Driyarkara: Difference between revisions
(Created page with "Driyarkara adalah seorang pastur dan ahli filsafat di Indonesia. Ia lahir di desa Kedunggubah pada 13 Juni 1913 dengan nama Soehirman. Anak terakhir dari keluarga Adamsendjaja tersebut memiliki postur tubuh kekar dan gemuk saat kecil, sehingga ia kemudian memiliki nama panggilan Djenthu. Pada 22 Desember 1925 ia dibaptis dengan nama Nicolaus Djentoe Soehirman. Nama Driyarkara sendiri digunakannya saat masuk ke Girisonta dan memulai hidupnya dalam Serikat Jesus pada 1935...") |
No edit summary |
||
Line 1: | Line 1: | ||
Driyarkara adalah seorang pastur dan ahli filsafat di Indonesia. Ia lahir di desa Kedunggubah pada 13 Juni 1913 dengan nama Soehirman. Anak terakhir dari keluarga Adamsendjaja tersebut memiliki postur tubuh kekar dan gemuk saat kecil, sehingga ia kemudian memiliki nama panggilan Djenthu. Pada 22 Desember 1925 ia dibaptis dengan nama Nicolaus Djentoe Soehirman. Nama Driyarkara sendiri digunakannya saat masuk ke Girisonta dan memulai hidupnya dalam Serikat Jesus pada 1935 (Sudiarja, SJ, dkk. (eds.), 2006: xx). | Driyarkara adalah seorang pastur dan ahli filsafat di Indonesia. Ia lahir di desa Kedunggubah pada 13 Juni 1913 dengan nama Soehirman. Anak terakhir dari keluarga Adamsendjaja tersebut memiliki postur tubuh kekar dan gemuk saat kecil, sehingga ia kemudian memiliki nama panggilan Djenthu. Pada 22 Desember 1925 ia dibaptis dengan nama Nicolaus Djentoe Soehirman. Nama Driyarkara sendiri digunakannya saat masuk ke Girisonta dan memulai hidupnya dalam Serikat Jesus pada 1935 (Sudiarja, SJ, dkk. (eds.), 2006: xx). | ||
[[File:Prof. Dr. N. Driyarkara, S.J..jpg|center|frame|Prof. Dr. N. Driyarkara, S.J. Sumber: <nowiki>https://www.usd.ac.id/sejarah.php</nowiki>]] | [[File:Prof. Dr. N. Driyarkara, S.J..jpg|center|frame|Prof. Dr. N. Driyarkara, S.J. Sumber: <nowiki>https://www.usd.ac.id/sejarah.php</nowiki>]] | ||
''Volskschool,'' ''vervolgschool'' Cangkrep, dan ''Hollandsch Inlandche School'' Purworejo dan Malang adalah sekolah awal Djenthu, sebelum akhirnya pada 1929, ia memutuskan untuk masuk Seminari Menengah, sebuah sekolah calon imam Katolik. Setelah lulus, ia menjadi bagian dari Sarekat Jesus. Di Girisonta ia memperdalam ilmunya di Sekolah Ascetika (sekolah kehidupan rohani) selama dua tahun dan humaniora selama satu tahun sebagai ''propedeusis'' untuk studi filsafat. Ia kemudian hijrah ke Yogyakarta untuk belajar filsafat di Ignatius ''College'' pada 1935-1941. Setelah lulus, Driyarkara kembali ke Girisonta untuk mengajar bahasa Latin selama 1 tahun. Pada 1942 ia ke Kolose Muntilan untuk belajar tentang teologi, namun tempat tersebut kemudian ditutup oleh Jepang pada 1943 (Sudiarja, SJ, dkk. (eds), 2006: xx-xxi). | ''Volskschool,'' ''vervolgschool'' Cangkrep, dan ''[[Hollandsch Inlandsche School (HIS) Sekolah Dasar Bumiputra|Hollandsch Inlandche School]]'' Purworejo dan Malang adalah sekolah awal Djenthu, sebelum akhirnya pada 1929, ia memutuskan untuk masuk Seminari Menengah, sebuah sekolah calon imam Katolik. Setelah lulus, ia menjadi bagian dari Sarekat Jesus. Di Girisonta ia memperdalam ilmunya di Sekolah Ascetika (sekolah kehidupan rohani) selama dua tahun dan humaniora selama satu tahun sebagai ''propedeusis'' untuk studi filsafat. Ia kemudian hijrah ke Yogyakarta untuk belajar filsafat di Ignatius ''College'' pada 1935-1941. Setelah lulus, Driyarkara kembali ke Girisonta untuk mengajar bahasa Latin selama 1 tahun. Pada 1942 ia ke Kolose Muntilan untuk belajar tentang teologi, namun tempat tersebut kemudian ditutup oleh Jepang pada 1943 (Sudiarja, SJ, dkk. (eds), 2006: xx-xxi). | ||
Pada 1943 di Yogyakarta, para misionaris Belanda, termasuk dosen filsafat ditangkap pasukan Jepang dan ditahan di interniran. Driyarkara yang saat itu sedang berada di Muntilan dipanggil untuk mengajar di Seminari Tinggi, Yogyakarta hingga 1947. Pada 6 Januari 1947 ia ditasbihkan sebagai imam Katolik oleh Mgr. Soegijapranata. Pasca penasbihan, ia ditugaskan untuk menyelesaikan pendidikan teologinya di Maastricht, Belanda. Driyarkara berangkat pada 24 Juli 1947 dan berhasil lulus pada 1949. Pada 1950 ia melanjutkan studi sekolah doktoral bidang filsafat di Universitas Gregoriana, Roma dan lulus pada 1952 (Sudiarja, SJ, dkk. (eds), 2006: xxi). | Pada 1943 di Yogyakarta, para misionaris Belanda, termasuk dosen filsafat ditangkap pasukan Jepang dan ditahan di interniran. Driyarkara yang saat itu sedang berada di Muntilan dipanggil untuk mengajar di Seminari Tinggi, Yogyakarta hingga 1947. Pada 6 Januari 1947 ia ditasbihkan sebagai imam Katolik oleh Mgr. Soegijapranata. Pasca penasbihan, ia ditugaskan untuk menyelesaikan pendidikan teologinya di Maastricht, Belanda. Driyarkara berangkat pada 24 Juli 1947 dan berhasil lulus pada 1949. Pada 1950 ia melanjutkan studi sekolah doktoral bidang filsafat di Universitas Gregoriana, Roma dan lulus pada 1952 (Sudiarja, SJ, dkk. (eds), 2006: xxi). | ||
Line 7: | Line 7: | ||
Karir Driyarkara dalam bidang pendidikan kembali dimulai saat ia pulang ke Indonesia. Ia diangkat menjadi pengajar filsafat di Ignatius ''College''. Ia juga kemudian diminta untuk memimpin PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Sanata Dharma pada tahun ajaran awal 1955-1956. Di perguruan tersebut ia mengabdikan diri hingga akhir hidupnya, mulai dari menjadi dekan sampai rektor. Pada 1960-1967 Driyarkara menjadi Guru Besar Luar Biasa di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan menjadi dosen di Universitas Hasanuddin pada 1961-1967. Pada 1965-1966 ia mengajar sebagai guru besar di St. Louis ''University,'' Amerika Serikat (Sudiarja, SJ, dkk. (eds.), 2006: xxii). | Karir Driyarkara dalam bidang pendidikan kembali dimulai saat ia pulang ke Indonesia. Ia diangkat menjadi pengajar filsafat di Ignatius ''College''. Ia juga kemudian diminta untuk memimpin PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Sanata Dharma pada tahun ajaran awal 1955-1956. Di perguruan tersebut ia mengabdikan diri hingga akhir hidupnya, mulai dari menjadi dekan sampai rektor. Pada 1960-1967 Driyarkara menjadi Guru Besar Luar Biasa di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan menjadi dosen di Universitas Hasanuddin pada 1961-1967. Pada 1965-1966 ia mengajar sebagai guru besar di St. Louis ''University,'' Amerika Serikat (Sudiarja, SJ, dkk. (eds.), 2006: xxii). | ||
Selain dalam bidang pendidikan, Driyarkara juga aktif menulis dan masuk dalam pemerintahan. Di sela kesibukannya sebagai mahasiswa, ia mengirim tulisan untuk majalah ''Praba'' dalam bentuk seri bahasa Jawa berjudul “''Serat Saking Rome''”, juga “''Warung Podjok''”. Pemikiran dan sosoknya semakin dikenal saat tulisannya banyak diterbitkan dalam majalah ''Basis'' sejak 1951. Pada 1962-1967 ia menjadi anggota MPRS dan anggota Dewan Pertimbangan Agung pada 1965-1967. Pada Mei 1966 ia turut berkontribusi dalam simposium “Kebangkitan Angkatan 66” yang diselenggarakan di Universitas Indonesia. Pemikirannya tentang Pancasila membuat ia banyak diundang dalam berbagai kesempatan, mulai dari forum diskusi, mengajar di SESKOAD di Bandung dan SESKOAL di Cipulir (Sudiarja, SJ, dkk. (eds.), 2006: xxii). | Selain dalam bidang pendidikan, Driyarkara juga aktif menulis dan masuk dalam pemerintahan. Di sela kesibukannya sebagai mahasiswa, ia mengirim tulisan untuk majalah ''Praba'' dalam bentuk seri bahasa Jawa berjudul “''Serat Saking Rome''”, juga “''Warung Podjok''”. Pemikiran dan sosoknya semakin dikenal saat tulisannya banyak diterbitkan dalam majalah ''Basis'' sejak 1951. Pada 1962-1967 ia menjadi anggota [[Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)|MPRS]] dan anggota Dewan Pertimbangan Agung pada 1965-1967. Pada Mei 1966 ia turut berkontribusi dalam simposium “Kebangkitan Angkatan 66” yang diselenggarakan di Universitas Indonesia. Pemikirannya tentang Pancasila membuat ia banyak diundang dalam berbagai kesempatan, mulai dari forum diskusi, mengajar di SESKOAD di Bandung dan SESKOAL di Cipulir (Sudiarja, SJ, dkk. (eds.), 2006: xxii). | ||
Pemikiran Diryankara yang paling utama ialah, “Manusia adalah kawan bagi sesama”. Hal tersebut kemudian diterapkan dalam berbagai bidang, salah satunya pendidikan. Ia menginginkan sistem pendidikan nasional yang adil tanpa diskriminasi pada para siswanya (Rukiyati & Purwastuti, 2015; 124). | Pemikiran Diryankara yang paling utama ialah, “Manusia adalah kawan bagi sesama”. Hal tersebut kemudian diterapkan dalam berbagai bidang, salah satunya pendidikan. Ia menginginkan sistem pendidikan nasional yang adil tanpa diskriminasi pada para siswanya (Rukiyati & Purwastuti, 2015; 124). |
Revision as of 23:20, 6 August 2023
Driyarkara adalah seorang pastur dan ahli filsafat di Indonesia. Ia lahir di desa Kedunggubah pada 13 Juni 1913 dengan nama Soehirman. Anak terakhir dari keluarga Adamsendjaja tersebut memiliki postur tubuh kekar dan gemuk saat kecil, sehingga ia kemudian memiliki nama panggilan Djenthu. Pada 22 Desember 1925 ia dibaptis dengan nama Nicolaus Djentoe Soehirman. Nama Driyarkara sendiri digunakannya saat masuk ke Girisonta dan memulai hidupnya dalam Serikat Jesus pada 1935 (Sudiarja, SJ, dkk. (eds.), 2006: xx).
Volskschool, vervolgschool Cangkrep, dan Hollandsch Inlandche School Purworejo dan Malang adalah sekolah awal Djenthu, sebelum akhirnya pada 1929, ia memutuskan untuk masuk Seminari Menengah, sebuah sekolah calon imam Katolik. Setelah lulus, ia menjadi bagian dari Sarekat Jesus. Di Girisonta ia memperdalam ilmunya di Sekolah Ascetika (sekolah kehidupan rohani) selama dua tahun dan humaniora selama satu tahun sebagai propedeusis untuk studi filsafat. Ia kemudian hijrah ke Yogyakarta untuk belajar filsafat di Ignatius College pada 1935-1941. Setelah lulus, Driyarkara kembali ke Girisonta untuk mengajar bahasa Latin selama 1 tahun. Pada 1942 ia ke Kolose Muntilan untuk belajar tentang teologi, namun tempat tersebut kemudian ditutup oleh Jepang pada 1943 (Sudiarja, SJ, dkk. (eds), 2006: xx-xxi).
Pada 1943 di Yogyakarta, para misionaris Belanda, termasuk dosen filsafat ditangkap pasukan Jepang dan ditahan di interniran. Driyarkara yang saat itu sedang berada di Muntilan dipanggil untuk mengajar di Seminari Tinggi, Yogyakarta hingga 1947. Pada 6 Januari 1947 ia ditasbihkan sebagai imam Katolik oleh Mgr. Soegijapranata. Pasca penasbihan, ia ditugaskan untuk menyelesaikan pendidikan teologinya di Maastricht, Belanda. Driyarkara berangkat pada 24 Juli 1947 dan berhasil lulus pada 1949. Pada 1950 ia melanjutkan studi sekolah doktoral bidang filsafat di Universitas Gregoriana, Roma dan lulus pada 1952 (Sudiarja, SJ, dkk. (eds), 2006: xxi).
Karir Driyarkara dalam bidang pendidikan kembali dimulai saat ia pulang ke Indonesia. Ia diangkat menjadi pengajar filsafat di Ignatius College. Ia juga kemudian diminta untuk memimpin PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) Sanata Dharma pada tahun ajaran awal 1955-1956. Di perguruan tersebut ia mengabdikan diri hingga akhir hidupnya, mulai dari menjadi dekan sampai rektor. Pada 1960-1967 Driyarkara menjadi Guru Besar Luar Biasa di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan menjadi dosen di Universitas Hasanuddin pada 1961-1967. Pada 1965-1966 ia mengajar sebagai guru besar di St. Louis University, Amerika Serikat (Sudiarja, SJ, dkk. (eds.), 2006: xxii).
Selain dalam bidang pendidikan, Driyarkara juga aktif menulis dan masuk dalam pemerintahan. Di sela kesibukannya sebagai mahasiswa, ia mengirim tulisan untuk majalah Praba dalam bentuk seri bahasa Jawa berjudul “Serat Saking Rome”, juga “Warung Podjok”. Pemikiran dan sosoknya semakin dikenal saat tulisannya banyak diterbitkan dalam majalah Basis sejak 1951. Pada 1962-1967 ia menjadi anggota MPRS dan anggota Dewan Pertimbangan Agung pada 1965-1967. Pada Mei 1966 ia turut berkontribusi dalam simposium “Kebangkitan Angkatan 66” yang diselenggarakan di Universitas Indonesia. Pemikirannya tentang Pancasila membuat ia banyak diundang dalam berbagai kesempatan, mulai dari forum diskusi, mengajar di SESKOAD di Bandung dan SESKOAL di Cipulir (Sudiarja, SJ, dkk. (eds.), 2006: xxii).
Pemikiran Diryankara yang paling utama ialah, “Manusia adalah kawan bagi sesama”. Hal tersebut kemudian diterapkan dalam berbagai bidang, salah satunya pendidikan. Ia menginginkan sistem pendidikan nasional yang adil tanpa diskriminasi pada para siswanya (Rukiyati & Purwastuti, 2015; 124).
Driyarkara meninggal pada 11 Februari 1967 di Girisonta. Dua tahun setelah wafat Driyarkara, dua sahabatnya, Prof. Dr. Fuad Hassan dan Prof. Dr. Slamet Iman Santosa mendirikan sebuah sekolah tinggi filsafat yang diberi nama Driyarkara sebagai upaya untuk mengenang kontribusi Driyarkara dalam pendidikan filsafat.
Penulis: Siti Utami Dewi Ningrum
Referensi
A.Sudiarja, SJ., dkk (eds.) (2006), Karya Lengkap Driyarkara. Yogyakarta: Kanisius.
Rukiyati & L. Andriani Purwastuti (2015), Mengenal Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.