Lukas Rumkorem: Difference between revisions

From Ensiklopedia
No edit summary
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
Line 31: Line 31:


Wonda, Sendius, 2009, ''Jeritan Bangsa, Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan'', Yogyakarta: Penerbit Galang Press.
Wonda, Sendius, 2009, ''Jeritan Bangsa, Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan'', Yogyakarta: Penerbit Galang Press.
{{Comment}}
[[Category:Tokoh]]
[[Category:Tokoh]]

Revision as of 19:10, 8 August 2023

L. Rumkorem merupakan pemuda Papua Barat yang memperjuangkan kemerdekaan dan membantu proses integrasi Papua ke Indonesia. L. Rumkorem merupakan salah satu siswa dari sekolah Polisi dan Pamong Praja di Hollandia (Jayapura) selama enam bulan dimulai pada bulan Januari dan berakhir pada Juli 1945 (Materay dan Wabiser, 2019: 6). Di sekolah tersebut terdapat 12 barak yang tidak hanya digunakan sebagai asrama, tetapi juga digunakan sebagai tempat penyelenggaraan kursus singkat pamong praja, kursus mantri, dan sekolah sambung untuk anak laki-laki Jongens Vervolgschool (JVVS) (Materay, 2012: 53-54). Pendirian sekolah ini dilakukan pada tahun 1944 oleh Resident J. P. van Eechoud dengan alasan kekurangan personil dan pegawai pemerintahan karena sebagian besar wilayah Indonesia dikuasai oleh Jepang. Sekolah ini mendidik kurang lebih 400 orang antara tahun 1944-1949 termasuk L. Rumkorem. Dari sekolah inilah kemudian melahirkan tokoh-tokoh elit politik terdidik (Alhamid, 2015: 104-105). Lahirnya tokoh elit terdidik merupakan andil dari Soegoro Atmoprasodjo bekas tawanan Digoel yang kemudian menjadi pengajar L. Rumkorem dan kawan-kawan.

Untuk mempermudah para siswa memahami bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia, Soegoro memprakarsai pembentukan kelompok belajar yang didalamnya terdiri dari L. Rumkorem, Silas Papare, dan teman lainnya. Dalam diskusi tersebut, mereka mendiskusikan mengenai berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang didengar dari radio. Tidak hanya diskusi tentang berita proklamasi, Soegoro juga berusaha mendiskusikan bahwa Papua merupakan bagian dari Indonesia dengan menggambarkan bahwa Indonesia merupakan terdiri dari berbagai keanekaragaman etnis dan budaya sama halnya dengan Papua. Dari diskusi tersebut, kemudian Lukas Rumkorem beserta teman-temannya memobilisasi dan merencanakan pemberontakan dengan melibatkan siswa-siswa lain di sekolah tersebut dan juga anggota batalion Papua seperti Corinus Krey, Marcus Kaisepo, Lisias Rumbiak, Frans Kaisepo serta Lukas Rumkorem. Akan tetapi rencana pemberontakan itu gagal dilaksanakan karena Soegoro beserta 250 orang bekas Heiho ditahan di Jayapura (Materay, 2012: 56).

Selesai mengenyam pendidikan di sekolah Pamong Praja tersebut, L. Rumkorem bekerja sebagai guru di Biak akan tetapi profesi sebagai guru tidak ditekuni lama karena L. Rumkorem lebih tertarik dengan dunia politik. Pada September 1945, Lukas Rumkorem, membentuk partai politik pertama di Biak yakni Partai Politik Suara Rakyat. Lukas Rumkorem mengadakan rapat di Nusi pada September hingga November 1945 dan pada Januari 1946 di Bosnik. Kegiatan yang dilakukan Lukas Rumkorem ini ternyata diketahui oleh HPB (Hoofd Plaatselijk Bestuur) yang diinformasikan oleh beberapa orang asal Yapen. Dari orang Yapen tersebut diperoleh informasi tentang adanya rapat rahasia dan upaya mendapatkan senjata api. Perkara ini tidak dilanjutkan karena HPB ini cuti sakit (Meteray, 2012: 80). Namun, laporan ini akhirnya juga diketahui oleh residen sehingga Lukas Rumkorem dianggap sebagai pegawai yang tidak loyal dan tidak dapat dipercayai karena telah mengintimidasi rakyat. Aktivitas Lukas Rumkorem lainnya adalah mengirim surat kepada kepala distrik di Serui. Dari berbagai tindakan yang dilakukan Lukas Rumkorem akhirnya ditahan pada pertengahan Agustus 1947 dan dikirim ke penjara di Jayapura sambil menunggu pengadilan (Materay dan Wabiser, 2019: 6).

Selanjutnya pada 07 Oktober 1945, L. Rumkorem kembali berkecimpung dalam dunia politik dengan mendirikan Perserikatan Indonesia Merdeka (PIM). Tujuan didirikannya PIM oleh L. Rumkorem adalah untuk memberikan informasi kepada rakyat Biak tentang perkembangan yang terjadi di luar Biak, terutama di Jawa menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangannya PIM tidak dapat melaksanakan kegiatannya karena mendapat pengawasan ketat dari pemerintah Belanda dan penangkapan L. Rumkorem oleh pemerintah Belanda sehingga ditahan kurang lebih dua tahun. Selama penangkapan L. Rumkorem dalam penjara, tidak ada lagi kegiatan politik mendukung kemerdekaan Indonesia. Partai ini akhirnya mendapatkan dukungan dari tokoh nasionalis  Papua lainnya seperti Corinus Krey yang datang dari Hollandia ke Biak pada 07 Agustus 1949. Pada 01 Oktober 1949, diadakan pertemuan di rumah kepala kampung Yenures, David Rumaropen, untuk mereorganisasi PIM. Pada 05 Oktober 1949 PIM diaktifkan kembali di Bosnik, di rumah kediaman L. Rumkorem. Dari pertemuan tersebut, L. Rumkorem dipilih sebagai ketua dengan Corinus Krey sebagai wakil ketua, J. Tarumaselly sebagai penasihat, dan Petrus Warikar sebagai sekretaris (Meteray, 2012: 81-82).

Pemilihan L. Rumkorem sebagai ketua PIM melanjutkan program yang sebelumnya terhenti karena L. Rumkorem dipenjara dan mendapat tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda. Program PIM yang dilakukan oleh L. Rumkorem dianggap menentang pemerintahan Belanda di Papua. Saat L. Rumkorem kembali dipilih sebagai ketua, PIM membuka cabang di Manokwari dengan tujuan yang sama yakni mempropagandakan kebencian rakyat terhadap orang-orang Belanda dan menerima Indonesia yang baru didirikan (Pigay, 2000: 193). Atas hal itu kemudian L. Rumkorem kembali ditangkap dan dipenjara ke Jayapura. Karena ditangkapnya L. Rumkorem, PIM kemudian dijalankan oleh Silas Papare pada 14 Desember 1949 melakukan pertemuan rahasia untuk menyebarluaskan dukungan bagi pemerintahan Indonesia di Biak. Kegiatan ini kemudian diketahui oleh Belanda sehingga Corinus dan kawan-kawan termasuk Silas Papare ditahan dan dikirim ke penjara di Jayapura. Perjuangan kemudian dilanjutkan di dalam penjara, L. Rumkorem beserta anggota PIM lainnya dipindahkan ke Digul (Meteray, 2012: 82).

Pemerintah Belanda sadar banyak kalangan elite Papua yang mendukung  pemerintah Indonesia pasca Konferensi Meja Bundar (KMB). Tokoh-tokoh seperti L. Rumkorem, Marthen Indey, Petrus Wetebossy, dan Stevanus Rumbewas tidak menginginkan pemerintahan Belanda di Indonesia. Dari pernyataan itu kemudian L. Rumkorem dan lainnya mendapatkan tambahan tahanan hingga tahun 1957 L. Rumkorem kemudian dibebaskan (Meteray, 2012: 99). Perjuangan L. Rumkorem setelah bebas dari penjara tetap berlanjut dan tergabung dalam Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) dan Komite Indonesia Merdeka (KIM). Eechoud kemudian melarang aktivitas politik yang berkaitan dengan pro Papua gabung dalam Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut semakin meluas, kemudian Eechoud membuang tokoh-tokoh nasionalis seperti Silas Papare, Albert Karubuy, N.L. Suwages, Raja Rumagesang, dan Lukas Rumkorem dibuang ke Makassar, Jawa dan Sumatera (Alhamid, 2015: 106).

Perjuangan selanjutnya yang dilakukan L. Rumkorem adalah mendirikan organisasi yang bernama Tentara Tjadangan Tjenderawasih (TTT). Organisasi ini dibentuknya setelah kembalinya L. Rumkorem dari tahanan di Jayapura. Dengan mendapat dukungan dari beberapa pemuda di Biak, dilakukanlah pertemuan rahasia dan akhirnya dibentuklah TTT pada 1958. Menurut J. Tarumaselly, seorang simpatisan TTT telah memiliki cabang-cabang lainnya di daerah-daerah lain di Papua. Pengurus TTT cabang Biak adalah: Lukas Rumkorem sebagai penasehat, David Woisiri sebagai ketua, J. Tarumaselly sebagai sekretaris, Faidiban sebagai bendahara, dan dibantu oleh beberapa pemuda, yaitu Marten Mayor, Albert Marantika, Aris Kadun, Yonathan Saroy, dan Rafael Maselkosu (Materay dan Wabiser, 2019: 10).

Pembentukan TTT oleh L. Rumkorem memiliki beberapa program. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah rapat-rapat rahasia karena pada masa itu terjadi pengawasan yang ketat dari pemerintah Belanda. Dalam pertemuan itu yang dibahas antara lain kondisi di daerah luar Biak, khususnya di Jakarta. Kegiatan lainnya adalah mengirim pemuda ke luar Biak untuk bergabung dengan para gerilyawan yang akan menyusup ke Papua TTT juga melakukan kontak dengan konsulat Republik Indonesia di Singapura. Dalam surat balasan dari Konsulat Jenderal Indonesia di Singapura pada 12 Nopember 1958 (Materay dan Wabiser, 2019: 11).

Ketika Presiden Sukarno mengeluarkan kebijakan Trikora pada tahun pada tahun 1961, tidak sedikit beberapa tokoh Papua turut mendukung program tersebut. Salah satu tokoh yang mendukung perjuangan integrasi Papua ke wilayah Indonesia adalah L. Rumkorem. Kendatipun perjuangan integrasi banyak dilakukan putranya yakni Seth Rumkorem, akan tetapi peran L. Rumkorem tidak dapat diabaikan (Wonda, 2009: 86-87).

Penulis: Handoko


Referensi

Alhamid, Idrus, 2015, Jalan Panjang Perdamaian Papua: Memahami Sejarah dan Peradaban, Yogyakarta: The Pinisi Press.

Meteray, Bernarda, 2012, Nasionalisme Ganda Orang Papua, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Meteray, Bernarda dan Yan Dirk Wabiser, 2019, “Pertumbuhan Nasionalisme Indonesia di Kalangan Orang Papua 1963-1969”, dalam Masyarakat Indonesia, Vol. 45 (1) 2019.

Pigay, D. N., 2000, Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Wonda, Sendius, 2009, Jeritan Bangsa, Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan, Yogyakarta: Penerbit Galang Press.