Oei Kim Tiang
Oey Kim Tiang, biasa disingkat OKT, lahir di Tangerang pada tahun 1903 dan meninggal dunia pada 8 Maret 1995. Dia dikenal oleh penggemar cerita silat atau cerita prosa pada era 1940-an sampai 1970-an sebagai penulis penerjemah untuk karya yang sebagian besar cerita silat dan novel. Kontribusinya terletak pada penyebarluasan kesusastraan Melayu Tionghoa pada masyarakat. Pendidikan formal ditempuh di Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) yang setingkat sekolah menengah pertama. Kemampuan penerjemahan berkaitan dengan penguasaan bahasa Mandarin. Bagi keluarga Tionghoa yang meneruskan tradisi, bahasa Mandarin memang diinternalisasikan di lingkungan keluarga.
Pendidikan yang ditempuh di THHK mendukung kemampuan dan penguasaannya berbahasa Mandarin karena murid-murid yang belajar di sekolah ini diajarkan bahasa tersebut. Dari segi pendidikan tampaknya OKT tidak menempuh pendidikan tinggi, tetapi kemampuan menulisnya ditempa dari profesi jurnalistik di koran Perniagaan (Siang Po). Kemudian, dia bergabung ke koran Keng Po sejak dibentuk oleh Hauw Tek Kong pada tahun 1923 (Setiono, Benny G. 2008: 459) sampai berhenti terbit tahun 1957. Koran Keng Po tidak berlanjut terbit akibat pelarangan yang bersinggungan dengan afiliasi politik. Meskipun demikian, profesi OKT sebagai penulis tentu tidak ikut berhenti. Masih ada penerbitan-penerbitan serupa yang memuat penerjemahan OKT yang menghadirkan naskah asli ke bahasa Melayu (Indonesia). Ketelitian dan kerja keras dengan gaya bahasa yang tidak baku dimaksudkan untuk menghidupkan narasi sesuai pemahaman oleh seluruh tingkatan intelektualitas pembaca.
Cerita silat mulai bermunculan sejak awal abad ke-20 yang mencapai puncak popularitas pada pertengahan abad ke-20 atau tahun 1950-an. Kemunculan ini merupakan adaptasi dan modifikasi dari karya sastra Tionghoa dalam bentuk yang lebih populer. Tujuannya memudahkan pembaca memahami alur dan pesan-pesan. Tema umum dari cerita silat mengenai kebaikan dan kejahatan yang masing-masing direpresentasikan oleh tokoh protagonis dan antagonis, yang tentunya kebaikan membasmi kejahatan. Silat identik dengan istilah pendekar sehingga ungkapan atau kata pendekar menjadi kata kunci dari cerita-cerita silat, misalnya Hong San Lie Hiap (Pendekar Perempuan dari Hong San), Say Thauw Kway Hiap (Pendekar Gaib Berkepala Singa), dan Shoa Tang Tay Hiap (Pendekar dari Shoa Tang). Pada tahun 1950-an, OKT menerjemahkan cerita silat karya Wang Dua Lu, antara lain Po Kiam Kim Tje, Kiam Kie Tjoe Kong, Go Houw Tjhong Liong, Tiat Kie Gin Pan dan Ho HengKoen Loen, yang diterbitkan secara berseri di koran harian Keng Po. Pada kisaran tahun itu, OKT juga menerjemahkan karya-karya dari pengarang Liang Yu Sheng, Jin Yong, Ti Feng, yang diserupakan dari bahasa asli.
Sastra Tionghoa peranakan, yaitu sastra Melayu (bukan Tionghoa) karya Tionghoa Indonesia yang berkembang pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, telah diabaikan oleh sebagian besar intelektual Barat (khususnya Belanda) di Indonesia. Bahkan, peranakan sendiri, kecuali mereka yang berada di lapangan, tidak menyadari keberadaan sastra semacam itu. Sastra peranakan Tionghoa sesungguhnya telah muncul pada tahun 1870-an, maka kemunculannya hampir setengah abad sebelum munculnya sastra Indonesia modern (ditandai dengan diterbitkannya novel Indonesia pertama pada tahun 1922). Sastra Indonesia modern tidak muncul secara tiba-tiba, menurut Salmon, pasti bukan hanya kontribusi Balai Pustaka sebagai penerbitan yang disponsori oleh Belanda. Kontribusi yang tidak dapat dikesampingkan adalah karya sastra peranakan yang sesungguhnya berperan terhadap lahirnya sastra Indonesia modern, karya sastra lain yang termasuk dalam hal ini adalah Jawa, Sunda, Melayu, Aceh dan Bugis. Kontribusi karya sastra peranakan Tionghoa dapat dibuktikan dari drama, puisi, cerita pendek, novel, dan terjemahan yang jumlahnya ribuan, dan 806 penulis dan penerjemah yang diidentifikasi melalui daftar pustaka (Suryadinata 1982).
Karya sastra terjemahan atau saduran novel-novel dari China telah dilakukan pada tahun 1882 yang berlanjut pada tahun-tahun selanjutnya karena mendapatkan perhatian dari pembaca peranakan Tionghoa yang memunculkan penerjemah dari beberapa kota besar di Jawa (Setiono, t.t.: 392-393). Karya sastra jenis cerita silat mencapai puncak perkembangannya pada tahun 1950-an, permulaannya sudah dimulai pada awal abad ke-20. Pada tahun 1950-an mulai populer terjemahan cerita silat karya Chin Yung (Jin Yong) dan Lia Ie Shen (Liang Yushen) yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Oey Kim Tiang yang dilanjutkan oleh Oey An Siok karena OKT menderita sakit (Setiono 397).
Kisah tragedi percintaan cerita rakyat China yang berjudul San Pek Ing Tay dipentaskan oleh rombongan seni tradisional, seperti ludruk, ketoprak, dan lenong, telah menjadi bagian kisah haru. Di usia 85 tahun, OKT masih berminat menerjemahkan teks asli ke bahasa Indonesia yang diterbitkan menjadi buku. Dari seluruh rangkaian cerita diketahui bahwa kisah itu menyampaikan pesan romantika emansipasi perempuan memperjuangkan hak dan kewajiban. Melalui karya-karya terjemahan itu, jasa Oey Kim Tiang tetap dikenang terutama oleh pembaca.
Penulis: Samidi
Referensi
Setiono, Benny G. 2008. Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Mengungkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Transmedia Pustaka.
Suryadinata, Leo. 1982. Reviewed Work(s): Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography, Etudes Insulindies Archipel 3 by Claudine Salmon. In Southeast Asian Journal of Social Science, Vol. 10, No. 2, pp. 103-107.
URL: https://www.jstor.org/stable/24490815