Pakubuwana X: Difference between revisions
No edit summary |
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh") |
||
Line 25: | Line 25: | ||
Sugiarto, Toto et.al. 2021. ''Pakubuwono VI (1807-1849) hingga Sultan Agung (1591-1645). Seri Ensiklopedi Pahlawan Perintis Kemerdekaan Indonesia''. Yogyakarta: Hikam Pustaka. | Sugiarto, Toto et.al. 2021. ''Pakubuwono VI (1807-1849) hingga Sultan Agung (1591-1645). Seri Ensiklopedi Pahlawan Perintis Kemerdekaan Indonesia''. Yogyakarta: Hikam Pustaka. | ||
{{Comment}} | |||
[[Category:Tokoh]] | [[Category:Tokoh]] |
Revision as of 16:28, 8 August 2023
Pakubuwana X (PB X) atau Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana X lahir pada 29 November 1866 di Surakarta dan wafat di Surakarta 22 September 1939. Bendara Raden Mas Gusti (B.R.M.G) Sayiddin Malikul Kusno adalah nama masa kecilnya. Ia adalah putra Susuhunan Pakubuwana IX dengan permaisuri KRAy. Kustiyah, putri dari Pangeran Wijoyo II, dari Kesultanan Yogyakarta. B.R.M.G. Sayiddin Malikul Kusno adalah putra ke-31 dan hingga usia balita ia diasuh oleh Raden Ayu (RAy.) Handojo Poernomo dan disusui oleh Raden Ayu Adipati Mandoyoprono (Joebagio, 2015:185).
PB X pada usia tiga tahun, yaitu pada 4 Oktober 1869, diangkat menjadi putera mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (K.G.P.A) Anom Hamangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram. Hingga usia dewasa Pakubuwana X dididik secara informal yang meliputi pendidikan budi pekerti, agama Islam dan spiritual serta keterampilan kanuragan. Pendidikan budi pekerti diperoleh dari ayahandanya, pendidikan agama Islam dibimbing oleh Kanjeng Raden Tumenggung Pengulu (K.R.T.P) Tapsiranom V, dan pendidikan spiritual oleh Kiai Kasan Mukmin (Joebagio, 2015: 185).
Pada 30 Maret 1893 ia menjadi raja Surakarta Adiningrat, dua minggu setelah ayahandanya, Pakubuwana IX wafat. Pada 3 Januari 1901 ia mengangkat dirinya dari Sunan menjadi Susuhunan. Ia wafat pada 22 Februari 1939 di Surakarta dalam usia 70 tahun (Kuntowijoyo, 2006: 19-20).
Meskipun PB X menjadi raja dan berkuasa di keraton dan wilayahnya, dapat dikatakan ia bukan orang yang merdeka. Segala urusan administrasi atau surat-menyurat dari dalam dan keluar keraton harus melalui residen. Bahkan untuk surat yang merupakan urusan keluarga. Oleh karena itu tidak mengherankan jika PB X mengembangkan lebih banyak politik simbolis dibandingkan dengan politik substantif (Kuntowijoyo, 2006: 20).
Selain berhasil mengelola simbol mystic-mythico-religious, PB X juga ahli mengolah simbol-simbol interkultural, Timur (Jawa) dan Barat. Ia adalah simbol tradisi Islam dan Jawa. Tradisi Islam dipelihara dan tradisi Jawa dihidupkan. Setiap bulan Maulud, Sunan akan memberikan hadiah kepada orang Arab, Bengal, Koja, Banjar, dan para haji yang berzikir di masjid. Masing-masing orang memperoleh dua gulden. Para haji tersebut berasal dari Surakarta, Yogyakarta, Madiun, Semarang, Besuki, bahkan dari tanah Priangan. Selain orang-orang tersebut, dibagikan pula beras kepada para orang miskin (Kuntowijoyo, 2006: 36).
Sejak dekade pertama abad ke-20 pengembangan pemberdayaan rakyat dalam bidang ekonomi, kesehatan, ketrampilan (pendidikan) menjadi perhatian PB X. Kegiatan yang dilakukan antara lain renovasi dan pembangunan Pasar Gedhe Hardjonegara, pendirian bank Bandhalumakso yang membantu memberi pinjaman pada saat wabah pes, pembangunan jembatan Jurug, jalan dan penerangan di Surakarta. Selain itu pendirian Sarekat Dagang Islam (SDI) Surakarta pada 1912 sebagai komunikasi simbolik antara PB X dengan para tokoh masyarakat Laweyan, dan R.M. Tirtoadhisoerjo yang awalnya diminta membantu mengelola mingguan Bromartani hingga berlanjut dengan pendirian SDI (Joebagio, 2015: 187).
Salah satu kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda adalah kegiatan Pakubuwana X akan membuat rasa nasionalisme penduduk menjadi bangkit. Hal itu disebabkan oleh banyaknya perjalanan dan sambutan penduduk dari tahun 1903 hingga 1915. Meskipun isu mengenai nasionalisme (Jawa) baru muncul pada 1918 tetapi nama Sunan sebagai ‘raja SI’ sangat membuat cemas pemerintah kolonial. Meskipun pada awalnya Pakubuwana X terlihat menunjukkan kesetiaan kepada pemerintah dengan membantu Transvaal Comite yang mengumpulkan dana untuk melawan Inggris di Afrika Selatan. Sebagai puncak yang dapat dimaknai memiliki sifat nasionalisme adalah ketika ia mengirimkan utusan ke Ambon untuk mengunjungi makam Pakubuwana VI pada 1907 (Kuntowijoyo, 2006: 38-39).
Pakubuwana X mendapat bintang kehormatan Grootkruis in de Orde van de Nederlandse Leeuw dari Ratu Wilhelmina. Beliau juga dianugerahi gelar pahlawan nasional berdasarkan surat keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: No. 113/TK/2011, pada tanggal 7 November 2011.
Penulis: Ahmad Sunjayadi
Referensi
Joebagio, Hermanu. 2015. Politik Simbolis Kasunanan. Sejarah dan Budaya. Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya, 9 (2): 179-192.
Kuntowijoyo. 2006. Raja, Priyayi, dan Kawula. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Sugiarto, Toto et.al. 2021. Pakubuwono VI (1807-1849) hingga Sultan Agung (1591-1645). Seri Ensiklopedi Pahlawan Perintis Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: Hikam Pustaka.