Mohammad Tabrani Soerjowitjitro

From Ensiklopedia
Revision as of 16:52, 20 July 2023 by Admin (talk | contribs) (Created page with "Tabrani adalah tokoh wartawan dan aktivis pergerakan. Nama lengkapnya Mohammad Tabrani Soerjowitjitro. Dilahirkan di Pamekasan, Madura, pada 10 Oktober 1904, Tabrani adalah anak dari pasangan R. Panji Soeradi Soerjowitjitro dan R. Ayu Siti Aminah. Ia anak ketiga dari sembilan bersaudara. Tabrani menempuh pendidikan formalnya di ''Meer Uitgebreid Lager Onderwijs'' (MULO) Surabaya. Setelah tamat, ia hijrah dan bersekolah di ''Algemeene Middelbare School'' (AMS) Bandung. Di...")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)

Tabrani adalah tokoh wartawan dan aktivis pergerakan. Nama lengkapnya Mohammad Tabrani Soerjowitjitro. Dilahirkan di Pamekasan, Madura, pada 10 Oktober 1904, Tabrani adalah anak dari pasangan R. Panji Soeradi Soerjowitjitro dan R. Ayu Siti Aminah. Ia anak ketiga dari sembilan bersaudara. Tabrani menempuh pendidikan formalnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Surabaya. Setelah tamat, ia hijrah dan bersekolah di Algemeene Middelbare School (AMS) Bandung. Di kota yang sama, ia kemudian melanjutkan pendidikan di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) (Soebagijo, 1981).

Semasa hidupnya, Tabrani dikenal sebagai tokoh wartawan dari angkatan tua. Minatnya di dunia pers bermula ketika ia tamat dari OSVIA Bandung pada 1925. Alih-alih terjun ke dunia pangreh praja, ia malah tertarik bekerja di dunia pers. Hal ini terbukti saat Tabrani dipercaya menggantikan posisi St. Palindih sebagai redaktur di surat kabar Hindia Baroe (De Indische Courant, 20 Juli 1925). Pengalaman mengemudi Hindia Baroe selama setahun pada gilirannya menstimulasi dirinya untuk menekuni bidang pers secara serius. Pada 1926, ia berangkat ke Eropa guna memperdalam pengetahuan jurnalistiknya. Universitas Koln dan Berlin menjadi tempat labuhan Tabrani selama kurang lebih empat tahun. Sembari mengenyam pendidikan, ia tetap membantu pengelolaan beberapa surat kabar di Hindia Belanda (Soebagijo, 1981).

Setelah pulang dari Eropa pada 1930, karir Tabrani di dunia pers semakin meningkat. Tidak butuh waktu lama, ia langsung memimpin majalah Revue Politik di Batavia sejak 1930 hingga 1932. Karirnya sempat terhenti setelah ia pulang ke kampung halaman untuk memimpin sebuah sekolah swasta, yakni Sekolah Kita (1933-1936). Namun, setelah tiga tahun menjadi kepala sekolah, dirinya kembali bergelut di dunia pers. Ia direkrut sebagai pemimpin redaksi untuk surat kabar Pemandangan di Batavia sejak Agustus 1936 hingga Oktober 1940 sekaligus untuk majalah mingguan Pembangoenan. Selama dinahkodai Tabrani, Pemandangan berkembang menjadi salah satu surat kabar terkemuka di Hindia Belanda (Soebagijo, 1981). Karena itu, tidak heran pula jika Tabrani ditunjuk sebagai ketua umum di “Persatuan Djurnalis Indonesia” (PERDI) saat dirinya berusia 35 tahun. Di organisasi pers yang mulai dibentuk pada 1933 ini, ia menjabat sebagai ketua selama kurang lebih setahun.

Tidak hanya aktif sebagai wartawan, Tabrani ikut berperan dalam perkembangan pers di era kolonial.  Ia adalah tokoh pers pertama yang membuat cetak biru jurnalistik Indonesia paling rinci untuk pers bumiputra. Karyanya ditulis pada 1929 dengan judul Ons wapen de nationaal Indonesische pers en hare organisatie. Tujuannya ialah meningkatkan mutu pers dan menganjurkan agar pers bumiputra ikut mengambil bagian dalam pembangunan nasional Tanah Air Indonesia (Maters, 2003: 248–49). Selain itu, dengan ilmu dan pengalaman jurnalis yang telah diperoleh, Tabrani juga menginisiasi pembentukan suatu institusi jurnalis di Batavia yang dinamakan Instituut Journalist Indonesia pada 1938. Melalui institusi ini, ia ingin mendidik kaum muda pribumi yang berjiwa jurnalistik dengan mempraktikkan jurnalisme secara profesional (Bataviaasch Nieuwsblad, 24 Februari 1938).

Dunia pers erat kaitannya dengan pergerakan nasional di era kolonial. Karena itu, Tabrani juga seorang aktivis pergerakan. Hal ini tercermin dari kegiatan politiknya. Pada November 1925, dalam suatu pertemuan antar organisasi pemuda, ia dipercaya oleh rekan-rekannya menjabat ketua panitia dalam Kerapatan Besar Pemuda (kelak dikenal dengan Kongres Pemuda Pertama) yang akan dilaksanakan pada 30 April hingga 2 Mei 1926 di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Tabrani mewakili perkumpulan Jong Java, di mana dirinya bergabung sejak bersekolah di MULO Surabaya. Adapun tujuan pelaksanaan Kerapatan ialah menggugah semangat kerjasama di antara berbagai organisasi pemuda di Hindia Belanda supaya terwujud dasar pokok lahirnya persatuan Indonesia di tengah-tengah bangsa di dunia.

Penunjukkan Tabrani sebagai ketua panitia tentu bukan tanpa alasan. Selain sosoknya yang cerdas, saat itu ia telah dikenal sebagai seorang wartawan sehingga dianggap tidak akan menimbulkan kecurigaan dari pihak Belanda. Terlebih lagi, ia juga memiliki banyak kenalan dengan pejabat pemerintah kolonial sehingga bukan perkara sulit bila hendak memperoleh izin penyelenggaraan Kerapatan Besar Pemuda. Selama kurang lebih lima bulan, Tabrani, yang saat itu masih berusia 22 tahun, bergiat menyosialisasikan pelaksanaan kongres. Ia tidak hanya menemui tokoh penting dari pihak kolonial seperti Visbeen, komisaris Dinas Intelijen Politik. Tabrani juga aktif berkomunikasi dengan para pengurus dari berbagai organisasi pemuda serta para tokoh penting demi kesuksesan pelaksanaan kongres. Usahanya tidak sia-sia. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran para peserta kongres dari berbagai kalangan, baik organisasi-organisasi pemuda, wakil partai politik maupun wakil pemerintah Hindia Belanda yang terdiri dari Patih Batavia, polisi, Dinas Intelijen politik dan Penasehat Urusan Bumiputra (Rahman et al., 2005: 35–38).

Selain sebagai ketua panitia, konsep usul yang menjadi hasil Kongres Pemuda Pertama juga tidak dapat dilepaskan dari pemikiran Tabrani. Dalam kongres itu, Mohammad Yamin bertugas membuat konsep usul. Terdapat tiga poin penting yang disusun Yamin. Salah satu di antaranya ialah rumusan nomor tiga mengenai bahasa persatuan. Bunyinya ialah, “Kami Poetra dan Poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean Bahasa Melajoe”. Rumusan ini segera menimbulkan perbedaan pandangan di antara panitia peneliti yang terdiri dari Djamaluddin, Mohammad Yamin, Tabrani dan Sanusi Pane. Berbeda dengan Djamaluddin dan Yamin yang sepakat agar bahasa persatuan dinamakan Bahasa Melayu, Tabrani dan Sanusi Pane tidak menyetujui hal tersebut. Pada saat itu, Tabrani berpandangan bahwa kalau tumpah darah dan bangsa disebut Indonesia, maka bahasa persatuannya harus disebut Bahasa Indonesia dan bukan Bahasa Melayu. Setelah sempat beradu argumen, konsep usul yang rencananya akan dibacakan Yamin dalam kongres tersebut akhirnya ditunda. Peristiwa inilah yang menjadi penanda lahirnya nama Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional sekalipun konsep usul itu baru digaungkan dalam Kongres Pemuda Kedua pada 1928 (Kridalaksana, 2009: 15–18). Bunyi putusan yang ketiga dari Kongres Pemuda Kedua yang dibacakan Yamin pada 28 Oktober 1928 ialah, “Kami Poetra dan Poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.” Jadi, jelas bahwa Tabrani adalah tokoh penting di balik lahirnya penamaan bahasa nasional, yakni Bahasa Indonesia

Semenjak peristiwa itu, bagi Tabrani, Bahasa Indonesia adalah kata kunci dalam konteks perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam Kongres Bahasa Indonesia pertama (1938) di kota Solo, misalnya, ia membawakan pidato yang berjudul “Mentjepatkan penjebaran Bahasa Indonesia” (Kridalaksana, 2009). Ketika menjadi anggota Gemeenteraad Batavia pada 1938, ia bersama Moh. Husni Thamrin secara getol menganjurkan kepada para anggota dewan, terutama kaum pribumi, agar hendaknya menggunakan bahasa Indonesia dalam sidang-sidang dewan kota.

Ihwal Tabrani juga tidak dapat dilepaskan dari Petisi Sutardjo. Petisi ini diajukan Soetardjo Kartohadikoesoemo, anggota Volksraad selaku wakil Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumiputra, ke pemerintah Hindia Belanda pada 15 Juli 1936.  Petisi itu menghendaki agar Hindia Belanda diberi status otonom yang setara dengan Belanda di bawah naungan Kerajaan Belanda. Meskipun sejak semula petisi tersebut menimbulkan sikap skeptis di antara para tokoh pergerakan dan partai politik, Tabrani justru menyambutnya secara positif. Melalui Pemandangan, ia menyebarluaskan gagasan petisi tersebut di kalangan masyarakat. Bahkan, pada Februari 1938 dirinya menganjurkan pembentukan Komite Sentral Petisi Soetardjo guna mempengaruhi keputusan pemerintah di Belanda. Komite itu berhasil dibentuk pada Maret 1938 sekalipun Petisi Soetardjo akhirnya mendapat penolakan dari Ratu Belanda pada November 1938. Alasan penolakannya ialah Hindia Belanda dianggap belum mampu untuk mengurus dirinya sendiri (Abeyasekere, 1973: 94; Kartodirdjo, 1999: 181–85).

Di panggung politik, Tabrani adalah tokoh yang mempelopori berdirinya Partai Rakyat Indonesia (PRI) pada 14 September 1930. Pendirian PRI terkait dengan sikap pemerintah kolonial Belanda yang sebelumnya telah membubarkan Partai Nasional Indonesia (PNI) dan menangkap para pemimpinnya pada 1930. Berbeda dengan PNI yang berhaluan non-kooperatif, program yang digagas PRI ialah perjuangan memperoleh pemerintahan tersendiri yang ditempuh melalui jalan kooperatif dengan Belanda. Itu sebabnya PRI yang dipimpin langsung oleh Tabrani kurang diminati dan tidak berhasil memperoleh banyak pengikut eks PNI (Kahin, 1952: 92). Pada akhirnya, PRI berafiliasi dengan Partai Indonesia Raya (Parindra) yang dibentuk oleh Raden Soetomo pada 1935.

Selain itu, Tabrani tercatat pernah menjadi anggota dewan di beberapa tingkatan. Pada 1933, misalnya, ia dipercaya menduduki posisi komisaris di Dewan Kabupaten Pamekasan sembari memimpin Sekolah Kita (Soerabaijasch handelsblad, 16 Februari 1937). Setahun berikutnya, ia menjabat sebagai anggota Dewan Provinsi Jawa Timur (De Indische Courant, 22 Juni 1934). Puncaknya ialah saat dirinya terpilih menjadi anggota Gemeenteraad Batavia sebagai wakil Partai Indonesia Raya pada Agustus 1938 (Bataviaasch Nieuwsblad, 13 Agustus 1938).

Pada masa pendudukan Jepang, Tabrani sempat ditahan di penjara Sukamiskin. Tidak lama ditahan, ia direkrut menjadi anggota Jawa Hokokai (Anderson, 1972: 293), yakni “persatuan kebaktian Jawa” yang didirikan pihak Jepang pada Januari 1944 guna memobilisasi penduduk Jawa menghadapi perang. Di Jawa Hokokai, pengalamannya di dunia pers terutama membuat dirinya ditunjuk sebagai anggota pusat redaksi di surat kabar Tjahaja dan bahkan sempat menjadi pemimpin redaksi menggantikan A. Hamid (Reksodipuro dan Soebagijo 2006: 307; Soebagijo, 1981). Pasca kemerdekaan, di samping menjabat sebagai anggota KNIP dan Kepala Bagian Pers di Kementerian Penerangan (Poeze, 2008: 297), Tabrani bergabung dengan PNI. Di partai ini ia terdaftar sebagai anggota seksi organisasi yang dipimpin Muwardi (Anderson, 1972: 92–93). Menjelang pemilu 1955, PNI membentuk surat kabar sebagai medium propaganda. Surat kabar PNI dikenal dengan nama Suluh Indonesia yang dibentuk pada 1953. Pada saat itu, Tabrani ditunjuk sebagai pemimpin redaksi. Sebelumnya, Tabrani sempat kembali menjadi pemimpin redaksi Pemandangan sejak Agustus 1951 (Nieuwe Courant, 19 Juli 1951).

Di luar bidang pers dan politik, Tabrani juga termasuk salah satu pengusaha terkemuka di Indonesia pada 1950-an. Ia mulai beralih dari dunia pers ke dunia bisnis setelah tidak lagi menjabat posisi pimpinan redaksi di Suluh Indonesia. Saat itu, ia memimpin Pabrik Coca-Cola. Tabrani wafat menjelang usianya yang ke-80 tahun atau tepatnya pada 12 Januari 1984 dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia telah memberi penghargaan kepada Tabrani sebagai Tokoh Perintis Gerakan Kebangsaan pada Februari 1975 (Soebagijo, I N 1981; Post, 1996).

Penulis: Syafaat Rahman Musyaqqat


Referensi

Abeyasekere, Susan. 1973. “The Soetardjo Petition.” Indonesia 15: 80–108.

Anderson, Benedict R O’G. 1972. Java in a Time of Revolution : Occupation and Resistance, 1944-1946. London: Cornell University Press.

Bataviaasch Nieuwsblad, 13 Agustus 1938.

Bataviaasch Nieuwsblad, 24 Februari 1938.

De Indische Courant, 20 Juli 1925.

De Indische Courant, 22 Juni 1934.

Kahin, Goerge McT. 1952. Nationalism and Revolution in Indonesia. New York: Cornell University Press.

Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Dari Koloniaisme Sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, Harimurti. 2009. Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia. Depok: Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Maters, Mirjam. 2003. Dari Perintah Halus Ke Tindakan Keras: Pers Zaman Kolonial antara Kebebasan dan Pemberangusan, 1906-1942. Jakarta: KITLV.

Nieuwe Courant, 19 Juli 1951.

Poeze, Harry A. 2008. Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia. Jilid I: Agustus 1945-Maret 1946. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Post, Peter. 1996. “The formation of the pribumi business élite in Indonesia, 1930s-1940s.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 152 (4): 609–32.

Rahman, Momon Abdul, Darmansyah, Suswadi, Sri Sadono Wiyadi, dan Misman. 2005. Sumpah Pemuda: Latar Sejarah dan Pengaruhnya Bagi Pergerakan Nasional. Jakarta: Museum Sumpah Pemuda.

Reksodipuro, Subagio, dan I N Soebagijo. 2006. 45 Tahun Sumpah Pemuda. Jakarta: Museum Sumpah Pemuda.

Soebagijo, I N. 1981. Jagat Wartawan Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Soerabaijasch handelsblad, 16 Februari 1937.

Mohammad Tabrani Soerjowitjirto

Sumber: De Indische courant, 8 Desember 1933, hal. 14.