Kasman Singodimedjo: Difference between revisions

From Ensiklopedia
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
m (Text replacement - "Penulis: Endi Aulia Garadian" to "{{Penulis|Endi Aulia Garadian|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.}}")
Line 27: Line 27:
Kasman Singodimedjo tutup usia pada 25 Oktober 1982. Rasa penghormatan diberikan oleh negara pada dirinya dengan menjadikan Kasman sebagai salah satu Pahlawan Nasional. Semua ini tertuang pada Keppres RI No.  123/TK/Tahun 2018.
Kasman Singodimedjo tutup usia pada 25 Oktober 1982. Rasa penghormatan diberikan oleh negara pada dirinya dengan menjadikan Kasman sebagai salah satu Pahlawan Nasional. Semua ini tertuang pada Keppres RI No.  123/TK/Tahun 2018.


Penulis: Endi Aulia Garadian
{{Penulis|Endi Aulia Garadian|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.}}





Revision as of 11:48, 10 August 2023

Kasman Singodimedjo adalah tokoh pergerakan Islam pada masa kolonial dan kemerdekaan di Indonesia. Ia lahir di Purworedjo pada 25 Februari 1908. Ayahnya merupakan seorang polisi pamong pradja di Lampung Tengah. Ia menempuh pendidikan Rechts-Hogeschool Doctoraal ex. Sociologisch Economisch-Richting tahun pada 1939 (Kementerian Penerangan Republik Indonesia, 1954: 95). Di tahun 1933-1940 dirinya juga mengajar di MULO Kesatrian, MULO Pendidikan Islam, MULO H.I.K., A.M.S Muhammadiyah dan pada Mualimin-Mualimaat Muhammadijah.

Selain itu, di akhir pemerintah kolonial Hindia Belanda, Kasman pernah menjabat di Landbouw-voorlichting en Binnenvisserij r.d. Dienst v.d. Landbouw di Jakarta. Di masa pendudukan Jepang, Kasman juga sempat menjadi Yontoo Gizytoo dan masuk Tentara Pembela Tanah Air selaku Daidantyo. Memasuki era kemerdekaan pada 1945-1948, dirinya pernah menjadi Ketua Badan Keamanan Rakyat Pusat, Ketua Komite Nasional Pusat di Jakarta, Jaksa Agung, Kepala Bagian Kehakiman Tentara pada Kementerian Pertahanan, dan Menteri Kehakiman (menggantikan Suwandi) dalam Kabinet Sutan Sjahrir. Dirinya juga pernah menjadi tenaga pengajar di Universiteit Islam Indonesia di Yogyakarta dan kemudian menjadi Juru Bicara Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Jawa. Sedari tahun 1949-1950 Kasman menjadi penasihat delegasi Indonesia di Konferensi Meja Bundar, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, dan memangku jabatan Wakil Dewan Fakulteit Hukum dari Universiteit Islam di Yogyakarta.

Dari sisi aktivisme, sepanjang tahun 1923-1935, Kasman menjadi Troepscommandant dari Blauwe Troep N.I.P.V: Pengurus Jong Java dan Ketua Umum Pengurus Besar Jong Islamieten Bond. Penegak dan Ketua Umum pengurus Besar Nationaal Indonesische Padvinderij dari Jong Islamieten Bond (JIB). Pada 1938, Kasman ikut membentuk Partai Islam Indonesia di Surakarta bersama Mas Mansur, Farid Ma’ruf, Soekiman, dan Wiwoho Purbohadidjoyo. Pada Muktamar 7 November 1945, Kasman terpilih menjadi Ketua Muda III Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi). Pengurus lain pada saat itu adalah Hasjim Asjari (Ketua Umum), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muda I), Wahid Hasjim (Ketua Muda II), Moh. Roem, M. Natsir, dan Abu Hanifah. Kasman juga pernah menjadi Ketua Muhammadiyah wilayah Jakarta pada periode 1939-1941.

Dari sekilas perjalanan kehidupannya di atas, Kasman merupakan sosok yang punya pengalaman di dunia pemerintahan sekaligus aktivisme pergerakan. Selain itu, Kasman juga punya kedekatan dengan tokoh-tokoh Islam karena aktif di Muhammadiyah dan JIB (Febriansyah dkk. 2013, 72). Hal ini yang kemudian menjadi salah satu modal baginya dalam memberikan kontribusi besar dalam perumusan dasar negara yang terjadi di kalangan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK) Indonesia. Kasman sendiri tidak dari awal menjadi anggota panitia ini. Sukarno lah yang meminta Kasman menjadi anggota (Febriansyah dkk., 2013: 72). Dirinya langsung meluncur dari Kantor Pembela Tanah Air (PETA) di Jagamonyet ke tempat berlangsungnya rapat PPK-Indonesia di Pejambon. Hari pertama menjadi anggota PPK-Indonesia, Kasman langsung dihadapkan dengan situasi tegang di antara para panitia, sebagaimana tergambar dalam biografinya: “Waktu saya tiba di Pejambon, terbukti masih sedang ramai-ramainya diadakan lobbying di antara anggota-anggota Panitia (Sembilan). Dan tidak sulit bagi saya untuk mengetahui materi apakah yang menjadi persoalan serius itu.” (Singodimedjo 1982).

Pihak PPK-Indonesia dari kalangan non-Muslim, yakni Johannes Latuharhary, Sam Ratulangi, dan Ketoet Poedja, mengusulkan agar tujuh kata dari Piagam Jakarta dihapus, yakni “… dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sementara tokoh dari kalangan Muslim seperti Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, dan Teuku Hasan bersikeras agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut tetap dipertahankan.

Bagi Kasman, golongan non-muslim tidak akan diwajibkan untuk menjalankan syariat Islam, hanya terbatas kepada umat Islam. Namun, ia berpendapat bahwa banyak golongan dari berbagai latar belakang, baik suku, agama, etnis, dan ras, telah berkontribusi besar di masa pergerakan nasional dan perlawanan fisik melawan kolonial. Sehingga, penghapusan tujuh kata ini bagi Kasman juga akan mengurangi potensi diskriminasi terhadap minoritas di masa mendatang.

Di sini, Kasman berperan untuk meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo, salah satu tokoh yang menolak keras penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Tidak ada orang di Panitia Sembilan yang dapat meyakinkan dirinya, termasuk Hatta, Wahid Hasyim, dan Teuku Hasan. Dalam biografinya, Kasman mencoba melobi Ki Bagus Hadikusumo dengan mengatakan bahwa mimpi bersama sebagai sebuah bangsa merdeka adalah tujuan utama.

“Kiyahi, tidakkah bijaksana, jilakau kita sekarang sebagai ummat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tukuh kata termaskud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil Makmur, tenang tenteram, dan diredhoi Allah.” (Singodimedjo 1982, 129).

Dengan diplomasinya Kasman seperti itu, barulah Ki Bagus Hadikusumo berangsur mau menerima usul tersebut. Baru setelahnya, pada 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan bermula, Hatta mengumpulkan Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, Teuku Hasan dalam satu forum sebelum rapat dimulai. Mereka berkumpul untuk membicarakan persoalan penghapusan kata dalam Piagam Jakarta dan bermufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang berpotensi mengancam perpecahan bangsa, dan mengganti kata tersebut menjadi “Ke Tuhanan Yang Maha Esa” (Singodimedjo 1982, 129).

Di masa Kemerdekaan, tepatnya 29 Agustus 1945, Kasman dipilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat, yang berfungsi sebagai DPR maupun MPR dengan fungsi-fungsi lebih terbatas. Di masa kepemimpinannya, dia mendorong gubernur di berbagai daerah untuk mendirikan KNIP Daerah (Singodimedjo, 1982: 139). Hal ini untuk memudahkan penyelesaian urusan-urusan yang gaduh, baik yang terjadi di pusat maupun daerah. Sebagai catatan, keberadaan KNIP saat itu cukup penting sebagai pendamping lembaga kepolisian yang belum berjalan secara efektif.

Kasman juga menjadi orang yang menandatangani Maklumat 9 Oktober 1945 tentang Mobilisasi Tentara Keamanan Rakyat. Maklumat ini dikeluarkan untuk memperkuat perasaan keamanan umum di tengah masyarakat.

Setelah selesai bertugas di KNIP, Kasman melanjutkan perjuangannya sebagai Jaksa Agung. Sebagai Jaksa Agung, ia melakukan penyusunan administrasi dan personalia dari atas ke bawah, hubungannya dengan instansi-instansi horizontal dalam kejaksaan, petunjuk dan instruksi menjalankan tugas ke bawah, dan safari memantau perkembangan kantor kejaksaan dan penjara-penjara. Selain itu, Kasman juga kerap mendampingi Sukarno ketika presiden melakukan turba (turun ke bawah) seperti ke Tangerang, Balaraja, Serang, Rangkasbitung, Bogor, dan seluruh wilayah Jawa Timur termasuk Madura (Singodimedjo, 1982: 145).

Dari itu semua, Kasman tetap aktif di Muhammadiyah. Keaktifannya di persyarikatan ini tidak lain sebagai bentuk meneruskan perjuangan Islam. Sejak muda, dirinya tidak pernah absen dari kegiatan Muhammadiyah. Mulai dari anggota biasa Muhammadiyah, guru di Muhammadiyah, ketua Muhammadiyah cabang Betawi, sampai akhirnya masuk sebagai anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam biografinya dijelaskan bahwa dirinya pernah di penjara pada masa Hindia Belanda selama berbulan-bulan di Bogor karena membela perjuangan-perjuangan yang dilakukan oleh Muhammadiyah (Singodimedjo, 1982: 248).

Kasman Singodimedjo tutup usia pada 25 Oktober 1982. Rasa penghormatan diberikan oleh negara pada dirinya dengan menjadikan Kasman sebagai salah satu Pahlawan Nasional. Semua ini tertuang pada Keppres RI No.  123/TK/Tahun 2018.

Penulis: Endi Aulia Garadian
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Febriansyah, M. Raihan dkk. 2013. Muhammadiyah: 100 Tahun Menyinari Negeri. Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Kementerian Penerangan Republik Indonesia. 1954. Kami Perkenalkan. Jakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia.

Singodimedjo, Kasman. 1982. Hidup itu berjuang: Kasman Singodimedjo 75 tahun. Jakarta: Bulan Bintang.