Edhi Sunarso: Difference between revisions
No edit summary |
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh") |
||
Line 31: | Line 31: | ||
R.Z. Leirissa, dkk. (1994), ''Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan.'' Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. | R.Z. Leirissa, dkk. (1994), ''Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan.'' Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. | ||
{{Comment}} | |||
[[Category:Tokoh]] | [[Category:Tokoh]] |
Revision as of 06:16, 9 August 2023
Edhi Sunarso adalah seniman patung terkemuka di Indonesia. Ia lahir di Salatiga 2 Juli 1932 dari keluarga Somo Sardjono. Sejak kecil ia tinggal di Jakarta bersama bude-nya sejak usia tujuh bulan. Sebuah kebakaran besar terjadi akibat jatuhnya pesawat pasukan Jepang di perkampungan tempat tinggal mereka. Akibat peristiwa itu, Edhi yang saat itu tengah bersekolah di HIS Kemayoran terpisah dari bude-nya. Ia kemudian diangkat anak oleh gurunya dan tinggal di Pegaden Baru di Subang (Pamungkas, 2017: 28).
Kiri: Sukarno saat berkunjung ke lokasi pembuatan monumen “Selamat Datang” di Yogyakarta, tampak edi di sisi kirinya. Kanan: Monumen “Selamat Datang”, karya Edhi Sunarso. Sumber: Katalog Pameran Tunggal Seni Patung Edhi Sunarso "Monumen" dan Peluncuran Buku, tahun 2010, di Galeri Salihara, Jakarta.
Pada masa perang revolusi kemerdekaan Indonesia, Edi menjadi gerilyawan dengan tugas sebagai kurir untuk mengantarkan surat dan peluru, juga menjadi mata-mata pasukan RI di Jawa Barat. Sekolahnya di kelas 5 Sekolah Rakyat (SR) ia tinggalkan dan memilih menjadi komandan pasukan sabotase untuk membakar pabrik-pabrik milik Belanda di wilayah Pamanukan, Pegaden Baru, Subang, Kalijati, Segalaherang, dan Purwakarta. Pada Juni 1946, Edhi tertangkap pasukan Belanda dan dipenjara selama tiga setengah tahun. Saat bebas pada Juli 1949, ia memutuskan untuk hijrah ke Yogyakarta dan kembali bergabung dalam pasukan gerilya. Namun, pasukan tersebut telah long march ke Jawa Barat (Sunarso, 2010: 10).
Di Yogyakarta lah perjalanan Edhi sebagai seorang seniman dimulai. Berkat Hendra Gunawan, Edhi berkesempatan menjadi siswa pendengar di ASRI (Akademi Seni Rupa Republik Indonesia). Ia juga bergabung dalam kelompok Pelukis Rakyat bersama Hendra Gunawan, Affandi, Trubus, C.Y. Ali, Sucahyoso, Abas Alibasyah, dan Rustamadji. Pada 1952 Pelukis Rakyat mendapat pekerjaan untuk membuat monumen “Tugu Muda” di Semarang. Proyek tersebut selesai dan diresmikan pada 1953 oleh Presiden Sukarno (Kasmadi dkk., 1986: 2-4). Pada tahun yang sama, Edhi juga menjadi pemenang kedua dalam International Sculpture Competition di London dengan judul karya “The Unknown Political Prisoner”. Dua tahun kemudian, ia dibiayai Unesco untuk belajar seni di Visva Bharati Rabindranath Tagore University Santiniketan, India. Di India, Edhi mendapatkan penghargaan dari Calcutta University juga mendapatkan emas dalam kategori The Best Exhibit dalam All India Fine Art and Exhibition (Leirissa dkk., 1994: 225).
Pada 1958 Edhi kembali ke Indonesia dengan karir yang semakin bersinar, baik sebagai pendidik maupun pematung profesional. Ia menjadi bagian dari almamaternya, ASRI yang saat itu berubah nama menjadi STSRI (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia) dan saat ini menjadi ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta sejak 1950-an hingga 1990-an. Ia juga aktif sebagai staf pengajar di Akademi Kesenian Surakarta sejak tahun 1958-1959. Pada 1967-1981 ia menjadi tenaga pengajar di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan Negeri (IKIP) Yogyakarta (Dahlan [ed.], 2009: 337-338).
Sebagai pematung profesional, Edhi banyak berkarya untuk proyek-proyek di tingkat daerah hingga nasional, baik dari pemerintah maupun swasta. Sejak 1959 Edhi banyak membuat monumen hingga diorama bertema nasionalis, antara lain yang paling terkenal ialah monumen “Selamat Datang”, monumen “Pembebasan Irian Barat”, diorama sejarah Museum Nasional, dan monumen “Dirgantara”. Dalam karya-karyanya, Edhi menggunakan media seni yang beragam, mulai dari perunggu, kayu, dan batu. Ia pun kemudian dikenal sebagai pematung dengan aliran realis. Karya-karya Edhi dipamerkan dalam berbagai kesempatan, baik pameran bersama maupun pameran tunggal di dalam dan luar negeri. Pada 1959, patung-patung hasil karyanya juga sempat sandingkan dalam pameran bersama lukisan-lukisan karya istrinya, Kustijah.
Pemerintah Indonesia memberikan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma pada 12 Agustus 2003 atas karya dan jasanya terhadap bangsa dan negara dalam memajukan dan membina kebudayaan nasional. Edhi wafat pada 4 Januari 2016 setelah mendapat perawatan di Jogja International Hospital, Yogyakarta. Ia meninggalkan empat orang anak dan 11 cucu.
Penulis: Siti Utami Dewi Ningrum
Referensi
Edhi Sunarso: “Untuk Generasi Mendatang”, dalam Katalog Pameran Tunggal Edhi Sunarso “Monumen” dan Peluncuran Buku, Galeri Salihara, Jakarta 14-28 Agustus 2010.
Hartono Kasmadi, dkk. (1986), Monumen Perjuangan Jawa Tengah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mudanto Pamungkas, “Edhi Sunarso Sokok Seniman Pejuang”, dalam ARSIP edisi 73, September-Desember, 2017.
Muhidin M. Dahlan (ed.) (2009), Gelaran Almanak Seni Rupa 1999-2000, Yogyakarta: Gelaran Budaya-Iboekoe.
R.Z. Leirissa, dkk. (1994), Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.