Frans Seda (Fransiscus Xaverius Seda): Difference between revisions
No edit summary |
m (Text replacement - "Penulis: Florentinus Galih Adi Utama" to "{{Penulis|Florentinus Galih Adi Utama|Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta|Dr. Sri Margana, M.Hum.}}") |
||
Line 7: | Line 7: | ||
Selepas menanggalkan jabatannya sebagai Menteri Keuangan, Frans Seda masih mendapat kepercayaan dari Soeharto. Kali ini, ia ditunjuk sebagai Menteri Perhubungan dan Pariwisata sejak 1968 hingga 1973 selagi menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Atma Jaya (Dua, 2006: 20). Dengan berakhirnya masa jabatan sebagai Menteri Perhubungan dan Pariwisata di [[Orde Baru|era Soeharto]], bukan berarti karir politiknya meredup. Tercatat pada tahun 1998, Frans Seda menjadi penasihat bidang ekonomi [[B. J Habibie|Presiden B.J. Habibie]], dan tahun berikutnya penasehat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri (Dua, 2013: 191). | Selepas menanggalkan jabatannya sebagai Menteri Keuangan, Frans Seda masih mendapat kepercayaan dari Soeharto. Kali ini, ia ditunjuk sebagai Menteri Perhubungan dan Pariwisata sejak 1968 hingga 1973 selagi menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Atma Jaya (Dua, 2006: 20). Dengan berakhirnya masa jabatan sebagai Menteri Perhubungan dan Pariwisata di [[Orde Baru|era Soeharto]], bukan berarti karir politiknya meredup. Tercatat pada tahun 1998, Frans Seda menjadi penasihat bidang ekonomi [[B. J Habibie|Presiden B.J. Habibie]], dan tahun berikutnya penasehat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri (Dua, 2013: 191). | ||
Penulis | {{Penulis|Florentinus Galih Adi Utama|Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta|Dr. Sri Margana, M.Hum.}} | ||
Revision as of 13:40, 10 August 2023
Frans Seda merupakan seorang teknokrat ekonomi yang berpengaruh dalam perkembangan ekonomi lintas generasi sejak Indonesia merdeka. Ia lahir di Maumere pada tanggal 4 Oktober 1926. Dengan latar belakang keluarga guru, Frans Seda berkesempatan merasakan dunia pendidikan. Ia dikirim ke Ndao untuk belajar di sebuah sekolah rakyat bersistem asrama. Selanjutnya, Seda meneruskan studinya ke Muntilan, Jawa Tengah, di sekolah asrama yang didirikan oleh Frans van Lith (Dua, 2006: 280). Memasuki usianya yang ke-24 tahun, Frans Seda melanjutkan studi ke Katholieke Economische Hogeschool (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi) di Tillburg, Belanda. Kepergiannya itu adalah bagian dari misi Gereja Katolik Flores yang berfokus pada bidang pendidikan dan ekonomi, tersebab saat itu Flores belum merasakan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah (Dua, 2013: 193).
Sepulangnya dari mengenyam pendidikan di Belanda, Frans Seda merintis berdirinya Universitas Katolik Atma Jaya. Universitas yang resmi berdiri pada tanggal 1 Juni 1960 tersebut tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan Presiden Sukarno yang menjanjikan sebidang tanah untuk pembangunan gedung. Sukarno turut serta dalam penentuan rancang bangun gedung universitas. Tidak hanya itu, Sukarno juga menggalang dukungan dari Paus Paulus VI di Vatikan terhadap berdirinya Universitas Atma Jaya (Dua, 2006: 42). Di tengah kesibukannya mendampingi embrio universitas yang dirintisnya sebagai rektor, dekan fakultas ekonomi, sekaligus mengetuai Partai Katolik, Frans Seda ditunjuk oleh Sukarno menjabat sebagai Menteri Perkebunan (1964-1966) pada usia 38 tahun. Pada periode ini, Frans Seda dihadapkan pada berbagai persoalan pelik, terutama berkaitan dengan instabilitas negara karena meletusnya peristiwa Gerakan 30 September yang tentu saja berpengaruh terhadap jalannya roda pemerintahan.
Ketika Indonesia sedang berbenah diri, Frans Seda diangkat menjadi Menteri Keuangan (1966-1968) pada awal masa pemerintahan Soeharto. Seketika ia langsung dihadapkan dengan situasi perekonomian negara yang masih mengalami kekacauan. Pada periode transisi ini, Indonesia tengah mengusahakan keseimbangan neraca sistem ekonomi yang mengalami shock, yaitu ketika terjadi inflasi menyentuh angka 1.136,25 % (Huruta, 2017: 94). Saat menjabat sebagai Menteri Keuangan, Frans Seda mendaftarkan kembali Indonesia sebagai anggota IMF setelah inflasi besar-besaran tersebut. Melalui keputusannya itu, pada dasarnya Frans Seda ingin mewujudkan deregulasi dan liberalisasi pasar. Dalam tujuan menyeimbangkan ekonomi negara yang sedang terpuruk, Frans Seda mengajukan prinsip “Anggaran Berimbang”, yakni pengeluaran dan pendapatan negara harus dibuat sedemikian rupa agar berimbang. Bila pendapatan terbilang jauh lebih sedikit daripada pengeluaran, maka defisit dapat ditanggulangi dengan pinjaman luar negeri (Dua, 2013: 196).
Selepas menanggalkan jabatannya sebagai Menteri Keuangan, Frans Seda masih mendapat kepercayaan dari Soeharto. Kali ini, ia ditunjuk sebagai Menteri Perhubungan dan Pariwisata sejak 1968 hingga 1973 selagi menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Atma Jaya (Dua, 2006: 20). Dengan berakhirnya masa jabatan sebagai Menteri Perhubungan dan Pariwisata di era Soeharto, bukan berarti karir politiknya meredup. Tercatat pada tahun 1998, Frans Seda menjadi penasihat bidang ekonomi Presiden B.J. Habibie, dan tahun berikutnya penasehat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri (Dua, 2013: 191).
Penulis: Florentinus Galih Adi Utama
Instansi: Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.
Referensi
Dua, Mikhael (2006). Universitas Untuk Umat dan Bangsa: Menelusuri Jejak Keterlibatan Frans Seda. Jakarta: Universitas Atma Jaya.
Dua, Mikhael (2013). “Kedaulatan Ekonomi dan Kebaikan Bersama: Sebuah Refleksi Filsafat Bersama Frans Seda”, dalam RESPONS, Vol. 18, No. 2, hlm. 187-211.
Huruta, A.D. (2017). “Kausalitas Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Periode 1965-2013”, dalam Modus, Vol. 29, No. 1, hlm. 91-103.