Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo: Difference between revisions

From Ensiklopedia
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
No edit summary
 
Line 1: Line 1:
[[File:Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.jpg|center|frame|Sumber: <nowiki>https://p2k.unhamzah.ac.id/id1/1-3073-2970/Kartosoewirjo_43012_p2k-unhamzah.html</nowiki>]]
[[File:Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo - L1091.jpg|center|thumb|Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sumber: [https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=606469 Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L1091]]]
 
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (selanjutnya disebut Kartosoewirjo) adalah pemimpin pergerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Republik Indonesia setelah periode kemerdekaan. Ia lahir pada 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keluarganya berasal dari golongan priayi rendahan yang masuk dalam aristokrasi kolonial Belanda (Formichi 2012: 1). Ayahnya adalah pegawai atau mantri candu. Kartosoewirjo tumbuh dan besar pada saat pemerintah kolonial menerapkan politik etis di Indonesia, kebijakan yang memberi kesempatan kepada Kartosoewirjo untuk mendapat pendidikan Barat sekuler yang diperkenalkan Belanda. Pendidikan Kartosoewirjo bermula dari Sekolah Kelas Dua Pribumi ''(Inlandsche School der  Tweede Klasse).'' Dia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Eropa ''(European Lagere School)'' di Bojonegoro. Kartosoewirjo bertemu dengan tokoh Muhammadiyah Notodiharjo yang memberikan pengaruh Islam modern dalam pikiran dan pandangannya (Mantolas 2016). Selepas pendidikan dasar dan menengah, Kartosoewirjo muda melanjutkan pendidikan ke ''Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS)'' di Surabaya. Di sekolah ini ia menemukan bacaan dan khasanah mengenai dunia pergerakan (Al-Chaidar 1999: 24-25). Pergumulan Kartosoewirjo dengan politik pergerakan didukung dengan bacaannya mengenai gerakan sosialis dan komunis. Pemikiran ini didapatkan Kartosoewirjo dari pamannya yang juga tokoh pergerakan politik pada saat itu, yaitu Marco Kartodikromo (Metanasi 2018).  
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (selanjutnya disebut Kartosoewirjo) adalah pemimpin pergerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Republik Indonesia setelah periode kemerdekaan. Ia lahir pada 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keluarganya berasal dari golongan priayi rendahan yang masuk dalam aristokrasi kolonial Belanda (Formichi 2012: 1). Ayahnya adalah pegawai atau mantri candu. Kartosoewirjo tumbuh dan besar pada saat pemerintah kolonial menerapkan politik etis di Indonesia, kebijakan yang memberi kesempatan kepada Kartosoewirjo untuk mendapat pendidikan Barat sekuler yang diperkenalkan Belanda. Pendidikan Kartosoewirjo bermula dari Sekolah Kelas Dua Pribumi ''(Inlandsche School der  Tweede Klasse).'' Dia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Eropa ''(European Lagere School)'' di Bojonegoro. Kartosoewirjo bertemu dengan tokoh Muhammadiyah Notodiharjo yang memberikan pengaruh Islam modern dalam pikiran dan pandangannya (Mantolas 2016). Selepas pendidikan dasar dan menengah, Kartosoewirjo muda melanjutkan pendidikan ke ''Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS)'' di Surabaya. Di sekolah ini ia menemukan bacaan dan khasanah mengenai dunia pergerakan (Al-Chaidar 1999: 24-25). Pergumulan Kartosoewirjo dengan politik pergerakan didukung dengan bacaannya mengenai gerakan sosialis dan komunis. Pemikiran ini didapatkan Kartosoewirjo dari pamannya yang juga tokoh pergerakan politik pada saat itu, yaitu Marco Kartodikromo (Metanasi 2018).  



Latest revision as of 23:08, 12 September 2024

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L1091

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (selanjutnya disebut Kartosoewirjo) adalah pemimpin pergerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Republik Indonesia setelah periode kemerdekaan. Ia lahir pada 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keluarganya berasal dari golongan priayi rendahan yang masuk dalam aristokrasi kolonial Belanda (Formichi 2012: 1). Ayahnya adalah pegawai atau mantri candu. Kartosoewirjo tumbuh dan besar pada saat pemerintah kolonial menerapkan politik etis di Indonesia, kebijakan yang memberi kesempatan kepada Kartosoewirjo untuk mendapat pendidikan Barat sekuler yang diperkenalkan Belanda. Pendidikan Kartosoewirjo bermula dari Sekolah Kelas Dua Pribumi (Inlandsche School der  Tweede Klasse). Dia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Eropa (European Lagere School) di Bojonegoro. Kartosoewirjo bertemu dengan tokoh Muhammadiyah Notodiharjo yang memberikan pengaruh Islam modern dalam pikiran dan pandangannya (Mantolas 2016). Selepas pendidikan dasar dan menengah, Kartosoewirjo muda melanjutkan pendidikan ke Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya. Di sekolah ini ia menemukan bacaan dan khasanah mengenai dunia pergerakan (Al-Chaidar 1999: 24-25). Pergumulan Kartosoewirjo dengan politik pergerakan didukung dengan bacaannya mengenai gerakan sosialis dan komunis. Pemikiran ini didapatkan Kartosoewirjo dari pamannya yang juga tokoh pergerakan politik pada saat itu, yaitu Marco Kartodikromo (Metanasi 2018).

Pengalaman organisasi dan politiknya semakin terasah ketika Kartosoewirjo bergabung dengan Jong Java tahun 1923. Satu peristiwa penting yang bisa menjelaskan haluan politik Kartosoewirjo kemudian hari ini adalah perpecahan dalam tubuh Jong Java pada 1925 antara kelompok nasionalis sekuler dan kelompok yang mengutamakan cita-cita agama dan keislaman. Kelompok yang mengutamakan cita-cita keislaman membentuk organisasi baru bernama Jong Islamieten Bond (JIB). Dan, Kartosoewirjo termasuk pada kelompok yang berada dan mendukung pendirian JIB (Mantolasc 2016).

Keseriusan Kartosoewirjo dalam dunia pergerakan dan politik membuatnya dikeluarkan dari sekolah kedokteran NIAS. Melalui organisasi yang digelutinya, JIB, Kartosoewirjo berkenalan dan bertemu dengan tokoh utama pergerakan Islam dalam Sarekat Islam (SI), yaitu H.O.S. Cokroaminoto dan Agus Salim. Kedekatan Kartosoewirjo dengan Tjokroaminoto membuatnya dijadikan sebagai sekretaris pribadi Tjokroaminoto. Semasa belajar dengan tokoh SI ini, Kartosoewirjo mendalami Islam dan berorganisasi, komunikasi massa dan membangun kekuatan umat. Pada fase inilah, Islam ideologi pada diri Kartosoewirjo mulai terbentuk. Ide dan pandangan masyarakat Islam sebagai dasar negara di Indonesia mulai diharapkan oleh Kartosoewirjo (Al-Chaidar 1999).

Momentum Kartosoewirjo dalam pembentukan ideologi dan memperdalam pikirannya mengenai Islam politik terjadi ketika ia aktif menulis dalam surat kabar SI, Fadjar Asia. Berbagai artikelnya memperlihatkan corak ideologi politik Islam tokoh ini. Menguatnya ideologi anti-penjajahan dan pada waktu yang sama menjadikan Islam sebagai satu-satunya kekuatan politik ke depan adalah basis pikiran Kartosoewirjo. Artikelnya mengkritik secara keras berbagai tindakan dan kebijakan pemerintah kolonial Belanda, ketidakadilan sosio-ekonomi, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta ketidaknetralan kebijakan agama dan politik kolonial Belanda (Azra 2014: 178-180).

Pengaruh Tjokroaminoto terhadap Kartosoewirjo menghantarkannya menjadi kader Partai SI yang berbasis kuat dengan Islam politik. Pada 1927, secara resmi Kartosoewirjo menjadi kader Partai SI. Kedekatan Kartosoewirjo dengan Partai SI semakin menguat ketika Kartosoewirjo menikah dengan Siti Dewi Kalsum tahun 1929. Siti Dewi Kalsum anak dari Ardiwisastra, seorang anggota Partai SI di Desa Malangbong. Mertuanya merupakan anggota terkemuka di partai dan kelak menjadi gurunya yang cukup memiliki pengaruh dalam dirinya (Al-Chaidar 1999). Di wilayah ini lah ide-ide Kartosoewirjo ditumbuhkan dan dipupuk di kemudian hari.

Karir politik Kartosoewirjo semakin menanjak ketika pada Kongres Partai Sarekat Islam Indonesia (PSSI) tahun 1936 (perubahan nama partai terjadi pada 1930 dari Partai SI menjadi PSII) menempatkannya sebagai Ketua Muda. Karena sikap politiknya yang radikal dan tidak kenal kompromi, ia diminta menulis brosur tentang hijrah. Brosur hijrah ini sebenarnya merupakan sikap partai kepada pemerintah kolonial, yang akan menjadi panduan bagi anggota partai dalam perjuangan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Namun, Kartosoewirjo menulis hijrah dengan menyamakan pengertiannya dengan hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Hijrah dalam pengertian Kartosoewirjo adalah hal positif, yaitu jihad yang harus selalu ada dalam setiap perjuangan umat Islam. Secara khusus ia membaginya ke dalam dua bentuk, yaitu pertama hijrah asghar (kecil), bermakna melindungi agama terhadap musuh-musuh dari luar, dan kedua adalah hijrah akbar (besar), yaitu memerangi musuh di dalam diri manusia atau umat Islam sendiri.

Sikap dan haluan politik Kartosoewirjo cenderung mengarah pada anti-pemerintah kolonial (non-koperasi), yang mana muncul perbedaan dengan pengurus PSII lain yang menghendaki kerjasama dengan pemerintah kolonial (koperasi) agar partai tetap dapat eksis. Pasca meninggalnya Cokroaminoto pada 1934, perpecahan pada partai semakin menguat. Kartosoewirjo bersama Abikusno tetap teguh dengan haluan politik non-koperasi dengan konsep hijrahnya, menentang kebijakan Agus Salim yang bersifat koperasi terhadap pemerintah kolonial dan meninjau kembali konsep “hijrah” Kartosoewirjo. Agus Salim berpendapat bahwa permusuhan dengan pemerintah kolonial akan menghalangi kegiatan partai. Pada 1936 dilakukan kongres PSII ke-20, yang menghasilkan Kartosoewirjo sebagai wakil ketua PSII (Ridlo 2019: 20-21).

Perpecahan dan ketidaksesuaian Kartosoewirjo dalam PSII terlihat ketika pada 1939. Pada saat itu, Kartosoewirjo, Kiai Joesoef Taudjiri dan Kamran yang menjadi pemimpin pemuda PSII dikeluarkan dari partai. Kartosoewirjo tetap teguh menentang kebijakan partai yang masuk ke dalam GAPI (Gabungan Politik Indonesia), semacam lembaga semi-parlemen bentukan kolonial Belanda. Setelahnya Kartosoewirjo memprakarsai pembentukan Komite Pertahanan Kebenaran PSII (KPK-PSII). Menurutnya komite bentukannya ini adalah PSII yang sebenarnya. Pemikiran Kartosoewirjo menetapkan kebijakan non-koperasi dan politik hijrah harus dilanjutkan dengan cara radikal (Ridlo 2019: 20).

Menjelang berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda, Kartosoewirjo mendirikan sebuah pusat gerakan militer untuk tetap memupuk dan mengkonsolidasi ide politik hijrahnya. Kartosoewirjo membentuk Institut Suffah (lembaga mirip sistem pesantren dan madrasah Islam) pada 1940 di Malangbong. Pada awalnya, lembaga ini mendidik pemuda muslim dalam bidang pendidikan umum dan agama. Kartosoewirjo mengajarkan bahasa Belanda, astrologi, dan ilmu tauhid atau doktrin keesaan ketuhanan. Pada saat pendudukan Jepang, lembaga berubah menjadi latihan kemiliteran, tempat berlatih pasukan Hizbullah dan Sabilillah (Ridlo 2019: 24-25).

Kartosoewirjo mengajukan ide tentang pembentukan negara Indonesia berdasarkan syariat Islam dalam sidang Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menjelang kemerdekaan pada 1945. Idenya disampaikan melalui Ki Bagus Hadikusumo dan Ki Ahmad Sanusi dalam sidang BPUPKI, yang tertuang dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter), di mana pada paragraf pertama memuat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, meskipun dalam kompromi dan rapat kecil menjelang disahkan konstitusi tersebut kalimat pada paragraf tersebut dihilangkan. Hal ini menyebabkan kekecewaan pada diri Kartosoewirjo mengenai konsepsi negara Islamnya. Menjelang menyerahnya Jepang pada 14 Agustus 1945, Kartosoewirjo meminta kepada Kiai Joesoef Taudjiri untuk memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Namun, Kiai Joesoef menolak permintaan tersebut (Van Dijk 1983).

Setelah Indonesia merdeka, Kartosoewirjo termasuk salah seorang pendiri dari Partai Islam Masyumi dalam kongres pendirian pada 7 November 1945. Posisinya di partai ini adalah anggota Dewan Pengurus Pusat Partai Masyumi. Partai menunjuknya sebagai wakil dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada saat sidang kelima KNIP di Malang pada Februari-Maret 1947. Pada November 1947, Kartosoewirjo membentuk Masyumi Cabang Garut dan Tasikmalaya Jawa Barat. Namun, Kartosoewirjo mengadakan pertemuan dengan gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Hizbullah, dan Sabilillah sepakat membekukan Masyumi Cabang Jawa Barat dan membentuk Majelis Islam Pusat atas dasar pertemuan pemimpin umat Islam se-Jawa Barat di Tasikmalaya dengan Kartosoewirjo sebagai imam pemimpin umat Islam. Dalam pertemuan ini juga dibicarakan mengenai gagasan pendirian negara Islam dengan terlebih dahulu membentuk Tentara Islam Indonesia yang berintikan laskar Hizbullah dan Sabilillah (Isnaeni 2020).

Semakin menguatnya pendirian NII salah satunya disebabkan oleh diplomasi yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia terhadap Belanda. Perjanjian Renville hingga permintaan meninggalkan wilayah Jawa Barat yang dilakukan oleh Divisi Siliwangi dijadikan salah satu alasan Kartosoewirjo untuk memproklamirkan NII di Jawa Barat. Akhirnya, melalui pertimbangan panjang, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (Darul Islam) dan mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII) di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kabupaten Tasikmalaya 7 Agustus 1949 (Mantolas 2016).

Dengan berdirinya NII, Kartosoewirjo diangkat sebagai Imam yang mempersiapkan konsep, bentuk dan sistem pemerintahan serta susunan Dewan Imamah NII. Selain Imam, ia juga mengangkat dirinya sebagai Panglima Tertinggi dan Kuasa Usaha. Jabatan Wakil Imam sekaligus komandan divisi adalah Karman, Menteri Dalam Negeri Sanusi Partawidjaja, Menteri Penerangan Thaha Arsyad, Menteri Keuangan Udin Kartasasmita, Menteri Pertahanan Raden Oni, sedangkan Menteri Kehakiman Ghazali Thusi (Mantolas 2016).

Kekosongan kekuasaan di Jawa Barat oleh pemerintahan Republik akibat Perjanjian Renville dimanfaatkan oleh Kartosoewirjo untuk menunjukkan keberadaan NII. Secara de facto, Kartosoewirjo menyatakan bahwa NII menguasai wilayah Jawa Barat, dengan terutama basis kekuasaannya di Garut, Tasikmalaya dan wilayah pedalaman dan pegunungan. Selama lebih dari satu dekade NII berada di pedalaman Jawa Barat. NII juga menjalin komunikasi dengan Aceh, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Situasi politik tidak menentu pada 1950-an membuat Pemerintah Indonesia tidak fokus dalam menanggulangi dan memberantas gerakan NII. Melihat gerakan dan aktivitas NII yang terus mengancam, maka Pemerintah Indonesia berusaha memerangi NII  dengan operasi militer. Akhirnya pada 4 Juni 1962, Imam Kartosoewirjo ditangkap  dan 16 Agustus 1962 oleh Pengadilan Mahkamah Darurat Perang dieksekusi mati. Eksekusi dilakukan 5 September 1962 di Kepulauan Seribu, Jakarta (Mantolas 2016).

Penulis: Budi Agustono


Referensi

Al-Chaidar (1999), Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia: S.M. Kartosoewiryo.Jakarta: Darul Falah.

Azra, Azyumardi (2014), “Kartosuwiryo dan NII: Kajian Ulang”, Book Review Chiara Formichi, Islam and the Making of the Nation Kartosuwiryo and political Islam in twentienth-century Indonesia, Leiden: KITLV Press, dalam Jurnal Studia Islamika, Vol. 21, No. 1, hlm. 175-182.

Formichi, Chiara (2012), Islam and the Making of the Nation Kartosuwiryo and political Islam in twentienth-century Indonesia. Leiden: KITLV Press.

Isnaeni, Hendri F. (2020), “Kartosoewirjo dan Masyumi”, Artikel dalam https://historia.id/politik/articles/kartosoewirjo-dan-masyumi-DO4bq/page/1 diakses pada 10 November 2021.

Mantolas, Sammy (2016), “Kartosoewirjo, Proklamator Negara Islam Indonesia”, Artikel dalam https://tirto.id/kartosoewirjo-proklamator-negara-islam-indonesia-bXqX diakses pada 30 Oktober 2021.

Metanasi, Petrik (2017), “Kekecewaan Kartosuwiryo yang Memicu Proklamasi NII”, Artikel dalam https://tirto.id/kekecewaan-kartosoewirjo-yang-memicu-proklamasi-nii-cQxD diakses pada 10 November 2021.

Ricklefs, M.C (2010), Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Ridlo, Miftakhur (2019), “Negara Islam Indonesia dan Kartosuwiryo (Konsepsi Gerakan Politik, Militer dan Agama)”, Jurnal Humanistika, Vol. 5, No. 2, Juni 2019, hlm. 13-34.

Van Dijk, C. (1983), Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Press.