Wahid Hasyim
Wahid Hasyim adalah sosok ulama terkemuka, politisi, dan pahlawan nasional. Ia lahir di Jombang pada 1 Juni 1914, anak kelima dari sepuluh anak dari pasangan K.H. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqah (Masyhuri, 2008: 3). Dari jalur ayah, silsilahnya bersambung hingga Joko Tingkir, sedangkan dari jalur ibu, silsilahnya bersambung hingga Ki Joko Tarub. Kedua jalur itu, bertemu di salah satu titik, yaitu Brawijaya VI (Lembu Peteng) (Atjeh, 2015: 155; Masyhuri, 2008: 3).
Sebagai anak seorang ulama, Wahid Hasyim mendapatkan pendidikan agama mula-mula dari ayahnya. Pada usia 7 tahun, ia mulai belajar di Madrasah Salafiyah Tebuireng. Setelah itu, pada usia 12 tahun, ia mulai membantu ayahnya mengajar adik-adik dan anak-anak seusianya (Masyhuri, 2008: 5). Wahid Hasyim tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada usia 13 tahun, ia bersama sepupunya Ilyas, dikirim belajar ke Pondok Pesantren Siwalan Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Dari Siwalan, ia pindah belajar ke Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri. Selain belajar di pesantren, ia lebih banyak belajar secara otodidak, dengan mempelajari sendiri kitab-kitab, syair-syair berbahasa Arab, dan berbagai surat kabar, sehingga pada usia 15 tahun, ia sudah mengenal huruf latin (Atjeh, 2015: 162).
Setelah kembali ke Tebuireng pada 1926, ia mulai berlangganan majalah-majalah, seperti Penyebar Semangat, Daulat Ra’jat, Pandji Pustaka, Ummul Qura, Sautu l Hijaz Al-Lataif Al-Musyawarah, Kullu Syain wa ad-Dunya, dan al-Itsnain (Dhofier 2011: 176). Selain itu, ibunya juga telah meminta seorang manajer Eropa di pabrik gula setempat untuk mengajari Wahid Hasyim bahasa Inggris dan Belanda, sehingga kemampuan bahasa asingnya semakin terasah (Barton, 2002: 32). Karena pengetahuannya itu, Wahid Hasyim menjadi asisten pribadi ayahnya. Di pesantren, ia membantu menyusun kurikulum, menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai hukum Islam melalui surat, memberi khutbah, dan berbicara pada forum-forum ilmiah (Khuluq, 2000: 44).
Selain karena kecerdasan, tampaknya sikap K.H. Hasyim Asy’ari yang terbuka pada perubahan dan lingkungan Pesantren Tebuireng telah membentuk sosoknya yang berpikiran maju dan gandrung pada perubahan. K.H. Ma’sum misalnya, menantu K.H. Hasyim Asy’ari, adalah orang yang mula-mula mengenalkan sistem madrasah pada 1916. Sistem madrasah tersebut menggunakan sistem klasikal dan dibagi dalam dua sistem, yaitu sifir awwal dan sifir tsani. Namun, sebagai pesantren salafiyah, madrasah tetap mempertahankan dua sistem tradisional utama dalam tradisi pesantren, yakni sorogan dan bandongan.
K.H. Ma’sum juga telah menulis buku tentang nahwu dan matematika. Dari 1916-1919, madrasah ini tetap mengajarkan pelajaran agama. Baru pada 1919, mata pelajaran Bahasa Indonesia, Ilmu Bumi, dan Matematika mulai diberikan kepada para santri. Lalu, pada 1926, para santri mulai diberi bekal Bahasa Belanda dan Sejarah. Selain K.H. Ma’sum, Muhammad Ilyas adalah sosok yang penting dalam perkembangan intelektual Wahid. Berbeda dengan Wahid, Muhammad Ilyas adalah produk dari pendidikan barat. Ia adalah lulusan dari Holland Inlandsche School (HIS), sekolah Belanda untuk pribumi, di Surabaya. Pada 1928, ia menjadi kepala madrasah mengganti K.H. Ma’sum yang membuka pesantren sendiri khusus wanita, di Seblak (Dhofier, 2011: 175).
Pada 1932, saat usianya 18 tahun, Wahid Hasyim dikirim ke Mekkah. Selain untuk menjalankan ibadah haji, di sana ia memperdalam ilmu agama. Di Mekkah, ia ditemani oleh saudara sepupunya, Ilyas. Setelah mukim di Mekkah selama 2 tahun, pada 1934 ia kembali ke Tebuireng. Pada tahun itu pula, ia mencoba menerapkan modernisasi pendidikan pada madrasah di Pesantren Tebuireng. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Wahid Hasyim mendirikan Madrasah Nizamiyah. Melalui madrasah ini, secara perlahan ia mulai menyusun dan mengembangkan ide-ide tentang pembaharuan pendidikan Islam dengan mendesain kurikulum yang tidak hanya berisi ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu umum, seperti Bahasa Belanda, Inggris, dan keterampilan. Masa belajar di madrasah ini menjadi 6 tahun, sebab pelajaran non-agama lebih banyak dimasukkan dalam kurikulum. Bahasa Inggris juga diajarkan lebih intensif. Hal itu merupakan sebuah kemajuan dalam dunia pesantren, mengingat saat itu, pelajaran umum bagi mayoritas dunia pesantren dianggap tabu (Masyhuri, 2008: 21).
Untuk memupuk semangat santri dalam belajar dan berorganisasi, pada 1936 ia mendirikan Ikatan Pelajar Islam (IKPI). Selain itu, ia juga mendirikan perpustakaan dengan 1000 koleksi buku-buku keagamaan, majalah, dan surat kabar, seperti Panji Islam, Dewan Islam, Islam Bergerak, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Islam, Al-Munawarah, Panji Pustaka, Pustaka Timur, Pujangga Baru, dan Penjebar Semangat. Sebelas majalah di atas mewakili pandangan umum kaum tradisionalis, modernis, dan nasionalis (Khuluq, 2000: 48).
Pada 1938, Wahid Hasyim memulai karirnya di NU dengan menjabat Ketua Ranting Cukir, sebuah desa di dekat Pesantren Tebuireng. Pada periode-periode berikutnya, ia terpilih menjadi anggota pengurus NU Cabang Jombang dan selanjutnya menjadi Pengurus NU yang berkedudukan di Surabaya. Saat MIAI didirikan, ia pun berperan aktif mewakili NU di dalam organisasi tersebut (Atjeh, 2015: 173). K.H. Abdul Wahid Hasyim menikah pada 1939, saat usianya 25 tahun. Wahid menikah dengan Solichah, putri K.H. Bisri Syansuri. Sepertinya halnya ayahnya, K.H. Bisri Syansuri, dan K.H. Wahab Chasbullah adalah tiga serangkai pendiri Nahdlatul Ulama. Dari pernikahan itu, Wahid Hasyim dan Solichah mendapatkan enam orang anak, yaitu Abdurrahman Ad-Dakhil, Aisyah, Shalahuddin Al-Ayyubi, Umar, Khadijan, dan Hasyim.
Pada 1937, para pemimpin NU dan Muhammadiyah memprakarsai pembentukan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari (Ricklefs, 2008: 413-414). Selanjutnya, pada 1939, ketika MIAI mengadakan konferensi, Wahid Hasyim dari NU terpilih sebagai ketua, sementara Wondoamiseno dari Sarekat Islam sebagai wakil ketua, sedangkan S. Oemar Loebis dari Al-Irsyad, K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah, dan Sukiman dari Partai Islam Indonesia (PII) sebagai anggota (Noer, 1985: 291). Bersama-sama dengan Mahfudz Shidiq, keterlibatan Wahid Hasyim dalam MIAI menambah tenaga-tenaga muda NU yang terlibat aktif dalam politik (Khuluq, 2000: 119).
Meskipun sebagai organisasi keagamaan, MIAI tidak dapat melepaskan diri dan merespon kondisi politik yang berkembang. Mereka mulai mengkritisi kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang dianggap tidak menguntungkan umat Islam, seperti Peraturan Guru 1925, pengalihan masalah waris dari pengadilan agama ke pengadilan umum pada 1935, undang-undang perkawinan 1937, penolakan terhadap kewajiban militer bagi umat Islam, otopsi jenazah, dan subsidi pemerintah yang lebih besar untuk sekolah-sekolah Kristen (Fealy, 2007: 47). Pada periode berikutnya, NU mendukung pembentukan Gabungan Politik Indonesia (GAPI), sebuah organisasi payung yang berdiri pada Mei 1939. Agenda utamanya adalah hak parlemen penuh bagi Indonesia melalui Kongres Rakyat Indonesia (Korindo). Abdul Wahid Hasyim, Mahfudz Shidiq, dan Muhammad Ilyas menjabat sebagai Presidium Korindo (Fealy, 2007: 49). Namun, Jepang berhasil mengambil alih kekuasaan Belanda di Indonesia pada 1942.
Jepang melakukan perubahan sosial yang radikal, dengan melarang semua kegiatan sosial dan politik. Pada awalnya, Jepang memiliki persepsi negatif terhadap Islam. Para polisi Jepang (Kempeitai) menangkap siapa saja, termasuk para tokoh Islam yang dicurigai melakukan gerakan bawah tanah. K.H. Hasyim Asy’ari dan beberapa tokoh NU lain, seperti Mahfudz Shiddiq tidak lepas dari aksi penangkapan itu. K.H. Hasyim Asy’ari dituding menjadi dalang kerusuhan di Pabrik Gula Cukir, Jombang, sebuah tuduhan yang jelas-jelas dibuat-buat oleh Jepang. Alasan yang sebenarnya adalah karena K.H. Hasyim Asy’ari menolak dan mengeluarkan fatwa haram melakukan saikerei.
Berita penangkapan K.H. Hasyim Asy’ari dan tokoh-tokoh NU dengan cepat tersebar ke berbagai pesantren. Pada 1 Agustus 1943, para konsul NU berkumpul di Jakarta untuk mengeluarkan orang-orang NU yang ditahan oleh Jepang. Tokoh-tokoh NU, seperti K.H. Wahab Hasbullah dan Wahid Hasyim, memprotes tindakan Jepang. Akhirnya, K.H. Hasyim Asy’ari dilepaskan pada 18 Agustus 1942 setelah mengalami penderitaan dan penyiksaan di penjara Jombang, Mojokerto, dan Surabaya (Zuhri, 2007: 200 -201).
Setelah peristiwa itu, untuk mengambil hati orang Islam, Jepang mengubah politik mereka terhadap Islam. Oleh karena Jepang khawatir bahwa MIAI yang berkarakter anti-kolonial akan berubah menjadi anti-Jepang, Jepang segera membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 24 Oktober 1943 sebagai wadah organisasi seluruh umat Islam Indonesia. Jepang juga mulai mengendorkan kewajiban saikeirei, sehingga NU mulai bersifat lunak kepada Jepang, dibandingkan dengan sikap mereka terhadap Belanda. Terlebih ketika Saikoo Shikikan, penguasa tertinggi pemerintah Jepang di Jawa mengangkat K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Kepala Jawatan Urusan Agama Pusat (Shumubucho) pada 13 Maret 1944. Jabatan itu didampingi dengan dua orang wakil, yaitu Wahid Hasyim dari NU dan Kahar Muzakkir dari Muhammadiyah (Bruinessen 1994: 56). Penunjukkan K.H. Hasyim Asy’ari menggantikan Hoesein Djajadiningrat sebagai Shumubucho, tampak sekedar simbolis. Karena alasan usia dan harus fokus mengajar di pesantren, K.H. Hasyim Asy’ari memilih kembali ke Tebuireng dan menyerahkan tugas administrasi sehari-hari kepada K.H. Wahid Hasyim. Untuk menjalankan tugasnya, K.H. Abdul Wahid Hasyim menjalin kerja sama dengan Masyumi (Khuluq, 2000: 134 - 135). Atas prakarsanya, ia berhasil membuka beberapa lembaga baru, seperti Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan Balai Muslimin Indonesia untuk tempat pertemuan umat Islam di Indonesia.
Pada awal 1943, K.H. Abdul Wahid Hasyim didatangi oleh seorang Jepang beragama Islam, Abdul Hamid Ono. Kedatangan Ono adalah membawa pesan dari penguasa Jepang, bahwa para santri diminta untuk bergabung dengan Heiho, untuk menghadapi sekutu di medan perang. Wahid Hasyim melakukan negosiasi kepada Ono, bahwa para santri yang tidak memiliki keahlian bertempur hanya akan menyusahkan tentara Jepang. Menurutnya, lebih baik Jepang memberi pelatihan kemiliteran kepada para santri untuk menjaga keamanan tanah air, daripada harus berjuang di tempat yang jauh (Zuhri, 2007: 295). Hasil dari negosiasi itu, Wahid Hasyim menggagas kelahiran milisi Hizbullah (Tentara Allah). Pada awal Januari 1945, Masyumi mengumumkan Dewan Pengurus Hizbullah dengan susunan pengurus sebagai berikut: H. Zainul Arifin sebagai Ketua, Muhammad Roem sebagai Wakil Ketua, dengan dibantu oleh anggota yang mengurus Urusan Umum, Perencanaan, dan Keuangan.
Setelah Laskar Hizbullah terbentuk, segera diadakan latihan yang diikuti oleh 500 pemuda dari 25 keresidenan di seluruh Jawa dan Madura. Dalam sambutan pembukaan pelatihan pada 28 Februari 1945, H. Zainul Arifin dan Wahid Hasyim mengingatkan pentingnya pelatihan ini diselenggarakan untuk membela agama Islam dan cita-cita perjuangan bangsa. Setelah digembleng selama 3 bulan di Cibarusa, mereka kembali ke daerah masing-masing. Di sana, mereka melatih Laskar Hizbullah di tingkat desa dan kecamatan (Suratmin, 2017: 22 - 28).
Pada Maret 1945, Jepang mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) (Ricklefs, 2008: 441). Wahid Hasyim yang sebelumnya menjabat sebagai anggota Chuuoo Sangi In (Dewan Perwakilan Rakyat) di Jakarta (Zuhri, 2007: 269), masuk menjadi anggota BPUPKI bersama-sama dengan Radjiman Wediodiningrat sebagai ketua dengan Sukarno, Hatta, Mansur, Dewantara, Agus Salim, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Ki Bagus Hadikusumo, Muhammad Yamin, dan lain-lain sebagai anggota (Ricklefs, 2008: 441).
Meskipun berusia sangat muda, yakni 33 tahun, Wahid Hasyim terpilih menjadi tim 9 yang bertugas merumuskan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang akan segera diproklamasikan. Pada naskah yang kemudian juga dikenal sebagai Piagam Jakarta, Wahid Hasyim adalah orang yang mula-mula memasukkan butir “ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Karena desakan dari golongan Kristen Indonesia Timur, Wahid Hasyim bersedia menerima jalan tengah, dengan menghapus tujuh kata itu (Boland, 1985: 28-29; Feillard, 2008: 32). Bahkan, kalimat “Dengan rahmat Allah …”, adalah hasil sumbangan Wahid Hasyim, agar Republik Indonesia yang akan diproklamirkan, mendapatkan rahmat dan berkah dari Allah SWT. (Dhofier, 2011: 148). Tidak heran jika Wahid Hasyim disebut sebagai wakil Islam Indonesia paling terkemuka pada masa penutupan zaman Jepang (Benda, 1980: 227).
Pada kabinet pertama yang dibentuk oleh Sukarno pada September 1945, Wahid Hasyim diangkat sebagai Menteri Negara. Demikian juga dalam kabinet Syahrir pada 1946. Setelah penyerahan kedaulatan dan berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS), ia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan ini terus dipegang oleh Wahid Hasyim hingga 3 periode berturut-turut, mulai dari Hatta, Natsir, dan Sukiman. Selama menjadi Menteri Agama, ia berjasa mengeluarkan peraturan yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah-sekolah umum, baik negeri maupun swasta. Ia juga berjasa mendirikan sekolah guru dan hakim agama (Dhofier, 2011: 159-160). Selain itu, ia juga turut membentuk Jami’yah Qurra’ wal Hufadz (organisasi Qari’ dan Penghafal Al-Qur’an) di Jakarta, menetapkan tugas kewajiban Kementerian Agama, merumuskan dasar-dasar perjalanan haji, dan menyetujui pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (Masyhuri, 2008: 34-35).
Pada Muktamar 1952, NU keluar dari Masyumi dan berubah menjadi partai politik (Haidar 1998: 138). Merespon hal itu, NU melalui Wahid Hasyim memprakarsai pembentukan Liga Muslimin Indonesia, sebuah badan federasi yang anggotanya terdiri dari NU, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Darul Dakwah wal Irsyad (DDI) (Fealy, 2007: 129). Meskipun berpisah dengan Masyumi, ia juga tetap menjalin silaturahmi dengan tokoh-tokoh Masyumi. Baginya, perbedaan politik bukanlah berarti permusuhan (Tim Buku Tempo, 2016: 5). Pada 18 April 1953, Wahid Hasyim meninggal dunia akibat mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan di Cimindi, daerah antara Cimahi dan Bandung. Jenazahnya dimakamkan di Tebuireng, di samping makam ayahnya, K.H. Hasyim Asy’ari. Berdasar Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 206 Tahun 1964 tertanggal 24 Agustus 1964, Wahid Hasyim ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional.
Penulis: Rabith Jihan Amaruli
Referensi
Atjeh, Aboebakar. 2015. Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasyim. Jombang: Pustaka Tebu Ireng.
Barton, Greg. 2002. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, terjemahan Lie Hua. Yogyakarta: LKiS.
Benda, Harry J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, terjemahan Daniel Dhakidae. Jakarta: Pustaka Jaya.
Boland, B.J. 1985. Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1970, terjemahan Grafiti Press. Jakarta: Grafiti Press.
Bruinessen, Martin van. 1994. NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, terjemahan Farid Wajidi. Yogyakarta: LKiS.
Dhofier, Zamakhsyari. 2011. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Fealy, Greg. 2007. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, terjemahan Farid Wajidi dan Mulni Adelina Bachtar. Yogyakarta: LKiS.
Feillard, Andree. 2008. NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna, terjemahan Lesmana. Yogyakarta: LKiS.
Haidar, Ali M. 1998. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: Gramedia.
Khuluq, Lathiful. 2000. Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: LKiS.
Masyhuri, A. Aziz. 2008. 99 Kiai Kharismatik Indonesia: Biografi, Perjuangan, Ajaran, dan Doa-doa Utama yang Diwariskan. Yogyakarta: Kutub.
Noer, Deliar. 1985. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, terjemahan Tim Penerjemah Serambi. Jakarta: Serambi.
Suratmin. 2017. Perjuangan Laskar Hizbullah dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945. Yogyakarta: Mata Padi Presindo.
Tempo, Tim Buku. 2016. Seri Tempo: Wahid Hasyim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Zuhri, Saifuddin. 2007. Guruku Orang-Orang dari Pesantren. Yogyakarta: LKiS.