Friedrich Silaban: Difference between revisions
m (Text replacement - "Penulis: Siti Utami" to "{{Penulis|Siti Utami|Universitas Tebuka|Dr. Sri Margana, M.Hum.}}") |
No edit summary |
||
Line 1: | Line 1: | ||
Friedrich Silaban adalah arsitek terkemuka di Indonesia. Ia lahir pada 16 Desember 1912 di desa Bonandolok, Tapanuli, Sumatra Utara. Ibunya bernama Noria boru Simamora dan ayahnya bernama Sintua Jonas Silaban. Ia berkesempatan untuk mengenyam pendidikan di [[Hollandsch Inlandsche School (HIS) | [[File:Friedrich Silaban - L7196.jpg|center|thumb|Friedrich Silaban. Sumber: [https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=448417 Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L.7196]]] | ||
Friedrich Silaban adalah arsitek terkemuka di Indonesia. Ia lahir pada 16 Desember 1912 di desa Bonandolok, Tapanuli, Sumatra Utara. Ibunya bernama Noria boru Simamora dan ayahnya bernama Sintua Jonas Silaban. Ia berkesempatan untuk mengenyam pendidikan di [[Hollandsch Inlandsche School (HIS)|HIS]] di Narumonda, Tapanuli, Sumatra Utara. Pada 1927, ia mengikuti tes ''Koningin Wilhelmina School'' (Sekolah Teknik Menengah di Hindia Belanda). Setelah lulus, ia pun kemudian berangkat ke Batavia untuk melanjutkan pendidikannya tersebut. Pada 1931 Silaban lulus dari KWS (Wiryomartono, Bagoes, 2020: 149-150). | |||
Karir Friedrich Silaban sebagai arsitek dimulai saat menjelang lulus sekolah. Ia bekerja paruh waktu untuk juru gambar BOW bernama J.H. Antonisse. Di sana lah kemampuannya sebagai arsitek semakin terlatih. Ia juga ikut dalam pameran di Pasar Gambir. Memiliki kemampuan yang baik, pada 1931-1939 Friedrich Silaban bekerja untuk Zeni Angkatan Darat Belanda. Ia kemudian pindah menjadi drafter di Kotapraja Bogor pada 1939-1942. Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja dalam Dinas Pekerjaan Umum di Bogor hingga 1947. Ia juga ditetapkan sebagai Direktur Pekerjaan Umum hingga 1949. Setelah itu, Silaban tetap berkarir dalam pemerintahan hingga pensiun, di Dinas Pekerjaan Umum Kotapraja Bogor (Sopandi, 2017: 91). | Karir Friedrich Silaban sebagai arsitek dimulai saat menjelang lulus sekolah. Ia bekerja paruh waktu untuk juru gambar BOW bernama J.H. Antonisse. Di sana lah kemampuannya sebagai arsitek semakin terlatih. Ia juga ikut dalam pameran di Pasar Gambir. Memiliki kemampuan yang baik, pada 1931-1939 Friedrich Silaban bekerja untuk Zeni Angkatan Darat Belanda. Ia kemudian pindah menjadi drafter di Kotapraja Bogor pada 1939-1942. Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja dalam Dinas Pekerjaan Umum di Bogor hingga 1947. Ia juga ditetapkan sebagai Direktur Pekerjaan Umum hingga 1949. Setelah itu, Silaban tetap berkarir dalam pemerintahan hingga pensiun, di Dinas Pekerjaan Umum Kotapraja Bogor (Sopandi, 2017: 91). | ||
Selain menjadi pegawai pemerintahan, Silaban juga kerap terlibat proyek pembangunan swasta dan mengikuti kompetisi. Pada masa pemerintahan [[Sukarno|Presiden Sukarno]], ia banyak terlibat dalam proyek “''National Building''”, dua yang terpenting adalah Masjid Istiqlal dan [[Monumen Nasional]]. Saat itu Sukarno ingin menciptakan bangunan-bangunan yang sarat akan nilai-nilai nasionalisme (Vu dan Wongsurawat [eds.], 2009: 53-55). Kompetisi Masjid Istiqlal diadakan pada 1955 oleh Yayasan Masjid Istiqlal. Yayasan tersebut dibentuk oleh Presiden Sukarno pada 1954. Memenangkan kompetisi tersebut, Silaban menyelipkan simbol nasionalisme di dalamnya, yaitu kubah berdiameter 45 meter melambangkan [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia]] (Naas, Peter, dan De Vletter (eds.), 2009: 73). Pada tahun yang sama, Silaban juga mengikuti kompetisi mendesain [[Monumen Nasional]]. Sebanyak 51 desain masuk ke komisi spesial untuk diseleksi oleh tim juri yang diketuai oleh Sukarno. Dari proses seleksi tersebut, terpilih tiga desain, yaitu milik Friedrich Silaban, Nur Alamsjah, dan Kwee Hin Goan. Dari tiga orang tersebut tidak ada yang terpilih menjadi juara 1\pertama karena desain belum sesuai dengan keinginan [[Sukarno|Presiden Sukarno]]. Presiden Sukarno kemudian meminta R.M. Soedarsono untuk melanjutkan desain milik juara kedua, yaitu Friedrich Silaban (Vu, 2009: 61). | Selain menjadi pegawai pemerintahan, Silaban juga kerap terlibat proyek pembangunan swasta dan mengikuti kompetisi. Pada masa pemerintahan [[Sukarno|Presiden Sukarno]], ia banyak terlibat dalam proyek “''National Building''”, dua yang terpenting adalah Masjid Istiqlal dan [[Monumen Nasional]]. Saat itu Sukarno ingin menciptakan bangunan-bangunan yang sarat akan nilai-nilai nasionalisme (Vu dan Wongsurawat [eds.], 2009: 53-55). Kompetisi Masjid Istiqlal diadakan pada 1955 oleh Yayasan Masjid Istiqlal. Yayasan tersebut dibentuk oleh Presiden Sukarno pada 1954. Memenangkan kompetisi tersebut, Silaban menyelipkan simbol nasionalisme di dalamnya, yaitu kubah berdiameter 45 meter melambangkan [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia]] (Naas, Peter, dan De Vletter (eds.), 2009: 73). Pada tahun yang sama, Silaban juga mengikuti kompetisi mendesain [[Monumen Nasional]]. Sebanyak 51 desain masuk ke komisi spesial untuk diseleksi oleh tim juri yang diketuai oleh Sukarno. Dari proses seleksi tersebut, terpilih tiga desain, yaitu milik Friedrich Silaban, Nur Alamsjah, dan Kwee Hin Goan. Dari tiga orang tersebut tidak ada yang terpilih menjadi juara 1\pertama karena desain belum sesuai dengan keinginan [[Sukarno|Presiden Sukarno]]. Presiden Sukarno kemudian meminta R.M. Soedarsono untuk melanjutkan desain milik juara kedua, yaitu Friedrich Silaban (Vu, 2009: 61).[[File:Friedrich Silaban di ruang gambarnya.png|frame|Friedrich Silaban di ruang gambarnya. Sumber: Maan, 2015: 29.]]Karya arsitektur Friedrich Silaban lainnya yang dimenangkan dari kompetisi antara 1949 hingga 1970 antara lain Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor (1949), Kantor Pusat Bank Indonesia, Jakarta (1954), Gerbang Taman Makam Pahlawan di Kalibata, Jakarta (1954), Kantor Pusat BNI 46, Jakarta (1959), Gedung Pola, Jakarta (1961), dan Monumen Pembebasan Irian Barat (1963) (Wiryomartono, Bagoes, 2020: 157). | ||
Karya arsitektur Friedrich Silaban lainnya yang dimenangkan dari kompetisi antara 1949 hingga 1970 antara lain Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor (1949), Kantor Pusat Bank Indonesia, Jakarta (1954), Gerbang Taman Makam Pahlawan di Kalibata, Jakarta (1954), Kantor Pusat BNI 46, Jakarta (1959), Gedung Pola, Jakarta (1961), dan Monumen Pembebasan Irian Barat (1963) (Wiryomartono, Bagoes, 2020: 157). | |||
Dalam hidupnya, Silaban menikah dengan Letty Keivits saat berada di kamp tawanan Jepang pada 18 Oktober 1946. Mereka dikaruniai dua orang anak dan memilih untuk menetap di Bogor. Setelah pensiun dari Departemen Pekerjaan Umum, Silaban mengalami kesulitan ekonomi. Upah pensiunannya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, sementara pekerjaan baru pun sulit didapatkan. karena kedekatannya dengan Sukarno. Friedrich Silaban wafat pada 14 Mei 1984 (Sopandi, 2017: 91; mAAN, 2015: 32). | Dalam hidupnya, Silaban menikah dengan Letty Keivits saat berada di kamp tawanan Jepang pada 18 Oktober 1946. Mereka dikaruniai dua orang anak dan memilih untuk menetap di Bogor. Setelah pensiun dari Departemen Pekerjaan Umum, Silaban mengalami kesulitan ekonomi. Upah pensiunannya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, sementara pekerjaan baru pun sulit didapatkan. karena kedekatannya dengan Sukarno. Friedrich Silaban wafat pada 14 Mei 1984 (Sopandi, 2017: 91; mAAN, 2015: 32). |
Latest revision as of 12:07, 12 September 2024
Friedrich Silaban adalah arsitek terkemuka di Indonesia. Ia lahir pada 16 Desember 1912 di desa Bonandolok, Tapanuli, Sumatra Utara. Ibunya bernama Noria boru Simamora dan ayahnya bernama Sintua Jonas Silaban. Ia berkesempatan untuk mengenyam pendidikan di HIS di Narumonda, Tapanuli, Sumatra Utara. Pada 1927, ia mengikuti tes Koningin Wilhelmina School (Sekolah Teknik Menengah di Hindia Belanda). Setelah lulus, ia pun kemudian berangkat ke Batavia untuk melanjutkan pendidikannya tersebut. Pada 1931 Silaban lulus dari KWS (Wiryomartono, Bagoes, 2020: 149-150).
Karir Friedrich Silaban sebagai arsitek dimulai saat menjelang lulus sekolah. Ia bekerja paruh waktu untuk juru gambar BOW bernama J.H. Antonisse. Di sana lah kemampuannya sebagai arsitek semakin terlatih. Ia juga ikut dalam pameran di Pasar Gambir. Memiliki kemampuan yang baik, pada 1931-1939 Friedrich Silaban bekerja untuk Zeni Angkatan Darat Belanda. Ia kemudian pindah menjadi drafter di Kotapraja Bogor pada 1939-1942. Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja dalam Dinas Pekerjaan Umum di Bogor hingga 1947. Ia juga ditetapkan sebagai Direktur Pekerjaan Umum hingga 1949. Setelah itu, Silaban tetap berkarir dalam pemerintahan hingga pensiun, di Dinas Pekerjaan Umum Kotapraja Bogor (Sopandi, 2017: 91).
Selain menjadi pegawai pemerintahan, Silaban juga kerap terlibat proyek pembangunan swasta dan mengikuti kompetisi. Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, ia banyak terlibat dalam proyek “National Building”, dua yang terpenting adalah Masjid Istiqlal dan Monumen Nasional. Saat itu Sukarno ingin menciptakan bangunan-bangunan yang sarat akan nilai-nilai nasionalisme (Vu dan Wongsurawat [eds.], 2009: 53-55). Kompetisi Masjid Istiqlal diadakan pada 1955 oleh Yayasan Masjid Istiqlal. Yayasan tersebut dibentuk oleh Presiden Sukarno pada 1954. Memenangkan kompetisi tersebut, Silaban menyelipkan simbol nasionalisme di dalamnya, yaitu kubah berdiameter 45 meter melambangkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (Naas, Peter, dan De Vletter (eds.), 2009: 73). Pada tahun yang sama, Silaban juga mengikuti kompetisi mendesain Monumen Nasional. Sebanyak 51 desain masuk ke komisi spesial untuk diseleksi oleh tim juri yang diketuai oleh Sukarno. Dari proses seleksi tersebut, terpilih tiga desain, yaitu milik Friedrich Silaban, Nur Alamsjah, dan Kwee Hin Goan. Dari tiga orang tersebut tidak ada yang terpilih menjadi juara 1\pertama karena desain belum sesuai dengan keinginan Presiden Sukarno. Presiden Sukarno kemudian meminta R.M. Soedarsono untuk melanjutkan desain milik juara kedua, yaitu Friedrich Silaban (Vu, 2009: 61).
Karya arsitektur Friedrich Silaban lainnya yang dimenangkan dari kompetisi antara 1949 hingga 1970 antara lain Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor (1949), Kantor Pusat Bank Indonesia, Jakarta (1954), Gerbang Taman Makam Pahlawan di Kalibata, Jakarta (1954), Kantor Pusat BNI 46, Jakarta (1959), Gedung Pola, Jakarta (1961), dan Monumen Pembebasan Irian Barat (1963) (Wiryomartono, Bagoes, 2020: 157).
Dalam hidupnya, Silaban menikah dengan Letty Keivits saat berada di kamp tawanan Jepang pada 18 Oktober 1946. Mereka dikaruniai dua orang anak dan memilih untuk menetap di Bogor. Setelah pensiun dari Departemen Pekerjaan Umum, Silaban mengalami kesulitan ekonomi. Upah pensiunannya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, sementara pekerjaan baru pun sulit didapatkan. karena kedekatannya dengan Sukarno. Friedrich Silaban wafat pada 14 Mei 1984 (Sopandi, 2017: 91; mAAN, 2015: 32).
Penulis: Siti Utami
Instansi: Universitas Tebuka
Editor: Dr. Sri Margana, M.Hum.
Dewi Ningrum
Referensi
mAAN. (2015). Rumah Silaban. mAAN Indonesia Publishing.
Naas, Peter J.M., dan Martien de Vletter (eds.) (2009). Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Setiadi Sopandi (2017). Friedrich Silaban. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tuong Vu dan Wasana Wongsurawat (eds) (2009). Dynamics of the Cold War in Asia: Ideology, Identity, and Culture. United Kingdom: Palgrave Macmillan.
Wiryomartono, Bagoes. (2020). Traditions and Transformations of Habitation in Indonesia: Power, Architecture, and Urbanism. Germany: Springer Singapore.