Asrama Indonesia Merdeka: Difference between revisions

From Ensiklopedia
No edit summary
No edit summary
Line 1: Line 1:
Kemenangan Jepang merebut wilayah dan kekuasaan Hindia Belanda memunculkan harapan baru perubahan dan kemerdekaan. Pemerintahan militer Jepang sejak awal berupaya meyakinkan pada rakyat dan elite nasional melalui propaganda yang memposisikan Jepang sebagai pemimpin, pelindung, dan cahaya Asia (Propaganda Gerakan 3A). Namun, gema propaganda ini surut seiring dengan orientasinya lebih tertuju pada dukungan ke Jepang bukan pada nasionalisme Indonesia (Kahin 1995: 130 - 132). Lembaga Sendenbu (Departemen Propaganda) yang dibentuk sejak Agustus 1942 mensponsori berbagai lembaga sipil untuk memobilisasi rakyat.  
Asrama Indonesia Merdeka terletak di Jalan Kebon Sirih Nomor 8, Jakarta Pusat. Pembangunan gedung asrama ini diperuntukkan bagi kaderisasi para calon pemimpin Indonesia merdeka pada masa menjelang proklamasi kemerdekaan (Isnaeni 2021). Asrama Indonesia Merdeka adalah satu dari empat asrama besar yang menjadi pusat pergerakan golongan pemuda masa proklamasi kemerdekaan, bersama dengan Asrama Angkatan Baru Indonesia di Jalan Menteng Nomor 31, Asrama Mahasiswa Kedokteran di Jalan Prapatan Nomor 10 (sekarang Jalan Prajurit KKO Usman-Harun), dan Asrama Pemuda Baperpi di Jalan Cikini Raya Nomor 71 (Isnaeni 2015; Hanafi 1996).  


Maka, organisasi-organisasi mobilisasi massa dibentuk Pemerintah militer Jepang, seperti pusat tenaga rakyat (Poetera), Jawa Hokokai, Heiho, Pembela Tanah Air (Peta), dan Angkatan Muda. Namun, lembaga-lembaga ini justru dimanfaatkan kelompok nasionalis secara sembunyi-sembunyi untuk menguatkan pergerakan kebangsaan Indonesia (Kahin 1995: 133-142). Perlawanan dan pergerakan kebangsaan sedikit melunakkan Jepang yang dibuktikan dari penyampaian janji kemerdekaan Indonesia pada suatu waktu. Janji ini diumumkan pada 7 September 1944 oleh Kuniaki Koiso, perdana menteri Jepang, sehingga disebut Janji Koiso. Keputusan politik ini disampaikan pada sidang istimewa Teikoku Ginkai ke-85 di Tokyo (Asia Raya, 8 September 1944). Sebelum pengumuman ini, kelompok nasionalis kecewa tidak diperlakukan sama dengan Birma dan Filipina yang sejak awal 1943 dijanjikan kemerdekaan (Oktorino 2013: 133).
Asrama ini didirikan Laksamana Tadashi Maeda, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Angkatan Laut Jepang (Kaigun Bukanfu), sebagai sekolah politik bagi pemuda Indonesia. Rencana pendirian asrama oleh Maeda didasari pada deklarasi Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso pada 7 September 1944 terkait janji kemerdekaan bagi Indonesia. Rencana tersebut disampaikan kepada Ahmad Subarjo, Ketua Biro Riset Angkatan Laut, melalui Shigetama Nishijima. Subarjo segera menghimpun tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan ke dalam asrama ini dan secara resmi memberinya nama “Asrama Indonesia Merdeka”, berdasarkan nama majalah milik organisasi Perkumpulan Indonesia, yaitu Indonesia Merdeka (Kompas, 14 Agustus 1969).


Janji kemerdekaan yang dinyatakan tahun 1944 dilanjutkan dengan langkah awal pembentukan kader-kader Indonesia merdeka melalui pembentukan sekolah di Jakarta, disebut Asrama Indonesia Merdeka, yang mendidik pemuda-pemuda berusia 18-20 tahun. Sekolah ini didirikan Kaigun Bukanfu (Kantor Penghubung Angkatan Laut) di bawah pimpinan Laksamana Muda Tadashi Maeda pada Oktober 1944 di Jalan Kebon Sirih Nomor 80 Jakarta. Nama sekolah yang terkesan kontra dengan Jepang ini diajukan oleh Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.  
Pendirian asrama ini sesungguhnya tidak disukai dan ditentang oleh Angkatan Darat Jepang (Rikugun), tetapi Maeda berhasil mempertahankan dan menjamin para tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia yang bergabung di asrama tersebut, bersama dengan Nishijima dan Yoshizumi Tomegoro, dari pengawasan Polisi Militer Jepang (Kempetai) (Kahin 2013; Poeze 2009). Subarjo berperan dalam memilih pengajar dan peserta kursus. Gelombang pertama penerimaan peserta kursus berlangsung pada April 1945 dengan tiga puluh peserta, dilanjutkan dengan gelombang kedua pada Mei 1945 yang menerima delapan puluh peserta, sedangkan gelombang ketiga penerimaan tidak dapat tercapai karena kekalahan Jepang dari Pasukan Sekutu di Perang Dunia II (Oktorino 2013). Subarjo merekrut Sukarno untuk mengajar di bidang politik, Muhammad Hatta di bidang ekonomi, Sutan Syahrir di bidang sosialisme dan sejarah Asia, R.P. Singgih di bidang kebudayaan, Sanusi Pane di bidang sejarah Indonesia, Suwandi di bidang sejarah pergerakan nasional, Iwa Kusumasumantri di bidang hukum pidana, Muhammad Said di bidang pendidikan dan budaya, serta Subarjo sendiri mengajar di bidang hukum internasional (Isnaeni 2021; Kahin, 2013).


Nama Asrama Indonesia Merdeka disepakati atas dukungan Tomegoro Yoshizumi dan Shigetada Nishijima, dibandingkan nama Y Sei Juku usulan Tadashi Maeda pada suatu perundingan yang juga dihadiri oleh Sato Nobuhide. Penolakan ini didasarkan atas ketidakpopuleran istilah bahasa asing dan realitas kebencian orang Indonesia kepada Jepang. Achmad Soebardjo dipilih untuk mengelola sekolah ini setelah orang Jepang yang hadir tidak bersedia (Wanhar 2014). Kedekatan Achmad Soebardjo dengan Tadashi Maeda dilatarbelakangi oleh jabatannya di departemen penelitian di Kaigun Bukanfu.
Hingga akhir keberadaannya di Juli 1945, Asrama Indonesia Merdeka telah berhasil meluluskan ratusan pemuda melalui program kursus dwibulanan. Sejak Mei 1945 Subarjo telah merekrut para lulusan tersebut untuk bergabung ke gerakan anti-Pemerintah Jepang, sehingga asrama ini menjadi bagian penting dari proses penyelenggaraan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945 dengan peran mempersiapkan pemuda Indonesia untuk berkontribusi di berbagai bidang penting bagi pembangunan bangsa dan negara.


Tadashi Maeda, atas bantuan orang kepercayanya, menghubungi pemimpin nasionalis terkemuka untuk mengajar tentang nasionalisme, ekonomi, politik, sosiologi, dan marxisme (Kahin 1995: 146). Tema pengajaran ini mirip dengan Angkatan Baroe Indonesia (Asrama Menteng 31) yang dibentuk Sendenbu (Departemen Propaganda) untuk mengkader pemuda-pemuda demi kepentingan kekaisaran Jepang. Akan tetapi, materi yang diajarkan oleh tokoh nasionalis bertentangan dengan harapan Jepang, sehingga asrama ini dibubarkan pada April 1943 (Oktorino 2013: 271).
Penulis: Linda Sunarti


Meskipun Asrama Indonesia Merdeka bukan kelanjutan Asrama Menteng 31, para pengajar yang terpilih terdiri atas para tokoh nasionalis, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, Sutan Sjahrir, Iwa Kusuma Sumantri, Sudiro, dan tokoh lain. Lembaga ini dikelola oleh Wikana, seorang tokoh muda yang semula kurang dikenal, kemudian dipercaya dan memiliki koneksi dengan salah satu elite Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Penunjukan Wikana menjadi sesuatu yang aneh sebab Jepang menghambat berkembangnya komunisme, sementara dia sebagai anggota atau berafiliasi dengan PKI-ilegal (Kasenda 2014: 160). Mengajar di sini membuka kesempatan bagi tokoh nasionalis untuk menularkan dan mempengaruhi peserta (mahasiswa) terkait ide-ide kemerdekaan Indonesia. Sekolah ini menyelenggarakan pengajarannya selama dua bulanan sehingga telah meluluskan ratusan tamatan hingga bulan Juli 1945, yang diserap pada kancah pergerakan (Kahin 1995: 147).
Penulis: Samidi M. Baskoro
<nowiki>**</nowiki>


'''Referensi'''
'''Referensi'''


Asia Raya, 8 September 1944
Hanafi, A.M. (1996). Menteng 31: Markas Pemuda Revolusioner Angkatan 45, Membangun Jembatan Dua Angkatan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
 
Anderson, Benedict (2018). Revoloesi Pemoeda : Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 - 1946. Serpong : Marjin Kiri


Kahin, George McTurnan (1995). Nasionalisme dan Revolusi Di Indonesia. Surakarta: Sebelas Maret University bekerjasa dengan Pustaka Sinar Harapan.
Isnaeni, Hendri (2015). Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran, dan Keterlibatan Jepang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.


Kasenda, Peter (2014). Sukarno, Marxisme, dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu
Isnaeni, Hendri (2021). “Maeda dan Asrama Indonesia Merdeka”, Historia, 7 Maret 2021. <nowiki>https://historia.id/politik/articles/maeda-dan-asrama-indonesia-merdeka-v29jZ/page/1</nowiki>.


Oktorino, Nino (2013). Konflik Bersejarah - Dalam Cengkeraman Dai Nippon. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Kahin, George M. (2013). Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (terj.). Depok: Komunitas Bambu.


<nowiki>-------------------</nowiki> (2016). Di Bawah Matahari Terbit: Sejarah Pendudukan Jepang di Indonesia 1941- 45. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Oktorino, Nino (2013). Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo.


Wanhar, Wenri (2014). Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Poeze, Harry A. (2009). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (terj.). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia & KITLV Jakarta.
[[Category:Tempat]]
[[Category:Tempat]]

Revision as of 10:43, 24 May 2023

Asrama Indonesia Merdeka terletak di Jalan Kebon Sirih Nomor 8, Jakarta Pusat. Pembangunan gedung asrama ini diperuntukkan bagi kaderisasi para calon pemimpin Indonesia merdeka pada masa menjelang proklamasi kemerdekaan (Isnaeni 2021). Asrama Indonesia Merdeka adalah satu dari empat asrama besar yang menjadi pusat pergerakan golongan pemuda masa proklamasi kemerdekaan, bersama dengan Asrama Angkatan Baru Indonesia di Jalan Menteng Nomor 31, Asrama Mahasiswa Kedokteran di Jalan Prapatan Nomor 10 (sekarang Jalan Prajurit KKO Usman-Harun), dan Asrama Pemuda Baperpi di Jalan Cikini Raya Nomor 71 (Isnaeni 2015; Hanafi 1996).

Asrama ini didirikan Laksamana Tadashi Maeda, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Angkatan Laut Jepang (Kaigun Bukanfu), sebagai sekolah politik bagi pemuda Indonesia. Rencana pendirian asrama oleh Maeda didasari pada deklarasi Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso pada 7 September 1944 terkait janji kemerdekaan bagi Indonesia. Rencana tersebut disampaikan kepada Ahmad Subarjo, Ketua Biro Riset Angkatan Laut, melalui Shigetama Nishijima. Subarjo segera menghimpun tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan ke dalam asrama ini dan secara resmi memberinya nama “Asrama Indonesia Merdeka”, berdasarkan nama majalah milik organisasi Perkumpulan Indonesia, yaitu Indonesia Merdeka (Kompas, 14 Agustus 1969).

Pendirian asrama ini sesungguhnya tidak disukai dan ditentang oleh Angkatan Darat Jepang (Rikugun), tetapi Maeda berhasil mempertahankan dan menjamin para tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia yang bergabung di asrama tersebut, bersama dengan Nishijima dan Yoshizumi Tomegoro, dari pengawasan Polisi Militer Jepang (Kempetai) (Kahin 2013; Poeze 2009). Subarjo berperan dalam memilih pengajar dan peserta kursus. Gelombang pertama penerimaan peserta kursus berlangsung pada April 1945 dengan tiga puluh peserta, dilanjutkan dengan gelombang kedua pada Mei 1945 yang menerima delapan puluh peserta, sedangkan gelombang ketiga penerimaan tidak dapat tercapai karena kekalahan Jepang dari Pasukan Sekutu di Perang Dunia II (Oktorino 2013). Subarjo merekrut Sukarno untuk mengajar di bidang politik, Muhammad Hatta di bidang ekonomi, Sutan Syahrir di bidang sosialisme dan sejarah Asia, R.P. Singgih di bidang kebudayaan, Sanusi Pane di bidang sejarah Indonesia, Suwandi di bidang sejarah pergerakan nasional, Iwa Kusumasumantri di bidang hukum pidana, Muhammad Said di bidang pendidikan dan budaya, serta Subarjo sendiri mengajar di bidang hukum internasional (Isnaeni 2021; Kahin, 2013).

Hingga akhir keberadaannya di Juli 1945, Asrama Indonesia Merdeka telah berhasil meluluskan ratusan pemuda melalui program kursus dwibulanan. Sejak Mei 1945 Subarjo telah merekrut para lulusan tersebut untuk bergabung ke gerakan anti-Pemerintah Jepang, sehingga asrama ini menjadi bagian penting dari proses penyelenggaraan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1945 dengan peran mempersiapkan pemuda Indonesia untuk berkontribusi di berbagai bidang penting bagi pembangunan bangsa dan negara.

Penulis: Linda Sunarti


Referensi

Hanafi, A.M. (1996). Menteng 31: Markas Pemuda Revolusioner Angkatan 45, Membangun Jembatan Dua Angkatan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Isnaeni, Hendri (2015). Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran, dan Keterlibatan Jepang. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Isnaeni, Hendri (2021). “Maeda dan Asrama Indonesia Merdeka”, Historia, 7 Maret 2021. https://historia.id/politik/articles/maeda-dan-asrama-indonesia-merdeka-v29jZ/page/1.

Kahin, George M. (2013). Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (terj.). Depok: Komunitas Bambu.

Oktorino, Nino (2013). Ensiklopedi Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Poeze, Harry A. (2009). Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia (terj.). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia & KITLV Jakarta.