Wiranatakusumah V: Difference between revisions
m (Text replacement - "Penulis: Linda Sunarti" to "{{Penulis|Linda Sunarti|Institut Universitas Indonesia|Dr. Restu Gunawan, M.Hum}}") |
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh") |
||
Line 39: | Line 39: | ||
Yahya, IIP.D, ''R.A.A.H.M. Wiranatakusumah V: Kedalaman Yang Belum Terselami'', Bandung: Yayasan Wiranatakusumah , 2011. | Yahya, IIP.D, ''R.A.A.H.M. Wiranatakusumah V: Kedalaman Yang Belum Terselami'', Bandung: Yayasan Wiranatakusumah , 2011. | ||
[[Category:Tokoh]] | {{Comment}} [[Category:Tokoh]] |
Revision as of 16:47, 25 August 2023
Raden Aria Adipati Wiranatakusumah V (1888-1965) adalah sosok istimewa yang berperan besar dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ia dikenal luas sebagai Bupati Bandung dan Presiden Negara Pasundan, putra dari Rd Adipati Kusumahdilaga ini dinilai sebagai 'priyayi nasionalis' dan dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Raden Adipati Aria Muharam Wiranatakusumah. Muharam adalah nama kecilnya. Wiranatakusumah V adalah gelarnya sebagai Bupati Bandung. Ia lahir di Bandung, 8 Agustus 1888. Versi lain menyebutkan 23 November 1888. Wiranatakusumah adalah putra dari pasangan R. Adipati Kusumahdilaga dan R. A. Soekarsih.
Ayahnya adalah Bupati Bandung (1874-1893). Ketika Muharam berusia lima tahun, ayahnya wafat. Ia lalu diasuh dan dididik oleh ibunya hingga usia sembilan tahun. Setelah ayahnya wafat, ditunjuklah tiga orang sebagai walinya, yaitu R. Martanagara (Bupati Bandung), R. Ardinagara (Jaksa Bandung), dan Suriadiningrat (Camat Cilokotot/Cimahi). Kepada ketiganya juga dipasrahkan kewajiban untuk mengurus semua warisan Kusumahdilaga.
Pada usia sembilan tahun, Muharam dititipkan pada keluarga Adams untuk mendapatkan pendidikan ala Barat. Sekolah formal yang sempat diikutinya adalah ELS (1901), sempat melanjutkan ke OSVIA hingga kelas III, kemudian atas anjuran dr. Snouck Hurgronje, pada 1904 ia pindah ke HBS atau Gymnasium Willem III di Batavia dan mendapatkan diploma pada 1910.
Di Batavia, Muharam tinggal di rumah inspektur sekolah Hellwig. Selain belajar di sekolah, setiap hari Minggu, dari jam 09.00-16.00, ia mendapatkan pelajaran tambahan di rumah Hurgronje. Ia belajar bahasa Prancis, Jerman, dan Inggris. Ketika R. Ardinagara wafat, Hurgronje menggantikannya sebagai wali bagi Muharam. Selain Hurgronje, tokoh lain yang ikut membentuk kepribadian Muharam adalah Prof. G.J.A. Hazeu.
Mengenai kehidupannya di dua dunia Timur dan Barat ini, Muharam menuturkan kebimbangannya sebagai seorang bumiputra, yang dipaksa keadaan harus mengenal budaya asing, yaitu Eropa. Ia menjelaskan pertentangan batinnya yang hebat melihat perbedaan dua dunia itu. Ia merasa seperti dipindahkan dari dunia bumiputra ke dunia Eropa. ”Saya rasakan bagaimana sejak kecil hati saya tertarik ke dalam dunia bumiputra, dan saya rasakan pula betapa beberapa hal yang mendesak saya ke dunia Eropa,” katanya waktu itu. Dua dunia itu diakuinya membuatnya gamang dan mengalami pertentangan batin. Sekalipun demikian, ia mengakui bahwa pada akhirnya ia berhasil mendamaikan kedua dunia itu. Pengalaman batin ini boleh disebut sebagai pertemuan budaya Timur dan Barat.
Setelah lulus HBS, Muharam diangkat sebagai juru tulis di Kecamatan Tanjungsari dengan gaji 30 gulden. Lalu dengan keputusan Residen Priangan tertanggal 11 Januari 1911, Nomor 829/8, ia diangkat menjadi mantra polisi di Cibadak Sukabumi. Tak berselang lama ia diangkat sebagai camat di Cibeureum Sukapura (Tasikmalaya). Melihat prestasi kerjanya yang mengesankan, tahun 1912, pada usianya yang ke-24, ia diangkat sebagai Bupati Cianjur. Setelah meraih berbagai prestasi, pada 1920 ia pindah menjadi Bupati Bandung. Setahun berselang, ia terpilih sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) mewakili Sedio Moelio, perhimpunan para bupati. Ia memimpin Bandung selama dua periode, 1920-1931 dan 1935-1945.
Pada 1929, atas inisiatif dan kerja kerasnya ia berhasil menghimpun Pangreh Praja Pribumi untuk berhimpun dalam organisasi PPBB (Perhimpoenan Pegawai Bestuur Boemipoetera). Dalam organisasi inilah pegawai dari tingkatan juru tulis hingga bupati berbaur secara setara memperjuangkan kepentingan para pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Sejak PPBB berdiri Wiranatakusumah menjadi anggota Volksraad mewakili organisasi tersebut. Saat provinsi Jawa Barat dibentuk pada 1926, ia menjadi anggota Dewan Provinsi (Provincialle Raad).
Karena terpilih menjadi anggota Badan Pekerja Volksraad pada tahun 1931-1934, ia tinggal di Batavia dan harus melepaskan jabatannya sebagai bupati yang kemudian dijabat oleh patihnya R. Hasan Sumadipradja. Selesai menjalani tugas di Batavia, ia kembali menjabat Bupati Bandung untuk periode kedua (1935-1942). Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Ia tetap menjabat sebagai bupati Bandung. Baru pada 24 Juni 1945, ia digantikan oleh R. Demang Endaung Suriaputra.
Wiranatakusumah untuk selanjutnya aktif sebagai Penasehat Departemen Dalam Negeri (Naimubu Sanyo) dan administrator pertama. Kemudian beliau diangkat sebagai Kepala Departemen Dalam Negeri sekaligus Kepala Urusan Pendidikan Daerah. Ia juga menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokuritsu Zyunbi Tjoosa Kai) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI/Dokuritsu Zyunbi Iinkai). Dalam Persidangan BPUPKI, Wiranatakusumah menyumbangkan pemikiran penting tentang sistem ketatanegaraan dan penyusunan UUD 1945, hal ini tidak terlepas dari pengalaman panjangnya sebagai anggota Volksraad.
Setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Wiranatakusumah diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet RI pertama. Kedudukan itu hanya dijabatnya sampai pertengahan November seiring terjadinya pergantian kabinet. Namun, dalam waktu yang singkat itu, sebagai Mendagri ia bekerja keras berkeliling seluruh Jawa mengkonsolidasikan para pemimpin daerah untuk mendukung pemerintah RI yang baru berdiri. Safari kerja itu ia lakukan setelah berhasil menyelenggarakan Kongres Pangreh Praja pada 2 September 1945.
Pada 29 November 1945 ia mendapatkan mandat sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung dan Penasehat Menteri Dalam Negeri. Jabatan Ketua DPA diembannya hingga Maret 1945. Seiring dengan pergolakan revolusi kemerdekaan, sebagai konsekuensi diterimanya perjanjian Linggarjati dan Renville, ibukota RI pindah ke Yogyakarta dan terbentuklah negara-negara bagian, diantaranya Negara Pasundan dan sebagai seorang republikan Wiranatakusumah pun ikut hijrah ke Yogyakarta. Sejak awal beliau menolak kehadiran Negara Pasundan dan tidak terlibat dalam Konferensi Jawa Barat yang akan memilih Wali Negara. Namun, atas desakan rakyat Jawa Barat dan persetujuan dari Sukarno dan pimpinan RI lainnya di Yogyakarta, menerima hasil konferensi Jawa Barat III yang memilihnya sebagai Wali Negara Pasundan, setelah dua konferensi sebelumnya mengalami deadlock.
Setelah penyerahan kedaulatan RI dari Belanda pada 27 Desember 1949, Negara Pasundan tercatat sebagai negara bagian pertama yang bergabung kembali dengan Republik Indonesia. Pada 8 Maret 1950, ia ikut membubarkan Negara Pasundan yang dipimpinnya. setelah itu, beliau mulai menarik diri dari panggung politik, tetapi tidak sepenuhnya lepas dari kegiatan politik, Ia masih memimpin PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) Jawa barat dan sempat terpilih sebagai anggota Konstituante melalui pemilu 1955.
Selain dikenal sebagai birokrat yang hebat Wiranatakusumah adalah sosok yang memiliki pengetahuan luas. Sebagai ambtenaar ia disegani atasan dan dicintai bawahan dan rakyatnya. Sebagai seorang Muslim, ia mendalami keilmuan Islam hingga layak disebut sebagai ulama. Karya-karya tulisnya dalam kajian Islam bisa menjelaskan predikat itu. Karyanya antara lain: ”Islam dan Demokrasi”, ”Arti Penting Hari-hari Besar Islam”, ”Tafsir Surat Al-Baqarah”, ”Riwayat Kanjeng Nabi”, ”Mi`raj Kanjeng Nabi”, dan ”Khalwat”.
Nama Wiranatakusumah juga melekat dengan sejarah film Indonesia yang pertama, ”Loetoeng Kasaroeng”, 1926. Selain membantu biaya produksi film bisu tersebut, anaknya pun ada yang ikut bermain. Lima tahun sebelumnya, 1921, ia memprakarsai drama modern Sunda dalam lakon yang sama. ”Tunil Loetoeng Kasaroeng” itu digelar dalam rangka memeriahkan kongres Java Instituut di Bandung. Drama kolosal tersebut ditampilkan dalam panggung raksasa, dibangun di depan pendopo kabupaten. Ditonton ribuan orang, tunil itu dilukiskan sangat memukau. Bahkan sinyo-noni Belanda waktu itu, belum pernah ada yang tampil di panggung terbuka. Pentas terbuka seperti itu baru menjadi tren di Eropa dan Wiranatakusumah berhasil menghadirkannya di Bandung. Karya ini merupakan kolaborasi antara Bupati Bandung, Kartabrata, D.K. Ardiwinata, dan Yudadibrata.
Setelah sakit lebih dari dua tahun, pada 22 Januari 1965 Wiranatakusumah wafat. Pada 12 Agustus 1992 pemerintah RI mengakui jasanya melalui pemberian Bintang Mahaputra Adipradana.
Penulis: Linda Sunarti
Instansi: Institut Universitas Indonesia
Editor: Dr. Restu Gunawan, M.Hum
Referensi
Lubis, Nina. Kehidupan Kaum Menak Priangan (1800-1942). Pusat Informasi Kebudayaan Sunda. 1998.
Yahya, IIP.D, R.A.A.H.M. Wiranatakusumah V: Kedalaman Yang Belum Terselami, Bandung: Yayasan Wiranatakusumah , 2011.