Sumitro: Difference between revisions
No edit summary |
m (Text replacement - "Penulis: Satrio (Ody) Dwicahyo" to "{{Penulis|Satrio Dwicahyo|Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada|Dr. Farabi Fakih, M.Phil.}}") |
||
Line 15: | Line 15: | ||
Jenderal Soemitro mangkat pada tanggal 10 Mei 1998, sebelas hari sebelum Presiden Suharto mengundurkan diri. | Jenderal Soemitro mangkat pada tanggal 10 Mei 1998, sebelas hari sebelum Presiden Suharto mengundurkan diri. | ||
Penulis | {{Penulis|Satrio Dwicahyo|Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada|Dr. Farabi Fakih, M.Phil.}} | ||
Revision as of 15:37, 10 August 2023
David Jenkins, seorang sejarawan asal Australia, mengungkapkan bahwa dalam membangun rezim Orde Baru, Suharto dikelilingi oleh perwira militer yang ia percaya. Namun, seiring berjalannya waktu, terdapat beberapa nama yang hengkang dari lingkaran orang kepercayaan Suharto, baik karena perbedaan pendapat maupun karena disingkirkan. Sumitro, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ke-3, adalah salah satu perwira loyal yang akhirnya tersingkir dari pusaran tersebut (Bachtiar, 1988: 373).
Jenderal yang terkenal dekat dengan mahasiswa itu dilahirkan di Probolinggo pada 13 Januari 1925. Ia sempat mengenyam pendidikan dasar (HIS) dan menengah (MULO) sebelum bergabung sebagai anggota PETA pada tahun 1943. Sejak menjadi anggota PETA, wilayah operasi Sumitro adalah tanah kelahirannya: Jawa Timur (Bachtiar, 1988: 373). Oleh karena itu, kepercayaan Suharto ia raih ketika menjabat sebagai Panglima Komando Daerah Militer Brawijaya pada 17 Juni 1966 hingga 15 April 1967, atau ketika pembersihan terhadap PKI di seluruh Jawa berlangsung. Totalitas Sumitro dalam melaksanakan tugas ini dicatat oleh jurnalis Amerika, Seymour Topping, yang pernah mewawancarai Sumitro. Kepada Topping, Sumitro mengatakan bahwa dirinya “turun” ke kodim-kodim di seluruh Jawa Timur untuk memastikan mereka memahami perintah operasi (Roosa, 2006: 26).
“Pembersihan” yang dilakukan oleh Sumitro di Jawa Timur mendekatkannya pada pusat kekuasaan di Jakarta. Sebelum sampai di Jakarta, Sumitro terlebih dulu ditugaskan di Seskoad yang kala itu sedang menggodok doktrin Angkatan Darat yang baru. Selepas penugasan di Seskoad, Sumitro langsung ditunjuk menjadi kepala staf sebuah organisasi dengan kekuasaan hampir tak terbatas di bidang keamanan: Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) (Bachtiar, 1988: 373). Lembaga yang dapat bertindak apapun atas nama keamanan ini sering disebut sebagai “polisi rahasia” milik rezim Orde Baru.
Seiring kedekatannya dengan kekuasaan, perwira AD yang pernah ditugaskan di Kalimantan ini juga semakin dekat dengan musuh-musuh politiknya yang juga merupakan orang-orang kepercayaan Suharto. Salah satu rival Sumitro yang begitu lihai dan berkuasa adalah Ali Murtopo, tangan kanan Suharto dalam berbagai urusan dan merupakan seorang Staf Pribadinya. Ketika Sumitro ditunjuk menjadi orang nomor satu di Kopkamtib pada 20 November 1969 dan Ali Moertopo sedang menjabat sebagai Staf Pribadi Presiden urusan Sosial Politik, persaingan ini semakin meruncing. Salah satu penyebabnya adalah kedua organisasi yang memiliki kewenangan hampir tak terbatas dan menerabas tugas-tugas lembaga-lembaga resmi seperti kementerian dan bahkan ABRI (Jenkins, 2010: 27-28).
Sejak menjadi Kepala Staf Kopkamtib, Sumitro sudah mengkritisi Opsus (Operasi Khusus), satuan intelijen yang dinahkodai Ali Murtopo dan bertugas salah satunya dalam normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia yang retak karena Konfrontasi. Menurut Sumitro, lembaga seperti Opsus memiliki potensi konflik dengan lembaga intelijen lain seperti BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) dan Intelijen Kopkamtib. Sumitro merasa Ali Moertopo memiliki kekuasaan yang terlampau besar, begitu pula sebaliknya. Ali Moertopo merasa Soemitro sering melampaui tugas dan wewenangnya. Melihat persaingan sengit di antara mereka yang cenderung berlarut, Presiden Suharto pernah berupaya menengahi. Namun, konflik tersebut justru meletus di awal tahun 1974 melalui peristiwa yang disebut Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) (Agustina, 2014: 14) .
Setelah Orde Baru berkuasa, modal asing mengalir deras masuk ke Indonesia. Situasi ini menuntut mahasiswa turun ke jalan dan memprotes keterbukaan yang mereka anggap kebablasan. Pada 15 Januari 1974, demonstrasi yang dilakukan bertepatan dengan kunjungan perdana menteri Jepang Tanaka Kakuei ke Indonesia berujung dengan kericuhan. Salah satu bentuk kericuhan itu adalah perusakan mobil-mobil Jepang. Pangkopkamtib Sumitro dianggap tidak mampu menguasai keadaan. Lebih dari itu, berdasarkan laporan Ali Murtopo, kedekatan Pangkopkamtib dengan mahasiswa justru merupakan indikator bahwa ia berdiri di belakang aksi demonstrasi yang berujung kericuhan ini.
Selepas Malari, Soeharto memberhentikan Sumitro dari jabatannya sebagai Pangkopkamtib dan mengambil alih peran tersebut. Namun, Soeharto mempercayakan Laksamana Sudomo (Kepala Staf Kopkamtib) untuk menjadi pelaksana tugas sehari-hari. Sementara Sumitro memutuskan untuk berhenti menjadi tentara dan bekerja di bidang swasta, yaitu sebagai Presiden Komisaris P.T. Suma Corporation dan P.T. Cakra Sudarma yang bergerak di bidang konsesi lahan (Bachtiar 1988, 373).
Jenderal Soemitro mangkat pada tanggal 10 Mei 1998, sebelas hari sebelum Presiden Suharto mengundurkan diri.
Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Agustina, Widiarsi. Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama Dalam Sejarah Orde Baru. Cetakan I. Mayestik, Jakarta: Tempo Publishing, 2014.
Bachtiar, Harsja W. Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Jakarta: Penerbit Djambatan, 1988.
Jenkins, David. Soeharto & Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983. Depok: Komunitas Bambu, 2010.
Roosa, John. Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’état in Indonesia. New Perspectives in Southeast Asian Studies. Madison, Wis: University of Wisconsin Press, 2006.