Rasuna Said
Rasuna Said adalah pahlawan nasional Indonesia yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dan kemerdekaan Indonesia. Ia lahir pada tanggal 14 September 1910 di Nagari Panyinggahan, Maninjau, Sumatra Barat. Ayahnya bernama Haji Muhammad Said, salah seorang pengusaha dan aktivis pergerakan di Minangkabau. Pendidikan Rasuna Said dimulai dari Sekolah Desa Maninjau, kemudian di sekolah Diniyah School Padang Panjang, Meisjes School, dan Islamic College (Depsos RI, 2008: 475).
Ketika bersekolah di Diniyah, Rasuna Said aktif dalam Persatuan Murid-Murid Diniyyah School (PMDS) bersama Rahmah El-Yunusiyyah, Ratna Sari Darwisah, dan teman perempuan lainnya. Di PMDS idealisme mereka berkembang sedemikian rupa dan bergiat dalam bidang sosial (pendidikan) serta politik. Setelah Sekolah Diniyah Putri didirikan oleh Rahmah (adik pendiri Diniyah School, Zainuddin Labay) 1 November 1923, Rasuna Said pun menjadi guru di Perguruan Diniyah tersebut (Sugiantoro, 2021: 54).
Rasuna sempat berguru kepada Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), seorang ulama berpikiran pembaharu di Minangkabau. Pasca gempa 1926 Padangpanjang, Rasuna memutuskan masuk Sekolah Thawalib. Di Thawalib, Rasuna dikenal sebagai perempuan yang ahli dalam berpidato. Rasuna menyelesaikan pendidikan di Thawalib dalam waktu 2 tahun (Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997: 160). Sementara kepandaian memasak, menjahit, dan urusan rumah tangga didapatkannya di Meisjes School.
Tamat Sekolah Thawalib, Rasuna menjadi sekretaris pada perkumpulan Sarikat Rakyat, suatu organisasi tempat berhimpunnya kekuatan menentang Belanda. Organisasi ini melahirkan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Kiprah politiknya mulai nyata. Selain itu, sebagai alumni Sekolah Thawalib, Rasuna Said pun masuk organisasi Persatuan Muslim Indonesia (PMI/Permi), yang juga menjadi partai politik pada tahun 1930. Permi didirikan oleh perhimpunan murid-murid Sekolah Thawalib. PSSI tidak membolehkan rangkap keanggotaan, maka Rasuna pun mengundurkan diri dari Sarikat Rakyat, dan memilih tetap di Permi. Pada tahun 1932, Rasuna Said menjadi salah seorang Pengurus Besar Permi (Chaniago, 2010: 441).
Rasuna Said bersama Permi secara keras menentang kebijakan Belanda dalam mengontrol lembaga pendidikan swasta lewat Ordonansi Guru dan Ordonansi Sekolah Liar. Pada tahun 1930-an, Permi berhasil menjadi kekuatan yang harus dipertimbangkan dalam segala kegiatannya. Kota Padang dijadikan sebagai pusat kegiatannya. Rasuna Said, yang juga salah seorang guru di Diniyah Putri pun terpaksa mengundurkan diri dari Diniyah Putri dan pindah ke Padang. Kepindahan ini disebabkan, Perguruan Diniyah Putri mengambil jalan tidak melibatkan diri dalam politik. Sementara Rasuna Said menginginkan para pelajarnya perlu dibekali dengan berbagai keterampilan dan pelajaran agama, dan pelatihan politik (Rasyad, dalam Abdullah [Ed.], 1983: 232).
Berkiprah di Permi, nama Rasuna Said menjadi tokoh pergerakan perempuan yang mendapat pengawasan Belanda. Pidato-pidato politiknya, bersifat keras. Ia secara terus terang mengecam penjajah yang hanya memperbodoh dan memiskinkan rakyat Indonesia. Sifat galak pidatonya ini menyebabkan, Rasuna Said mendapat julukan “Singa Minangkabau” (Anwar, 2009: 96). Pada tahun 1932, Rasuna ditangkap Belanda dalam sebuah pidatonya pada bulan Oktober di sebuah rapat perjuangan. Rasuna Said dikenakan pasal spreekdelict (larangan bicara di muka umum) karena menentang pemerintah Belanda dan tercatat sebagai perempuan pertama yang terkena hukum pidana kolonial itu. Rasuna mendekam di penjara selama 15 bulan, sedangkan rekan seperjuangannya Rasimah Ismail dihukum 9 bulan. Kedua tokoh perempuan ini dikirim ke penjara Bulu Semarang (Kahin, 2008: 68)
Setelah bebas, Rasuna kembali ke Padang. Ia mendapati kenyataan para tokoh utama Permi, Muchtar Luffi, Ilyas Yakub, dan Jalaluddin Thaib, serta tokoh partai lainnya ditangkap dan dipenjarakan Belanda. Pada tahun 1936, Permi pun dipaksa Belanda menjadi partai yang tidak berarti lagi atau bubar dari kegiatan politik (Noer, 1980: 174). Rasuna kemudian melanjutkan pembelajarannya di Islamic College dan dipercaya memimpin majalah sekolah yang bernama Raya. Selanjutnya, Rasuna pindah ke Medan dan menjadi pemimpin majalah Menara Putri yang dikenal dengan semboyannya “ini dadaku, mana dadamu”. Melalui tulisan-tulisannya, Rasuna Said mengobarkan semangat juang memerdekaan Indonesia, sekaligus alat komunikasi bagi ide-ide terkait perempuan (Chaniago, 2010: 442).
Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said bergabung dalam Pemuda Nippon Raya. Organisasi ini memberikan kerjasama pemuda untuk Jepang, namun sebenarnya mempelajari tindak tanduk Jepang. Rasuna turut mengerahkan pemuda untuk masuk Gyugun sebagai upaya mempersiapkan potensi militer. Rasuna Said berada dalam seksi perempuan yang bertugas di bagian logistik. Ia menjadi pemimpin organisasi perempuan Hahanokai, sebagai dukungan sosial dan kesejahteraan laskar Indonesia. Para pemuda atau tentara sukarela Jepang ini kelak menjadi tenaga inti pembinaan Tentara Keamanan Rakyat sesudah proklamasi kemerdekaan (Kahin, 2008: 148).
Di zaman republik, berdasarkan Peraturan Presiden No. 6 Tahun 1946 tentang penyempurnaan susunan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Rasuna tercatat sebagai anggota Nomor Urut 161, mewakili Sumatra (Noer dan Akbarsyah, 2005: 392). Rasuna Said juga tokoh pendiri Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) pada tahun 1947. BPNK dipimpin oleh sebuah Sekretariat, terdiri atas lima orang yaitu Hamka, Chatib Sulaiman, Udin, Karim Haluir, dan Rasuna Said. BPNK adalah badan persatuan gerakan perjuangan revolusi di Sumatra Barat, di samping tentara resmi yang disebut Front Pertahanan Nasional (FPN) (Hatta, 1982: 520).
Sejak Desember 1949 sampai Agustus 1950, Rasuna Said tercatat sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) dengan Nomor Urut 38 (Noer dan Akbarsyah, 2005: 402) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) sejak 17 Agustus 1950. Pada masa pergolakan daerah, saat Soekarno menawarkan perlunya Dewan Nasional sebagai bentuk prasenat mewakili daerah-daerah, Rasuna setuju dan menjadi anggota Dewan Nasional mulai 11 Juli 1957 hingga keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada tahun 1959 itu juga, Rasuna diangkat Soekarno sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (DPA-RI), yang masih dijabatnya hingga akhir hayatnya. Rasuna Said meninggal dunia tanggal 2 November 1965 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta. Rasuna Said dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui SK Presiden Republik Indonesia No. 084/TK Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974 (Depsos RI, 2008: 475–477).
Penulis: Nopriyasman
Referensi
Anwar, Rosihan. 2009. Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia. Jilid I. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Chaniago, Hasril. 2010. 101 Orang Minang di Pentas Sejarah. Padang: Citra Budaya Indonesia.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1997. Ensiklopedi Islam. Cet. Ke-4. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Hatta, Mohammad. 1982. Memoir. Jakarta: Penerbit Tinta Mas Indonesia.
Kahin, Audrey. 2008. Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Noer, Deliar. 1980. Gerakan Islam Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3S.
Noer, Deliar dan Akbarsyah.2005. KNIP Komite Nasional Indonesia Pusat Parlemen Indonesia 1945-1950. Jakarta: Yayasan Risalah.
Rasyad, Aminuddin. 1983. “Rahmah El Yunisiyyah: Kartini Perguruan Islam”, dalam Abdullah, Taufik (Ed.). 1983. Manusia Dalam Kemelut Sejarah. Jakarta: LP3S.
Sugiantoro, Hendra. 2021. Rahmah El-Yunusiyyah dalam Arus Sejarah.Yogyakarta: Matapadi Pressindo.