Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS.

Imanjaya, Ekky. 2021. Mujahid Film: Usmar Ismail. Jakarta: Storial & Nulisbuku.com.

Tim Narasi. 2009. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat 100 tokoh Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Nugroho, Garin dan Dyna Herlina S. 2015. Krisis dan Paradoks Film Indonesia. Jakarta: Kompas.

Safwan, Mardanas. 1983. H. Usmar Ismail: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sen, Krishna. Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat, dan Sinema Orde Baru, terjemahan Intan Paramaditha. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

US Army. 1964. U.S. Army Area Handbook for Indonesia. Foreign Areas Studies Division, Special Operations Research Office. Washington D.C.: The American University.