Ahmad Soorkati: Difference between revisions
m (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh") |
No edit summary |
||
Line 1: | Line 1: | ||
[[File:Ahmad Soorkati - Arsip Perpustakaan Online Al-Irsyad.jpg|thumb|Ahmad Soorkati. Sumber: Arsip [https://al-irsyad.com/ Perpustakaan Online Al-Irsyad]]] | |||
Ahmad Soorkati adalah pemikir dan pembaharu gagasan Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai tokoh yang mengajarkan kesetaraan semua mukmin (De Jonge, 2019: 18). Ia lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqu, Dongula, Sudan, pada tahun 1875 Masehi. Ayahnya bernama Muhammad dan diyakini masih memiliki garis keturunan dari Jabir bin Abdullah al-Ansari, sahabat Nabi Muhammad yang dikenal sebagai periwayat hadis. | Ahmad Soorkati adalah pemikir dan pembaharu gagasan Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai tokoh yang mengajarkan kesetaraan semua mukmin (De Jonge, 2019: 18). Ia lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqu, Dongula, Sudan, pada tahun 1875 Masehi. Ayahnya bernama Muhammad dan diyakini masih memiliki garis keturunan dari Jabir bin Abdullah al-Ansari, sahabat Nabi Muhammad yang dikenal sebagai periwayat hadis. | ||
Latest revision as of 07:56, 15 November 2024
Ahmad Soorkati adalah pemikir dan pembaharu gagasan Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai tokoh yang mengajarkan kesetaraan semua mukmin (De Jonge, 2019: 18). Ia lahir di Desa Udfu, Jazirah Arqu, Dongula, Sudan, pada tahun 1875 Masehi. Ayahnya bernama Muhammad dan diyakini masih memiliki garis keturunan dari Jabir bin Abdullah al-Ansari, sahabat Nabi Muhammad yang dikenal sebagai periwayat hadis.
Soorkati tumbuh dalam lingkungan keluarga yang taat beragama. Ayahnya mengharapkan Soorkati menjadi ulama. Oleh karena itu, ayahnya memilih nama Soorkati untuk anaknya. Soorkati bermakna banyak kitab. Kata kitab juga berasosiasi dengan kaum terpelajar. Ayahnya adalah lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir.
Soorkati mendapat pendidikan agama sejak kecil. Ayahnya kerap kali mengajak Soorkati menghadiri majelis yang bersifat ilmiah. Soorkati belajar keagamaan secara khusus di Masjid Al-Qaulid yang di dalamnya terdapat lingkaran penghafal Al-Quran. Setelah lulus ujian menghafal Al-Quran, Soorkati kemudian belajar di Ma’had Sharqi Na’wi, pesantren milik ulama terkenal di Dongula.
Soorkati menyelesaikan pendidikannya di Ma’had Sharqi Na’wi dengan predikat baik. Ia berkeinginan melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar. Namun, keinginan Soorkati melanjutkan ke Al-Azhar tak terlaksana sebab kala itu Pemerintah Mahdi Sudan melarang orang Sudan pergi menuju Mesir (Affandi, 1999: 7). Meski gagal ke Mesir, Soorkati berhasil mendapatkan pendidikan lanjutan di Mekah dan Madinah selama sebelas tahun sejak 1896.
Soorkati meraih gelar Al-Allamah (pakar dalam yurisprudensi Islam) dari majelis ulama Mekah. Tak banyak orang luar Hijaz (Arab) yang meraih gelar ini. Nama Soorkati kian dikenal oleh ulama berbagai negeri setelah ia mendirikan madrasah dan mengajar di Mekah. Bahkan namanya dikenal hingga ke Universitas Al-Azhar.
Suatu hari, sejumlah utusan dari Jamiat Khair, organisasi pendidikan yang didirikan oleh orang Arab Alawi (masih mempunyai garis kekerabatan dengan Nabi Muhammad atau disebut juga sayid) di Batavia, pada 17 Juli 1905, datang ke Universitas Al-Azhar untuk mencari guru. Ulama Al-Azhar menganjurkan utusan itu datang ke Mekah dan menemui Soorkati. Utusan itu lalu bertemu Soorkati di Mekah dan menawarkan untuk mengajar di Batavia.
Soorkati menerima tawaran tersebut. Ia tiba di Hindia Belanda pada 1911. Kedatangan Soorkati di Batavia disambut hangat dan penuh hormat oleh pengurus dan warga Jamiat Khair (Affandi, 1999: 10). Para pengurus Jamiat Khair menyerukan kepada masyarakat Arab untuk menghormati Soorkati.
Selama mengajar di sekolah Al-‘Attas milik Jamiat Khair, Soorkati berhasil menarik lebih banyak murid. Perkembangan ini mendorong pengurus Jamiat Khair mendatangkan guru-guru baru dan nama-nama guru ini diusulkan oleh Soorkati.
Pada tahun ketiga mengajar, Soorkati mulai berbeda pendapat dengan pengurus Jamiat Khair. Pangkal perdebatan di antara mereka terletak pada ucapan Soorkati saat mengisi kajian di Surakarta, Jawa Tengah. Perbedaan pendapat Soorkati dengan kalangan masyarakat Arab kemudian melebar ke masalah lain. Maka, untuk menghindari konfrontasi lebih dalam antara Soorkati dengan golongan Alawi, ia kemudian memilih keluar dari Jamiat Khair pada 1914 (Affandi, 1999: 13).
Soorkati membuka sekolah di rumahnya dan kemudian bergabung dengan Al-Irsyad, organisasi pendidikan yang didirikan oleh kalangan Arab non-sayid pada 6 September 1914. Hingga akhir hayatnya, Soorkati mengajar di Al-Irsyad. Al-Irsyad disebut juga kelompok reformis Islam sebab menyegarkan kembali gagasan-gagasan Islam dengan mengambil inspirasi intelektualnya kepada Rasyid Ridha dan Mohammad Abduh, dua tokoh pembaharu gagasan Islam dari Universitas Al-Azhar.
Bergabungnya Soorkati ke Al-Irsyad menggembirakan golongan Arab non-sayid. Mereka memandang Soorkati sebagai seseorang yang memiliki dasar pemikiran kuat. Ia diyakini mampu menghapus diskriminasi dan ketidakadilan yang menimpa golongan Arab non-sayid. Soorkati merupakan pilihan realistis untuk memimpin gerakan reformis baru di kalangan masyarakat Arab dari keturunan yang kurang terhormat (Laffan, 2016: 247).
Soorkati juga menghasilkan sebuah risalah berjudul Surat al-Jawab yang berisi perdebatannya dengan kalangan Arab. Pokok risalah Soorkati adalah tentang kesetaraan bagi setiap mukmin. Ide kesetaraan ini ditentang oleh golongan Alawi. Mereka mengecam keras Soorkati dan menuduhnya sebagai tukang fitnah, komunis, dan pelaku bid'ah (De Jonge, 2019: 19).
Meski kritik tajam dilancarkan kepada Soorkati, ia tetap memperoleh simpati di banyak kalangan, termasuk dari tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah; A. Hassan, pendiri Persatuan Islam; dan Haji Agus Salim, tokoh Sarekat Islam.
Soorkati juga mempunyai karisma sehingga menarik kalangan muda. Mereka berdatangan untuk berguru kepadanya. Beberapa nama terkenal yang pernah menjadi santrinya antara lain M. Rasjidi, menjadi Menteri Agama pertama RI; Kasman Singodimedjo, menjadi Jaksa Agung Indonesia (1945-1946); A.R. Baswedan, tokoh dalam peristiwa Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab pada 4-8 Oktober 1934; dan Mohamad Roem, menjadi Menteri Dalam Negeri (1950-1951).
Meski dianggap sebagai pemicu timbulnya perdebatan antar golongan Arab, Soorkati dinilai telah berupaya mempersatukan masyarakat Arab-Indonesia. Ia menahan diri untuk tidak membalas cercaan kepadanya dan memilih melakukan konsultasi dengan pihak-pihak yang kontra.
Soorkati juga mempunyai kemampuan di bidang diplomasi dan kemampuannya ini diakui oleh Dr. G.F. Pijper, pejabat di Kantoor voor Inlandse Zaken atau Kantor Urusan Pribumi. Pijper menyebut Soorkati sebagai “seorang demokrat”, berkepribadian sebagai pemimpin yang besar”, dan “seorang yang cerdik pandai” (Affandi, 1999:,30). Pada 6 September 1943 Ahmad Soorkati meninggal dunia di Batavia.
Penulis: Fauzi
Referensi
Affandi, Bisri (1999). Syaikh Ahmad Syurkati (1874-1943) Pembaharu dan Pemurni Islam Indonesia. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
De Jonge, Huub (2019). Mencari Identitas: Orang Arab Hadhrami di Indonesia (1900-1950). Jakarta: KPG.
Laffan, Michael (2015). Sejarah Islam Nusantara. Bandung: Mizan.
Noer, Deliar (1996). Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.