Tjokorda Gde Rake Soekawati
Tjokorda Gde Rake Soekawati adalah Presiden Negara Indonesia Timur (NIT) setelah pembentukannya dalam Konferensi Denpasar pada 18-24 Desember 1946. Ia lahir pada 15 Januari 1899 di Bali. Kedudukan tersebut, menurut Picard (2002: 101), disebabkan pengaruhnya yang kuat, dan merupakan “wakil terkemuka dari keluarga penguasa Bali”. Ia adalah anak penguasa Ubud terkenal Tjokorda Gde Soekawati. Gelarnya, Tjokorda Gde, menunjukkan bahwa Soekawati termasuk ksatria tertinggi dalam salah satu dari empat kasta bangsawan di Bali.
Di masa mudanya, Soekawati bersekolah di Opleidings School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Setamat dari situ, pada tahun 1918, ia sempat menjadi calon pegawai resmi Hindia yang ditunjuk oleh auditor di Bandung. Pada akhir tahun yang sama ia pulang ke Bali untuk menjadi mantripolitie (sebutan untuk pejabat lokal) di Denpasar. Tahun 1919, ia dipromosikan jadi punggawa (kepala distrik) di tempat kelahirannya di Ubud (Bloembergen, 2020: 218). Ketika Boedi Oetomo membuka cabangnya di Denpasar tahun 1919, seorang penganut teosofi Jawa bernama Soetatmo Soeriokoesoemo mengajak Soekawati bergabung dan terpilih menjadi ketuanya. Kariernya yang cemerlang membawanya, pada tahun 1924, menjadi wakil Bali di Volksraad (Dewan Rakyat) yang ia pegang sampai tahun 1927 (Picard, 2002: 66).
Picard menempatkannya dalam jajaran aktivis politik di Bali yang beraliran konservatif (Picard, 2002: 139). Ia menolak kedatangan misionaris Katolik ke Bali melalui corong Volksraad maupun lewat artikel-artikelnya di media massa. Ia menulis kata pengantar berupa dukungan untuk sebuah buku dari penulis Roelof Goris yang menentang misi zending di Bali dan pembelaan atas adat dan agama Bali yang khas (Picard, 2002: 148). Ia menulis Bali en Dr. Kraemer, Eenige Opmerkingen Omtrent de Brochure, De Strijd over Bali en de Zending, semacam komentar dan sejenis pembelaan atas stigma buruk orientalis dan misi zending terhadap agama Bali.
Soekawati adalah juga tokoh terkemuka dalam seni, yang sukses memperkenalkan industri pariwisata Bali ke dunia luas. Hal ini terutama sekali dilakukannya pada tahun-tahun terakhir 1920-an dan awal 1930-an. Dia misalnya mempromosikan musik Bali ke Batavia dan juga ke Paris (memimpin rombongan seniman Hindia yang terdiri dari para musisi dan penari Bali pada Pameran Kolonial Internasional di Paris) (Picard 2002: 117).
Pada tahun 1932, Soekawati melanjutkan sekolah di Belanda untuk belajar pertanian dan peternakan (Ardhana, 2018: 7). Pada 1936, Soekawati pulang ke Bali. Pada awalnya, bersama saudaranya, Soekawati sibuk mengelola ekonomi dan turisme Bali. Ia juga menjadi kontributor tidak tetap untuk surat kabar terbitan Bali Bhawanagara dan Bali Adnjana yang saling bersaing. Ia juga tercatat pernah menjadi kontributor untuk surat kabar Djawa (Cohen, 2016: 125) yang menulis uraian-uraian tentang upaya melestarikan budaya dan adat Bali dan berbagai soal-soal lainnya termasuk soal-soal kebangsaan yang mulai menjadi perhatian luas di Hindia masa itu.
Pada tanggal 16-25 Juli 1946, Soekawati bersama wakil-wakil dari Celebes, raja-raja dari kepulauan Maluku, dan gugusan pulau Timor seperti Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, serta kelompok minoritas agama dan etnis, serta perwakilan dari daerah-daerah lain di Indonesia Timur menghadiri sebuah konferensi di Malino. Penyelenggara konferensi itu ialah H.J. van Mook, Pelaksana Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa perang. Tujuan konferensi untuk membahas persiapan pembentukan negara-negara federal di Indonesia (Mun, 1982: 101).
Konferensi di Malino berlanjut ke Denpasar antara 18 s.d. 24 Desember 1946. Hasil persidangan itu menetapkan tiga keputusan, yaitu berdirinya Negara Indonesia Timur (NIT), dengan ibukota di Makassar, dan memiliki teritori yang mencakup bekas wilayah Timur Besar (Grote Oost) yang terdiri dari 13 daerah otonom berikut: Sulawesi Selatan, Minahasa, Kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor dan Kepulauan, Maluku Selatan, dan Maluku Utara (Mutawally, 2021: 6). Soekawati terpilih sebagai presiden, sementara bekas walikota Makassar, Nadjamoeddin Daeng Malewa, menjadi perdana menteri (Sastrodinomo, 2019: 149-150) dan Tadjoeddin Noer sebagai Ketua Parlemen NIT.
Setelah Konferensi Denpasar, Soekawati sebagai Presiden NIT dan Perdana Menteri Nadjamoedin Daeng Malewa datang ke Jakarta untuk berdiskusi dengan Van Mook tentang formasi kabinet pertama NIT. Tanggal 13 Januari 1947, Soekawati telah mengambil sumpah kabinet barunya dalam sebuah acara yang dihadiri oleh Gubernur Jenderal H.J. van Mook. Sejak itu, resmilah berdiri NIT dengan Soekawati sebagai presidennya.
Sebagaimana dituliskan dalam buku yang diterbitkan Kementerian Penerangan NIT yang berjudul Presiden kita P.J.M. Tjokorde Gde Rake Soekawati melawat dari poelau ke poelau di Negara Indonesia Timoer¸ ketika menjadi presiden, Soekawati melakukan kunjungan ke berbagai pulau di Timur untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya. Di Makassar, secara pribadi Soekawati mencoba meyakinkan unit-unit KNIL, bahwa pasukan federal ini, yang termasuk unsur-unsur mantan TNI, akan menjadi satu-satunya kesatuan militer yang akan datang (Gde Agung, 1996: 302). Di Ambon ia mencoba meyakinkan para penentang negara federal untuk bergabung bersama-sama membangun kawasan Indonesia timur dalam bingkai yang baru.
Tidak hanya di dalam negeri, Soekawati juga tercatat melakukan kunjungan ke luar negeri. Dia pernah melawat ke Negeri Belanda sebanyak dua kali. Pertama pada 24 Januari hingga 25 Februari 1947 dan kedua tanggal 7 September 1947. Pada kunjungan pertama ia bertemu Ratu Juliana dan Perdana Menteri Belanda, serta menyampaikan pidato di depan sidang Parlemen Belanda. Pada kunjungan kedua ia bertemu dengan Perdana Menteri Beel. Dalam pertemuan kedua itu, delegasi NIT mengharapkan pemerintah Belanda ikut membangun kawasan NIT, terutama ibukotanya Makassar, agar bisa dikembangkan sebagai bandar perdagangan internasional di kawasan itu atau sebagai “Amsterdam van de Oost” atau Amsterdam dari Timur (Sastrodinomo, 2019: 185).
Namun, kehadiran NIT mendapat kritikan tajam kaum Republik. Keberadaan negara itu dianggap sebagai negara boneka ciptaan Belanda yang akan mengganggu keutuhan kemerdekaan dan kedaulatan RI. Soekawati, Tadjoeddin Noor dan Nadjamoeddin Daeng Malewa dicerca, dikritik, diejek, dihina bahkan dikecam secara kasar dan terbuka di surat kabar-surat kabar Indonesia. Soeara Merdeka misalnya menyebut Soekawati sebagai “orang sakit”. Surat kabar itu menyindir Soekawati sebagai kaki tangan Belanda: “Kalau berpidato ia tidak loepa bahasa Belanda, dan selaloe pidatonja itoe ditoetoep dengan “Leve de Koningin!”, dengan Leve Van Mook!” dan – sebagai koentjinja – “Hou zee!”(Suwirta, 2007: 108). Sementara surat kabar Lasykar Merdeka, dalam sebuah catatan pojoknya, mengejek Soekawati dengan memplesetkan namanya menjadi “Soekamati” atau lebih baik mati (Suwirta, 1997: 211).
Hubungan NIT dan Republik semakin memburuk ketika Pemerintahan NIT pimpinan PM Nadjamuddin itu mendukung Agresi Militer Belanda I. Hubungan antara RI dan NIT baru kembali membaik setelah Perdana Menteri NIT berganti ke Anak Agung Gde Agung. Pada masa pemerintahannya, Anak Agung mendekatkan NIT dengan RI dan membantu RI dalam mendapatkan kedaulatannya atas Belanda. Anak Agung juga mencetuskan didirikannya BFO pada tahun 1948 yang memperjuangkan Indonesia sebagai negara federal. Pada masa Anak Agung juga para Republikiens atau pro Republik semakin berkembang dalam parlemen NIT (Mutawally, 2021: 13).
RIS akhirnya berdiri pada 27 Desember 1949 dan NIT kemudian bergabung menjadi negara bagian RIS. Namun negara-negara buatan Belanda terbukti tidak populer dan kebanyakan rakyatnya meminta pemerintah pusat RIS untuk mengintegrasi kembali negara-negara bagian tersebut ke dalam Republik Indonesia (Mutawally, 2021: 13).
Pada tanggal 21 April 1950, Soekawati berhasil merundingkan integrasi Negara Indonesia Timur ke dalam Republik. Pada tanggal itu, ia menyampaikan pesan ke pemerintah Republik agar NIT yang dipimpinnya dibubarkan dan bergabung kembali ke dalam RI. Pernyataan Soekawati ini mendapatkan dukungan dari seluruh daerah di NIT kecuali dari Maluku Selatan. Chris Soumokil dan golongan federalis bersama bekas anggota KNIL di daerah itu menentang upaya penyatuan itu dan menebar desas-desus kalau Negara Republik Indonesia akan mencaplok Negara Indonesia Timur (Gde Agung, 1966: 586-7; Gde Agung, 1996: 761-2). Mereka lalu melancarkan pemberontakan dengan mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS) pada akhir April 1950.
Pada 3-5 Mei 1950, Soekawati kemudian mengambil langkah yang lebih serius dalam upaya integrasi. Ia terbang ke Jawa untuk melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Moh. Hatta dan Presiden Negara Sumatra Timur, dr. Mansur, guna merencanakan proses integrasi NIT ke dalam Republik Indonesia (Mutawally, 2021: 11-12). Pada tahun itu juga NIT yang dipimpin Soekawati telah berintegrasi menjadi bagian dari NKRI. Tidak ada keterangan yang bisa dituliskan tentang rekam jejak Soekawati setelah itu. Soekawati meninggal pada tahun 1967 dalam usia 68 tahun (Ardhana, 2018: 6).
Penulis: Dedi Arsa
Referensi
Agung, Ide Anak Agung Gde & Linda Owens (1996), From the Formation of the State of East Indonesia Towards the Establishment of the United States of Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ardhana, I Ketut (2018), “Western Influence in the Bali Tourism Industry: The Arts, Love and Power”, Makalah dalam Seminar Nasional “Agama, Adat, Seni, dan Sejarah di Zaman Milenial” pada 5 Juli diselenggarakan UNHI & MSI, h. 1-12.
Bloembergen, Marieke & Martijn Eickhoff (2020), The Politics of Heritage in Indonesia: A Cultural History, USA: Cambridge University.
Cohen, Matthew Isaac (2016)¸ Inventing the Performing Arts: Modernity and Tradition in Colonial Indonesia, USA: University of Hawaii Press.
James, Jamie (2016), The Glamour of Strangeness: Artists and the Last Age of the Exotic, Farrar Straus and Giroux.
Kwee, Kek Beng (1948), Doea Poeloe Lima Tahon Sebagi Wartawan, 1922-1947, USA: University of California.
Mun, Cheong Yong (1982), H.J. van Mook and Indonesian Independence: A Study of His Role in Dutch-Indonesian Relations, 1945-48, Netherlands: Springer.
Mutawally, Anwar F. (2021), “State of East Indonesia (1946-1950) from Netherlands Puppet State and Return to Indonesia.” SocArXiv. 26 November, doi:10.31235/osf.io/ag9e2.
Picard, Michel (2002), Kebalian: Konstruksi Dialogis Identitas Bali, Jakarta: Gramedia.
Picard, Michel (2006), Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Jakarta: Gramedia & Forum Jakarta-Paris.
Sastrodinomo, Kasijanto (editor) (2019), Pusat Ekonomi Maritim Makassar dan Peranan Bank Indonesia di Sulawesi Selatan, Jakarta: Bank Indonesia Institute.
Suwirta, Andi (2007), “Dari Bandung ke Tasikmalaya 1945-1947”, Jurnal Sejarah: Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi, No. 13, hal. 102-116.
Suwirta, Andi (1997) “Karikatur dan Kritik Sosial pada Masa Reformasi Indonesia, 1945-47”, Prosiding Kongres Nasional Sejarah, 1996: Subtema Studi Komparatif dan Dinamika Regional, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, hal. 199-219.
Tian, Min (2018), The Use of Asian Theatre for Modern Western Theatre The Displaced Mirror, Netherlands: Springer.