Westerling: Difference between revisions
m (Text replacement - "Penulis: Haryono Rinardi" to "{{Penulis|Haryono Rinardi|Masyarakat Sejarah Indonesia|Dr. Endang Susilowati, M.A}}") |
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh") |
||
Line 47: | Line 47: | ||
<nowiki>https://today.line.me/id/v2/article/Mky2kj</nowiki>. | <nowiki>https://today.line.me/id/v2/article/Mky2kj</nowiki>. | ||
[[Category:Tokoh]] | {{Comment}} [[Category:Tokoh]] |
Revision as of 16:52, 25 August 2023
Kapten Raymond Pierre Westerling adalah tokoh penting terkait kiprahnya dalam kekerasan yang dilakukan pihak Belanda pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan anak kedua dari Paul Westerling (Belanda) dan Sophia Moutzou (Yunani). Westerling lahir pada 31 Agustus 1919 di Beyoglu, Istanbul, Turki (oleh karena itu dijuluki “si Turki”) dan meninggal karena gagal jantung pada 26 November 1987 (https://www.minews.id/kisah/tak-diproses-hukum-westerling-mati-karena-gagal-jantung-di-usia-tuanya).
Westerling pernah bertugas sebagai staf Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana (Kedaulatan Rakyat, 12 Januari 1950). Ia termasuk 48 orang Belanda angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, Skotlandia. Mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia. Setelah bertugas di Eastbourne sejak 31 Mei 1943, bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya pada 15 Desember 1943 Sersan Westerling berangkat ke India untuk bertugas di bawah Laksamana Madya Mountbatten, Panglima South East Asia Command (Komando Asia Tenggara) (https://p2k.unkris.ac.id/id3//3073-2962/Raymond-Westerling_34900_p2k-unkris.html).
Penugasan pertama Westerling di Indonesia adalah ketika diterjunkan bersama dengan satu kompi pasukan parasut mendarat di Bandara Polonia Medan. Ikut diterjunkan pula sebanyak 180 pucuk senjata revolver. Kedatangan Westerling dan pasukannya sudah ditunggu oleh Letnan Brondgeest, perwira pasukan Belanda yang memimpin Unit IV Pasukan Anglo Dutch Country Section (ADCS). Keduanya berkolaborasi mengembalikan kekuasaan Belanda di wilayah Sumatera Timur. Letnan Brondgeest mengurusi administrasi pemerintahan, sedangkan Westerling, yang saat itu pangkatnya adalah Letnan bertugas menyusun pasukan. Ia kemudian menyusun pasukan sebanyak 200 orang yang terdiri dari orang-orang Indo-Belanda, Belanda, maupun sisa-sisa Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Di Medan ia juga bertindak sebagai Kepala Dinas Intelijen Belanda. (https://historia.id/militer/articles/aksi-sadis-westerling-di-medan-DB8MM/page/1 &https://tirto.id/apa-yang-dilakukan-westerling-ketika-ditugaskan-di-medan- ggvw).
Westerling selanjutnya diangkat menjadi komandan pasukan khusus, Depot Speciale Troepen (DST) pada Juli 1946 dan bertanggung jawab langsung kepada Kolonel De Vries (https://today.line.me/id/ v2/article/Mky2kj). Tugas Westerling di Sulawesi Selatan adalah untuk melumpuhkan semangat perjuangan yang sedang berkobar di daerah itu. Selama di Sulawesi Selatan ia melakukan pembantaian massal. Cara yang dilakukannya nyaris selalu sama, yaitu mengepung dan mengunci area operasi, menggiring penduduk ke suatu titik pusat, menggeledah dan mengeksekusi, dan terakhir membumihanguskan kampung-kampung yang dianggap sebagai sarang pendukung Republik. Dalam setiap operasinya terhadap berbagai kota selalu berakhir dengan pembunuhan yang brutal. Kekejamannya itu membuat banyak pihak percaya bahwa Westerling bertanggung jawab atas kematian 40.000 penduduk Sulawesi Selatan selama operasinya bersama DST (Kedaulatan Rakyat, 12 Januari 1950). Terkait dengan angka tersebut, Remy Limpach dalam disertasinya menyebutkan bahwa angka yang rasional dari korban Westerling di Sulawesi Selatan adalah 3.500 orang. Jumlah itu sudah termasuk 500 orang yang berasal dari tindakan milisi pro federal, Barisan Penjaga Kampung (https://historia.id/militer/articles/enam-hal-penting-tentang-westerling-Db2A9/page/2).
Pasukan DST kemudian ditarik pada Februari 1947. Media Belanda, yaitu Het Militair Weekblad menulis judul berita, “Pasukan si Turki Kembali” ketika pasukan itu kembali ke markasnya pada 23 Maret 1947 (https://p2k.itbu.ac.id/ ind/3068-2950/Raymond-Westerling_34900_itbu_raymond-westerling-itbu.html). Selanjutnya pada 5 Januari 1948 pasukan DST diubah namanya menjadi Korps Speciale Troepen (KST). KST ditempatkan di Jawa Barat. Westerling bertugas memimpin 1.500 pasukan KST. Setelah Persetujuan Renville, anggota pasukan KST ditugaskan juga untuk melakukan patroli dan pembersihan, antara lain di Jawa Barat. Namun sama seperti di Sulawesi Selatan, banyak anak buah Westerling melakukan pembunuhan sewenang-wenang terhadap penduduk di Jawa Barat. Hal itu menimbulkan protes di kalangan Koninklijk Leger (KL), yang semuanya terdiri dari pemuda wajib militer dan sukarelawan Belanda. Mayor KL R.F. Schill, komandan pasukan 1-11 RI di Tasikmalaya pada 17 April 1948, membuat laporan kepada atasannya tentang tindak sewenang-wenang pasukan KST pada 13 dan 16 April 1948. Pasukan KST di dua tempat di Tasikmalaya dan Ciamis, telah membantai 10 orang penduduk tanpa alasan yang jelas dan mayatnya dibiarkan tergeletak di tengah jalan (https://p2k.itbu.ac.id/ind/3068-2950/Raymond-Westerling_34900_itbu_raymond -westerling-itbu.html).
Pengaduan ini mengakibatkan dilakukannya penyelidikan terhadap pasukan Westerling. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata banyak kasus pelanggaran HAM yang dilakukan KST. Selain melakukan pembunuhan dengan sewenang-wenang, juga terjadi kemerosotan disiplin dan moral di tubuh pasukan elit itu. Kritik tajam mulai berdatangan dan pers menuding Westerling telah menggunakan metode Gestapo (Geheime Staatspolizei), yang terkenal kekejamannya semasa Hitler. Hal itulah yang membuat para petinggi tentara Belanda menjadi gerah. Kondisi itu yang membuat pimpinan Westerling, Jenderal Spoor memilih untuk menonaktifkan Westerling agar terhindar dari pengusutan lebih lanjut serta kemungkinan adanya tuntutan ke Pengadilan Militer. Pada 16 November 1948 Westerling menyerahkan kepemimpinan pasukan KST kepada penggantinya, yaitu Letkol KNIL W.C.A van Beek. Selanjutnya atas permintaan sendiri Westerling keluar dari Dinas Militer pada 15 Januari 1949 (Kedaulatan Rakyat, 12 Januari 1950).
Setelah mengundurkan diri dari Dinas Militer, Westerling kemudian menikahi pacarnya dan menjadi pengusaha perkebunan di Pacet, Jawa Barat. Di Pacet ia mendirikan organisasi Ratu Adil Persatuan Indonesia (RAPI). Ia memanfaatkan kepercayaan rakyat akan datangnya seorang mesias atau juru selamat. Hal itu cocok dengan dirinya yang dipanggil sebagai “Si-Turki”, karena lahir Turki, negara dengan penduduk mayoritas Islam. Kondisi tersebut dimanfaatkannya untuk mengelabui penduduk (Prijadi, 1965: 2).
Pengikut Westerling dapat dibagi menjadi beberapa kelompok. Pertama, mantan KNIL yang sealiran dengan Jenderal Spoor, yang tidak setuju terhadap pengakuan kedaulatan terhadap Indonesia oleh Belanda. Kedua, mantan laskar rakyat yang dilucuti sehingga memiliki dendam (Kedaulatan Rakyat, 25 Januari 1950). Ketiga, Barisan Sakit hati terhadap Angkatan Perang Republik Indonesia (APRIS). Keempat, mereka yang benar-benar mengharapkan kedatangan Ratu Adil (Kedaulatan Rakyat, 8 Februari 1950). Keempat, bekas gerombolan DI/TII Kartosuwirjo yang berharap akan terbentuk negara Islam dengan ikut Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) bentukan Westerling. Kelima, Anggota KNIL yang terpikat masuk APRA, termasuk juga karena bujukan komandannya (Indonesia Timur, 1 Februari 1950). Keenam, mereka yang diancam untuk masuk APRA (Kedaulatan Rakyat, 7 Februari 1950).
Westerling bersama dengan gerombolan APRA kemudian menyerang Bandung pada 22 Januari 1950. Mereka menyerang pos polisi di Cililin pukul 18.00 (Indonesia Timur, 24 Januari 1950). Dua seksi resimen Stootroepen pada pukul 21.30 memblokir jalan raya Cimahi-Padalarang (Nasution, 1983: 223). Pasukan itu bergerak ke Bandung dan memblokir jalan raya Cimahi-Bandung pada tengah malam (Prijadi, 1965: 3). Mereka menduduki Pos Polisi Cimahi pada pukul 4 pagi pada 23 Januari 1950, kemudian melucuti anggota polisi yang berjaga di pos-pos Cimindi, Cibeureum, dan Pabrik Mekaf. Mereka juga berhasil menguasai gudang senjata dan mesiu. Tiga truk penuh senjata dikirim kepada anggota gerombolan APRA yang telah menunggu di perbatasan Jakarta. Selama di Bandung gerombolan APRA menyebar teror dengan menyerang dan membunuh setiap anggota TNI yang ditemuinya. Mereka menyerang Markas Staf Divisi Siliwangi yang ada di Oude Hospitaalweg. Hampir seluruh anggota regu jaga dan staf tewas dalam penyerangan APRA tersebut. Gerakan APRA akhirnya disergap oleh Batalyon Sujoto di Cianjur, sehingga terornya di Bandung dapat diakhiri.
Petualangan Westerling tidak berakhir pada kegagalan terornya di Bandung. Westerling bekerjasama dengan Sultan Hamid II berencana mengadakan penculikan dan pembunuhan terhadap anggota kabinet RIS yang bersidang di Jakarta. Namun rencana itu gagal, karena sidang kabinet selesai lebih cepat. Serangan di Bandung dan upaya pembunuhan anggota-anggota Kabinet RIS menyebabkan Westerling diburu tentara Indonesia. Westerling bersembunyi di Jakarta dengan cara berpindah-pindah tempat. Atas perintah Kepala Staf Pasukan Belanda Mayor Jenderal van Langen, kemudian disusun rencana evakuasi untuk menyelamatkan Westerling. Penyelamatan Westerling itu melibatkan Dinas Intelijen Belanda dan beberapa perwira tinggi dan menengah Belanda di Indonesia, serta seluruh jajaran tertinggi Belanda, baik sipil maupun militer yang ada di Jakarta, kecuali Komisaris Tinggi Belanda, Hirschfeld. Melalui konspirasi itu, Westerling dengan seragam KNIL dan paspor palsu kemudian dijemput Mayor van der Veen untuk dibawa ke Tanjung Priok. Selanjutnya dengan pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda, Westerling dibawa ke Singapura (https://p2k.itbu.ac.id/ind/3068-2950/Raymond-Westerling_34900_itbu_ raymond -westerling-itbu.html). Pada 21 April 1950, ia diterbangkan ke Belanda sebagai orang bebas menggunakan pesawat Australia, Qantas. (https://p2k.unkris.ac.id/id3/3073-2962/Raymond-Westerling_34900_p2k-unkris. html).
Penulis: Haryono Rinardi
Instansi: Masyarakat Sejarah Indonesia
Editor: Dr. Endang Susilowati, M.A
Referensi
Nasution, A.H. 1983. Memenuhi Panggilan Tugas III. Jakarta: Gunung Agung.
Prijadi, Daska. 1965. Gerakan Operasi Militer II. Bandung: Pusat Sejarah Angkatan Darat.
Indonesia Timur, 24 Januari 1950.
Indonesia Timur, 1 Februari 1950.
Kedaulatan Rakyat, 12, 25 Januari 1950.
Kedaulatan Rakyat, 6, 7, 8 Februari 1950.
https://historia.id/militer/articles/aksi-sadis-westerling-di-medan-DB8MM/page/1.
https://historia.id/militer/articles/enam-hal-penting-tentang-westerling-Db2A9/ page/2.
https://p2k.itbu.ac.id/ind/3068-2950/Raymond-Westerling_34900_itbu_raymond-westerling-itbu.html.
https://p2k.unkris.ac.id/id3//3073-2962/Raymond-Westerling_34900_p2k-unkris.html.
https://tirto.id/apa-yang-dilakukan-westerling-ketika-ditugaskan-di-medan-ggvw.
https://today.line.me/id/v2/article/Mky2kj.