Wiratmo Soekito: Difference between revisions

From Ensiklopedia
No edit summary
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
Line 37: Line 37:


Suryansyah, “Wiratmo Soekito: Ini Bukan Manifes Kebudayaan II”, dalam ''SastraIndonesia.com'', 1 September 2011, diakses tanggal 30 Oktober 2021 dari <nowiki>http://sastra-indonesia.com/2011/09/wiratmo-soekito-ini-bukan-manifes-kebudayaan-ii/</nowiki>.
Suryansyah, “Wiratmo Soekito: Ini Bukan Manifes Kebudayaan II”, dalam ''SastraIndonesia.com'', 1 September 2011, diakses tanggal 30 Oktober 2021 dari <nowiki>http://sastra-indonesia.com/2011/09/wiratmo-soekito-ini-bukan-manifes-kebudayaan-ii/</nowiki>.
[[Category:Tokoh]]
{{Comment}} [[Category:Tokoh]]

Revision as of 15:39, 25 August 2023

Prahara budaya bernuansa ideologis berbalut politis pernah terjadi di Indonesia pada tahun-tahun awal dekade 1960-an. Salah satu kubu utama dalam “perang tanding” itu adalah Manifesto Kebudayaan dengan panglimanya bernama Wiratmo Soekito. Kehadiran Manifesto Kebudayaan menjadi antitesis terhadap golongan seniman atau budayawan dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun dari Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) sebagai pendukung setia Presiden Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin kala itu.

Selain Wiratmo Soekito, ada deretan seniman lainnya yang membidani lahirnya manifes ini di Jakarta pada 1963, antara lain: H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S. Muljanto, Ras Siregar, Sjahwil, dan Djufri Tanissan. Orang-orang Lekra dan pihak-pihak yang berlawanan lainnya menyebut Manifesto Kebudayaan dengan olok-olok Manikebu. Wiratmo Soekito tampil sebagai “panglima perang” Manikebu dan  pada akhirnya nantinya berhasil mengenyahkan rival-rivalnya itu setelah luruhnya pengaruh Bung Karno usai peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965.

Wiratmo Soekito dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, tanggal 28 Februari 1929. Ia merupakan anak pertama dari 7 bersaudara. Ayah Wiratmo Soekito adalah mantan Kepala Perpustakaan Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta (Astuti, 2008: 21). Usai lulus dari sekolah menengah atas di Solo, Wiratmo Soekito pindah ke Jakarta atas ajakan Maladi, kerabatnya yang kelak dua kali menjabat menteri di pemerintahan Presiden Sukarno. Wiratmo Soekito pernah belajar filsafat di Universitas Katolik Nijmegen, Belanda, meskipun tidak sempat selesai.

Pulang ke tanah air, Wiratmo Soekito kemudian bergabung dengan Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1957 sebagai penyiar. Selain itu, ia juga terjun ke kancah jurnalistik nasional. Tulisan-tulisan Wiratmo Soekito dapat ditemukan di berbagai surat kabar seperti Siasat, Indonesia Raya, hingga Star Weekly, cikal-bakal harian Kompas. Wiratmo Soekito juga pernah menempati posisi sebagai redaktur di sejumlah media pada periode 1950 sampai 1960-an, termasuk di Majalah Gadjah Mada (1954-1960), Buku Kita (1955), Indonesia (1958-1960), serta anggota redaksi majalah Kebudayaan Indonesia (1965 dan 1969).

Tahun 1958 hingga 1960, Wiratmo Soekito menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Pada 1968 ia menikah dengan Sri Widoyati, hakim perempuan pertama yang diangkat menjadi Hakim Agung di Indonesia. Wiratmo Soekito juga berprofesi sebagai pengajar dalam kajian sastra dan budaya di beberapa instansi pendidikan. Ia mengajar Apresiasi Drama dan Sastra di Akademi Teater Nasional Indonesia atau ATNI (1960-1962) serta di Departemen Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sejak 1981.

Beberapa karya yang dihasilkan oleh Wiratmo Soekito di antaranya adalah Renungan tentang Sejarah (1960), kumpulan esai Kesusastraan dan Kekuasaan (1984), Manusia Utopia (1993), dan masih banyak lagi.

Manifesto Kebudayaan tercipta berkat proses pemikiran Wiratmo Soekito. Tanggal 17 Agustus 1963 waktu subuh menjelang pagi, ia menuntaskan naskah Manifesto Kebudayaan yang kemudian dirumuskan ulang dan disahkan bersama 12 tokoh lainnya pada 23 Agustus 1963. Naskah Manifesto Kebudayaan ciptaan Wiratmo Soekito kemudian diperbanyak dan disebarkan kepada kalangan budayawan atau seniman untuk dipelajari sebagai landasan ideologi (Moeljanto & Ismail [eds.], 1995. 151). “Latar belakang sosial kelahiran Manifes (Manifesto Kebudayaan) adalah hilangnya kepercayaan bahwa kegiatan seniman dapat diteruskan tanpa perlindungan politik,” tulis Wiratmo Soekito (dalam Damono [ed.], 1989: 19).

Kemunculan Manifesto Kebudayaan disambut dengan kontra oleh kalangan seniman atau budayawan yang tidak sejalan, utamanya dari Lekra dan LKN pendukung Bung Karno yang melantangkan sebutan Manikebu, peyorasi dari sperma kerbau sebagai olok-olok. Para pendukung Manikebu bahkan dicap sebagai “pengkhianat revolusi”. Tanggal 8 Mei 1964, Presiden Sukarno menyatakan Manifesto Kebudayaan sebagai gerakan terlarang. Bung Karno memaparkan alasan dilarangnya Manifesto Kebudayaan sebagai berikut: “Sebab-sebab larangan itu ialah karena Manifesto Politik republik Indonesia sebagai pancaran Pancasila telah menjadi Garis Besar Haluan Negara dan tidak mungkin didampingi dengan manifesto lain, apalagi kalau manifesto itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap Revolusi dan memberi kesan berdiri di sampingnya.” (Anwar, 2006: 306)

Wiratmo Soekito mengakui bahwa semasa muda, ia pernah lekat dengan Marxisme, yakni ketika menjadi anggota Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). “Hampir semua guru saya berpaham Marxisme,” ungkapnya dalam wawancara dengan Majalah TIRAS edisi 1 Juni 1995 (dalam Suryansyah, SastraIndonesia.com, 1 September 2011). Nantinya, Wiratmo Soekito justru menjadi sosok yang berdiri di garis depan kebudayaan nasional untuk mengganyang komunisme, terlebih setelah pemberangusan Manikebu oleh rezim Orde Lama pada 1964. “Wiratmo besar jasanya dalam melawan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1960-an,” kenang Rosihan Anwar (2002: 328).

Kemenangan golongan budayawan/seniman kiri pada 1964 seiring dilarangnya Manikebu langsung berbalik menjadi petaka setelah G30S 1965 yang sekaligus gelagat awal runtuhnya kekuasaan Presiden Sukarno. Rezim Orde Baru pimpinan Soeharto yang tampil sebagai penguasa anyar pun membawa angin segar bagi Wiratmo Soekito dan kawan-kawan. Ia duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR)/Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) periode 1968-1971, salah satu Ketua Liga Pembela Hak-hak Asasi Manusia periode 1969-1972, anggota Kelompok Sosial Budaya Lembaga Ketahanan Nasional periode 1981-1983, selain mengajar di IKJ.

Hari Rabu, tanggal 14 Maret 2001 siang hari, sang pencetus Manifesto Kebudayaan Wiratmo Soekito meninggal dunia di Jakarta dalam usia 72 tahun, setelah menderita stroke.

Penulis: Rhoma Dwi Aria Yuliantri


Referensi

D.S. Moeljanto & Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk., Bandung: Mizan Media Utama, 1995.

Indarti Yuni Astuti, Ensiklopedi Sastrawan Indonesia: Volume 2, Jakarta: Permata Equator Media, 2008.

Rosihan Anwar, In Memoriam: Mengenang yang Wafat, Jakarta: Kompas, 2002.

Rosihan Anwar, Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965, Jakarta: Yayasan Obor, 2006.

Sapardi Djoko Damono (ed.), H.B. Jassin 70 Tahun, Jakarta: Gramedia, 1989.

Suryansyah, “Wiratmo Soekito: Ini Bukan Manifes Kebudayaan II”, dalam SastraIndonesia.com, 1 September 2011, diakses tanggal 30 Oktober 2021 dari http://sastra-indonesia.com/2011/09/wiratmo-soekito-ini-bukan-manifes-kebudayaan-ii/.