Goenawan Mangoenkoesoemo: Difference between revisions

From Ensiklopedia
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
No edit summary
Line 1: Line 1:
Raden Goenawan Mangoenkoesoemo adalah aktivis pergerakan dan juga salah seorang pendiri Boedi Oetomo. Ia lahir pada 1889 di Jepara, Jawa Tengah dan wafat pada 1929 di Semarang, Jawa Tengah. Goenawan adalah putra ketiga dari sembilan bersaudara keluarga Mangoenkoesoemo. Ia adalah adik dari Tjipto Mangoenkoesoemo. Seperti sang kakak, setelah menyelesaikan pendidikan dasar Goenawan juga menempuh pendidikan di ''School Tot Opleiding van Indische Arts'' (STOVIA) dari tahun 1903 hingga lulus pada 1911. Pada 1911 ia menikah dengan Raden Adjeng Srijati (1895-1963), adik dari Soetomo, teman sekelas di STOVIA. Setelah lulus, Goenawan pernah menjadi asisten pengajar di STOVIA pada 1915-1916. Ia lalu melanjutkan pendidikan kedokteran ke Belanda hingga lulus pada 1920 (''De Locomotief,'' 27/05/1929).  
Raden Goenawan Mangoenkoesoemo adalah aktivis pergerakan dan juga salah seorang pendiri Boedi Oetomo. Ia lahir pada 1889 di Jepara, Jawa Tengah dan wafat pada 1929 di Semarang, Jawa Tengah. Goenawan adalah putra ketiga dari sembilan bersaudara keluarga Mangoenkoesoemo. Ia adalah adik dari Tjipto Mangoenkoesoemo. Seperti sang kakak, setelah menyelesaikan pendidikan dasar Goenawan juga menempuh pendidikan di [[School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA)|''School Tot Opleiding van Indische Arts'' (STOVIA)]] dari tahun 1903 hingga lulus pada 1911. Pada 1911 ia menikah dengan Raden Adjeng Srijati (1895-1963), adik dari Soetomo, teman sekelas di STOVIA. Setelah lulus, Goenawan pernah menjadi asisten pengajar di STOVIA pada 1915-1916. Ia lalu melanjutkan pendidikan kedokteran ke Belanda hingga lulus pada 1920 (''De Locomotief,'' 27/05/1929).  


Ayah Tjipto dan Goenawan, Mangoenkoesoemo adalah seorang guru bahasa Melayu di sekolah dasar bumiputra di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sekolah dasar di Semarang. Selanjutnya Mangoenkoesoemo bekerja sebagai pembantu administrasi di Dewan Kota Semarang (Scherer, 1985: 122). Ibu mereka adalah seorang perempuan Jawa tradisional yang belajar membaca dan menulis dari suaminya. Ia juga adalah putri seorang pemilik tanah di Mayong, sebuah desa dekat Jepara. Keluarga pemilik tanah tersebut dikenal sebagai Tjitrasoeman dan lahan tanahnya disewakan kepada pabrik gula ‘Mayong’ (Scherer, 1985: 122).  
Ayah Tjipto dan Goenawan, Mangoenkoesoemo adalah seorang guru bahasa Melayu di sekolah dasar bumiputra di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sekolah dasar di Semarang. Selanjutnya Mangoenkoesoemo bekerja sebagai pembantu administrasi di Dewan Kota Semarang (Scherer, 1985: 122). Ibu mereka adalah seorang perempuan Jawa tradisional yang belajar membaca dan menulis dari suaminya. Ia juga adalah putri seorang pemilik tanah di Mayong, sebuah desa dekat Jepara. Keluarga pemilik tanah tersebut dikenal sebagai Tjitrasoeman dan lahan tanahnya disewakan kepada pabrik gula ‘Mayong’ (Scherer, 1985: 122).  
Line 7: Line 7:
Goenawan juga seorang penulis dengan banyak karya. Ia mengirimkan banyak artikel ke berbagai surat kabar. Ketika ia berusia lima belas tahun, Goenawan mengirim sebuah artikel ke surat kabar ''Java Bode''. Artikel tersebut mengenai kritik terhadap kebijakan pemerintah kolonial yang mengangkat bupati berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan kualitas dan kompetensi mereka. Namun, banyak artikelnya tidak menggunakan nama asli, sehingga sulit untuk memastikan konsep-konsepnya berdasarkan artikel-artikelnya (Scherer, 1985: 125).  
Goenawan juga seorang penulis dengan banyak karya. Ia mengirimkan banyak artikel ke berbagai surat kabar. Ketika ia berusia lima belas tahun, Goenawan mengirim sebuah artikel ke surat kabar ''Java Bode''. Artikel tersebut mengenai kritik terhadap kebijakan pemerintah kolonial yang mengangkat bupati berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan kualitas dan kompetensi mereka. Namun, banyak artikelnya tidak menggunakan nama asli, sehingga sulit untuk memastikan konsep-konsepnya berdasarkan artikel-artikelnya (Scherer, 1985: 125).  


Ketika pada 1908 Soetomo mengemukakan gagasan membentuk suatu wadah untuk kalangan priayi Jawa yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya, Goenawan dan Tjipto langsung tertarik. Wadah yang dibentuk tersebut diberi nama Boedi Oetomo dan diresmikan pada 20 Mei 1908. Soetomo menjadi Ketua dan Goenawan menjadi Sekretaris II (Kasenda, Marihandono & Tangkilisan, 2013: 153).  
Ketika pada 1908 Soetomo mengemukakan gagasan membentuk suatu wadah untuk kalangan priayi Jawa yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya, Goenawan dan Tjipto langsung tertarik. Wadah yang dibentuk tersebut diberi nama [[Boedi Oetomo]] dan diresmikan pada 20 Mei 1908. Soetomo menjadi Ketua dan Goenawan menjadi Sekretaris II (Kasenda, Marihandono & Tangkilisan, 2013: 153).  


Dalam Boedi Oetomo, Goenawan bertugas meyakinkan orang atas gagasannya. Ia mampu mengubah pikiran para ‘lawan’ Boedi Oetomo sehingga mau bergabung dengan organisasi ini tanpa ragu. Dalam Kongres Boedi Oetomo yang pertama 3-5 Oktober 1908, Goenawan menyampaikan pidatonya. Ia menganjurkan pendidikan massa bagi orang-orang Jawa. Ia juga menegaskan pentingnya membangun dan membangkitkan kepercayaan diri supaya tidak selamanya menggantungkan nasib kepada pemerintah kolonial (Kasenda, Marihandono & Tangkilisan, 2013: 155). Bagi Goenawan, unsur persatuan bangsa merupakan satu-satunya modal utama dalam memperjuangkan nasib bangsa yang harus dicapai dengan berbagai upaya. Ia tidak mempersoalkan apakah itu dalam sikap kooperatif maupun non-kooperatif karena menurutnya yang terpenting adalah manfaat yang dihasilkan baik melalui kooperatif maupun non-kooperatif.
Dalam [[Boedi Oetomo]], Goenawan bertugas meyakinkan orang atas gagasannya. Ia mampu mengubah pikiran para ‘lawan’ Boedi Oetomo sehingga mau bergabung dengan organisasi ini tanpa ragu. Dalam Kongres Boedi Oetomo yang pertama 3-5 Oktober 1908, Goenawan menyampaikan pidatonya. Ia menganjurkan pendidikan massa bagi orang-orang Jawa. Ia juga menegaskan pentingnya membangun dan membangkitkan kepercayaan diri supaya tidak selamanya menggantungkan nasib kepada pemerintah kolonial (Kasenda, Marihandono & Tangkilisan, 2013: 155). Bagi Goenawan, unsur persatuan bangsa merupakan satu-satunya modal utama dalam memperjuangkan nasib bangsa yang harus dicapai dengan berbagai upaya. Ia tidak mempersoalkan apakah itu dalam sikap kooperatif maupun non-kooperatif karena menurutnya yang terpenting adalah manfaat yang dihasilkan baik melalui kooperatif maupun non-kooperatif.


Pada 1917 Goenawan dan istrinya pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan kedokteran di Amsterdam. Ia bersama istrinya berangkat dengan rombongan delegasi ''Indië Weerbaar'' (Poeze, 2014: 109, 120).  Pada 21 Juni 1918 Goenawan berhasil lulus ujian teori kedokteran di Amsterdam (De ''Locomotief'', 26/06/1918).   
Pada 1917 Goenawan dan istrinya pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan kedokteran di Amsterdam. Ia bersama istrinya berangkat dengan rombongan delegasi ''Indië Weerbaar'' (Poeze, 2014: 109, 120).  Pada 21 Juni 1918 Goenawan berhasil lulus ujian teori kedokteran di Amsterdam (De ''Locomotief'', 26/06/1918).   


Pada perayaan 10 tahun Boedi Oetomo di Belanda tahun 1918, Goenawan mengusulkan penerbitan sebuah buku peringatan yang kemudian terbit dengan judul ''Soembangsih''. Sebagai redaksi adalah Sosrokartono, Noto Soeroto, dan Soewardi Soerjaningrat. Dalam buku tersebut Goenawan menulis tinjauan sejarah Boedi Oetomo yang berisi banyak informasi (Poeze, 2014: 120). Dalam rapat ''Indische Vereeniging'', Goenawan juga dipilih menjadi ketua ''Indische Vereeniging'' secara aklamasi yang kemudian namanya menjadi Perhimpunan Indonesia (''Het Vaderland'', 29/10/1918). Berbeda ketika ia aktif di Boedi Oetomo dengan mengambil sikap lebih moderat, ketika berada di Belanda, Goenawan berubah menjadi radikal. Dengan kalimat-kalimat menyentak, dalam suatu perdebatan, Goenawan menunjukkan seluruh program nasionalis sejati. Sejak Januari 1919 hingga Februari 1920 Goenawan menggantikan Soewardi Soerjaningrat sebagai redaktur majalah Perhimpunan Indonesia, ''Hindia Poetra'' (Poeze, 2014: 127, 134).
Pada perayaan 10 tahun [[Boedi Oetomo]] di Belanda tahun 1918, Goenawan mengusulkan penerbitan sebuah buku peringatan yang kemudian terbit dengan judul ''Soembangsih''. Sebagai redaksi adalah Sosrokartono, Noto Soeroto, dan Soewardi Soerjaningrat. Dalam buku tersebut Goenawan menulis tinjauan sejarah Boedi Oetomo yang berisi banyak informasi (Poeze, 2014: 120). Dalam rapat ''Indische Vereeniging'', Goenawan juga dipilih menjadi ketua ''[[Indische Vereeniging]]'' secara aklamasi yang kemudian namanya menjadi [[Perhimpunan Indonesia]] (''Het Vaderland'', 29/10/1918). Berbeda ketika ia aktif di Boedi Oetomo dengan mengambil sikap lebih moderat, ketika berada di Belanda, Goenawan berubah menjadi radikal. Dengan kalimat-kalimat menyentak, dalam suatu perdebatan, Goenawan menunjukkan seluruh program nasionalis sejati. Sejak Januari 1919 hingga Februari 1920 Goenawan menggantikan Soewardi Soerjaningrat sebagai redaktur majalah [[Perhimpunan Indonesia]], ''[[Hindia Poetra]]'' (Poeze, 2014: 127, 134).


Sepulang dari Belanda, Goenawan ditugaskan di Palembang, Sumatra Selatan. Ia juga pernah menjadi anggota ''Volksraad'' pada 1923 (''Bataviaasch Nieuwsblad'', 17/02/1923). Ia lalu melanjutkan pendidikan spesialisasi penyakit paru-paru ke Belanda pada 1927 (''De Locomotief,'' 19/07/1927).  Sekembali dari Belanda pada 1928, Goenawan ditugaskan sebagai dokter di Rumah Sakit Umum Semarang. Goenawan Mangoenkoesoemo wafat di Semarang pada bulan Mei 1929 dan dimakamkan di Peterongan (''De Locomotief,'' 27/05/1929).  
Sepulang dari Belanda, Goenawan ditugaskan di Palembang, Sumatra Selatan. Ia juga pernah menjadi anggota ''[[Volksraad (Dewan Rakyat)|Volksraad]]'' pada 1923 (''Bataviaasch Nieuwsblad'', 17/02/1923). Ia lalu melanjutkan pendidikan spesialisasi penyakit paru-paru ke Belanda pada 1927 (''De Locomotief,'' 19/07/1927).  Sekembali dari Belanda pada 1928, Goenawan ditugaskan sebagai dokter di Rumah Sakit Umum Semarang. Goenawan Mangoenkoesoemo wafat di Semarang pada bulan Mei 1929 dan dimakamkan di Peterongan (''De Locomotief,'' 27/05/1929).  


Penulis: Ahmad Sunjayadi
Penulis: Ahmad Sunjayadi

Revision as of 18:31, 9 August 2023

Raden Goenawan Mangoenkoesoemo adalah aktivis pergerakan dan juga salah seorang pendiri Boedi Oetomo. Ia lahir pada 1889 di Jepara, Jawa Tengah dan wafat pada 1929 di Semarang, Jawa Tengah. Goenawan adalah putra ketiga dari sembilan bersaudara keluarga Mangoenkoesoemo. Ia adalah adik dari Tjipto Mangoenkoesoemo. Seperti sang kakak, setelah menyelesaikan pendidikan dasar Goenawan juga menempuh pendidikan di School Tot Opleiding van Indische Arts (STOVIA) dari tahun 1903 hingga lulus pada 1911. Pada 1911 ia menikah dengan Raden Adjeng Srijati (1895-1963), adik dari Soetomo, teman sekelas di STOVIA. Setelah lulus, Goenawan pernah menjadi asisten pengajar di STOVIA pada 1915-1916. Ia lalu melanjutkan pendidikan kedokteran ke Belanda hingga lulus pada 1920 (De Locomotief, 27/05/1929).

Ayah Tjipto dan Goenawan, Mangoenkoesoemo adalah seorang guru bahasa Melayu di sekolah dasar bumiputra di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sekolah dasar di Semarang. Selanjutnya Mangoenkoesoemo bekerja sebagai pembantu administrasi di Dewan Kota Semarang (Scherer, 1985: 122). Ibu mereka adalah seorang perempuan Jawa tradisional yang belajar membaca dan menulis dari suaminya. Ia juga adalah putri seorang pemilik tanah di Mayong, sebuah desa dekat Jepara. Keluarga pemilik tanah tersebut dikenal sebagai Tjitrasoeman dan lahan tanahnya disewakan kepada pabrik gula ‘Mayong’ (Scherer, 1985: 122).

Goenawan merupakan teman sekelas dan berteman akrab dengan Soetomo Dalam berbagai kegiatan mereka berhubungan erat karena memiliki pandangan politik yang sama. Dibandingkan dengan Tjipto yang lebih radikal, Goenawan lebih senang cara dan pendekatan Soetomo yang moderat dan bertahap dalam hal melawan penindasan dan ketidakadilan. Goenawan merasa sama kuatnya dengan Tjipto yang melawan penindasan dan ketidakadilan dalam struktur masyarakat Jawa di bawah dominasi para regent (bupati) dan priayi birokratis (Scherer, 1985: 124).

Goenawan juga seorang penulis dengan banyak karya. Ia mengirimkan banyak artikel ke berbagai surat kabar. Ketika ia berusia lima belas tahun, Goenawan mengirim sebuah artikel ke surat kabar Java Bode. Artikel tersebut mengenai kritik terhadap kebijakan pemerintah kolonial yang mengangkat bupati berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan kualitas dan kompetensi mereka. Namun, banyak artikelnya tidak menggunakan nama asli, sehingga sulit untuk memastikan konsep-konsepnya berdasarkan artikel-artikelnya (Scherer, 1985: 125).

Ketika pada 1908 Soetomo mengemukakan gagasan membentuk suatu wadah untuk kalangan priayi Jawa yang bersifat sosial, ekonomi, dan budaya, Goenawan dan Tjipto langsung tertarik. Wadah yang dibentuk tersebut diberi nama Boedi Oetomo dan diresmikan pada 20 Mei 1908. Soetomo menjadi Ketua dan Goenawan menjadi Sekretaris II (Kasenda, Marihandono & Tangkilisan, 2013: 153).

Dalam Boedi Oetomo, Goenawan bertugas meyakinkan orang atas gagasannya. Ia mampu mengubah pikiran para ‘lawan’ Boedi Oetomo sehingga mau bergabung dengan organisasi ini tanpa ragu. Dalam Kongres Boedi Oetomo yang pertama 3-5 Oktober 1908, Goenawan menyampaikan pidatonya. Ia menganjurkan pendidikan massa bagi orang-orang Jawa. Ia juga menegaskan pentingnya membangun dan membangkitkan kepercayaan diri supaya tidak selamanya menggantungkan nasib kepada pemerintah kolonial (Kasenda, Marihandono & Tangkilisan, 2013: 155). Bagi Goenawan, unsur persatuan bangsa merupakan satu-satunya modal utama dalam memperjuangkan nasib bangsa yang harus dicapai dengan berbagai upaya. Ia tidak mempersoalkan apakah itu dalam sikap kooperatif maupun non-kooperatif karena menurutnya yang terpenting adalah manfaat yang dihasilkan baik melalui kooperatif maupun non-kooperatif.

Pada 1917 Goenawan dan istrinya pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan kedokteran di Amsterdam. Ia bersama istrinya berangkat dengan rombongan delegasi Indië Weerbaar (Poeze, 2014: 109, 120).  Pada 21 Juni 1918 Goenawan berhasil lulus ujian teori kedokteran di Amsterdam (De Locomotief, 26/06/1918). 

Pada perayaan 10 tahun Boedi Oetomo di Belanda tahun 1918, Goenawan mengusulkan penerbitan sebuah buku peringatan yang kemudian terbit dengan judul Soembangsih. Sebagai redaksi adalah Sosrokartono, Noto Soeroto, dan Soewardi Soerjaningrat. Dalam buku tersebut Goenawan menulis tinjauan sejarah Boedi Oetomo yang berisi banyak informasi (Poeze, 2014: 120). Dalam rapat Indische Vereeniging, Goenawan juga dipilih menjadi ketua Indische Vereeniging secara aklamasi yang kemudian namanya menjadi Perhimpunan Indonesia (Het Vaderland, 29/10/1918). Berbeda ketika ia aktif di Boedi Oetomo dengan mengambil sikap lebih moderat, ketika berada di Belanda, Goenawan berubah menjadi radikal. Dengan kalimat-kalimat menyentak, dalam suatu perdebatan, Goenawan menunjukkan seluruh program nasionalis sejati. Sejak Januari 1919 hingga Februari 1920 Goenawan menggantikan Soewardi Soerjaningrat sebagai redaktur majalah Perhimpunan Indonesia, Hindia Poetra (Poeze, 2014: 127, 134).

Sepulang dari Belanda, Goenawan ditugaskan di Palembang, Sumatra Selatan. Ia juga pernah menjadi anggota Volksraad pada 1923 (Bataviaasch Nieuwsblad, 17/02/1923). Ia lalu melanjutkan pendidikan spesialisasi penyakit paru-paru ke Belanda pada 1927 (De Locomotief, 19/07/1927).  Sekembali dari Belanda pada 1928, Goenawan ditugaskan sebagai dokter di Rumah Sakit Umum Semarang. Goenawan Mangoenkoesoemo wafat di Semarang pada bulan Mei 1929 dan dimakamkan di Peterongan (De Locomotief, 27/05/1929).

Penulis: Ahmad Sunjayadi


Referensi

Bataviaasch Nieuwsblad, ‘Lid van Volksraad’, 17/02/1923, hal. 1.

De Locomotief , ‘personalia’, 25/06/1918, hal. 2.

De Locomotief, ‘Naar Nederland’, 19/07/1927, hal. 2.

De Locomotief, ‘Dr. M. Goenawan Mangoenkoesoemo’, 27/05/1929, hal. 2.

Het Vaderland , ‘Indische Vereeniging’, 29/10/1918, hal.2.

Kasenda, Peter, Marihandono, Djoko, Tangkilisan, Yuda. 2013. Dokter Soetomo. Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Poeze, Harry.A. 2014. Di Negeri Penjajah. Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, KITLV Jakarta, Universiteit Leiden.

Scherer, Prastiti Savitri. 1985. Keselarasan dan Kejanggalan. Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Jakarta: Sinar Harapan.