Sukarni
Sukarni adalah tokoh pergerakan dan pemimpin pemuda pada masa revolusi Indonesia. Ia mempunyai nama lengkap Sukarni Kartodiwirjo, dilahirkan di Garum, Blitar, Jawa Timur pada 14 Juli 1916. Sukarni adalah anak kelima dari pasangan Kartodiwirjo-Supiah. Ayahnya adalah seorang pedagang daging yang cukup berhasil di Pasar Garum hingga meninggalnya pada tahun 1929. Sukarni muda mendapat pendidikan di Mardisiswo, MULO, Kweekschool, dan Volks-Universiteit (Universitas Rakyat). Di Universitas Rakyat, Sukarni masuk dalam kelompok Perguruan Umum Pendidik (POP) (Mustoffa, 1986: 34).
Sejak muda Sukarni sudah aktif dalam berbagai organisasi, seperti Indonesia Muda pada tahun 1930 hingga 1934. Di organisasi Indonesia Muda, Sukarni pernah mendapat pengkaderan politik oleh Sukarno, bersama dengan para pemuda lain seperti Wikana dan Trimurti (Wertheim, 1999: 245). Akibat aktivitasnya ini dirinya sempat diberi label bahaya dan diawasi kegiatannya oleh Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Sukarni sebenarnya sempat divonis penjara di Digul Papua dan akan segera menjalani masa tahanannya. Namun hal itu batal karena Perang Dunia II sudah meletus, dan Hindia Belanda diduduki oleh Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang, Sukarni bekerja sebagai pegawai kantor berita Antara, yang kemudian diubah namanya menjadi Domei. Namun dia tidak melanjutkan profesi ini dan memilih untuk bergabung dengan gerakan pemuda, khususnya yang berpusat di Jalan Menteng No. 31. Di tempat ini Sukarni menjadi ketua asrama. Berita menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, membuat Sukarni mendesak Sukarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Permintaan itu bahkan menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat antara golongan tua dan muda.
Sebagai wakil dari golongan muda, Sukarni terlibat dalam peristiwa Rengasdengklok 16 Agustus 1945, meskipun setelahnya kedua golongan kembali bersatu. Sukarni juga mengusulkan agar naskah proklamasi ditandatangani oleh Sukarno-Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan, pada 18 Agustus 1945 Sukarni membentuk Comite van Actie yang terdiri atas 11 orang pimpinan yang membawahi satu seksi. Khusus untuk seksi pemuda, dibentuklah API (Angkatan Pemuda Indonesia). Dalam komite ini Sukarni menjabat sebagai seksi pemerintahan dan urusan luar negeri. Melalui komite ini, dan didukung para pemuda yang tergabung dalam Menteng 31, ia menyebarluaskan berita proklamasi kepada masyarakat (Mustoffa, 1986: 33).
Saat menyebarkan berita proklamasi, Sukarni sempat berkenalan dengan Tan Malaka, yang waktu itu tergabung dalam PARI (Partai Republik Indonesia) (Poeze, 2010: 77). Perkenalan itupun berlanjut hingga pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Di kota ini Sukarni tergabung ke dalam PP (Persatuan Pembangunan) yang dipimpin Tan Malaka. Sukarni kemudian membentuk hubungan layaknya guru dan murid dengan Tan Malaka. Sukarni juga berkeinginan untuk menerapkan sosialisme di Indonesia untuk rakyat, dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi di Indonesia. Dalam kegiatannya PP menolak segala bentuk diplomasi dengan Belanda, sehingga mereka banyak mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah RI. Puncaknya saat peristiwa 3 Juli 1946 Sukarni terlibat dalam peristiwa kudeta, dan mendapatkan hukuman penahanan di Solo, Madiun, hingga Ponorogo.
Sukarni juga menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), namun dia kecewa karena menurutnya pembentukan KNIP bertentangan dengan semangat revolusioner, dan tidak dirasakan manfaatnya secara langsung oleh rakyat. Sukarni kemudian berinisiatif untuk mengadakan rapat pleno yang dihadiri para pemuda untuk mengubah format KNIP agar memenuhi unsur legislatif layaknya MPR dan DPR. Konsekuensinya muncullah keputusan nomor X pada 17 Oktober 1945. Peran Sukarni lainnya adalah mengusulkan agar anggota KNIP hasil pembentukan 17 November 1945 adalah untuk menjaga kedaulatan rakyat. Untuk itu ia mengusulkan agar keanggotaan KNIP diperluas dengan memasukkan unsur pemuda, petani, buruh, dan kaum sosialis. Dengan demikian pengaruh KNIP dalam masyarakat menjadi lebih luas. Usul itu diterima dan anggota KNIP diperluas menjadi 25 orang (Sutherland, 1983: 261).
Pada bulan November 1948 setelah peristiwa pemberontakan PKI Madiun, Sukarni mendirikan Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak). Partai Murba sendiri merupakan fusi dari Partai Rakyat, Partai Rakyat Djelata, dan Partai Buruh Merdeka. Di Partai Murba Sukarni menjabat sebagai ketua umum hingga wafatnya. Selain tergabung dalam partai politik, menjadi anggota KNIP, Sukarni juga menjadi anggota Konstituante, yang terpilih dalam Pemilu 1955. Selama menjabat sebagai anggota Konstituante, Sukarni dan Fraksi Partai Murba selalu berusaha mengusulkan agar UUD 1945 dijadikan panduan utama dan dikembangkan lagi sebagai undang-undang dasar baru. Usulan tersebut gagal, hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juni 1959. Untuk pertama kalinya semenjak didirikan, Partai Murba dan Sukarni memilih banting stir untuk mengambil sikap kooperatif dengan pemerintah.
Selama menjalin hubungan baik dengan pemerintah dan memimpin Partai Murba, Sukarni pernah menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk RRT (Republik Rakyat Tiongkok), yaitu antara tahun 1961 hingga Mei 1964. Hubungan baik ini tidak bertahan lama karena pada bulan Januari 1965 Partai Murba dibekukan oleh Presiden Soekarno. Hal itu disebabkan kritik keras yang dilontarkan kepada pemerintah. Sukarni sebagai ketua umum mendapat sanksi penjara, dan baru dibebaskan setahun kemudian. Partai Murba dan Sukarni akhirnya mendapat rehabilitasi sejak 17 Oktober 1966 (Mustoffa, 1986: 90).
Jabatan terakhir yang disandang Sukarni adalah anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) sejak 1967 hingga wafatnya pada 7 Mei 1971. Sukarni dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Penulis: Nugroho Bayu Wijanarko
Referensi
Abdullah, Taufik (2012). Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 7: Pascarevolusi. (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve).
Abdullah, Taufik (2012). Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 8: Orde Baru dan Reformasi. (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve).
Adams, Cindy (2018). Bung Karno: Prenyambung Lidah Rakyat. (Yogyakarta: Yayasan Bung Karno).
Kartodirdjo, Sartono (1992). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme Hingga Nasionalisme Jilid 2. (Jakarta: Gramedia).
Katoppo, Aristides (1981). 80 Tahun Bung Karno. (Jakarta: Sinar Harapan).
Mustoffa, Sumono (1986). Sukarni dalam Kenangan Teman Temannya. (Jakarta: Sinar Harapan).
Poeze, Harry (2010). Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 3: Maret 1947-Agustus 1948. (Jakarta: Yaysan Obror Indonesia).
Ricklefs, M.C. (2011). Sejarah Indonesia Modern 1300-2008. (Jakarta: Serambi).
Sutherland, Heather. (1983). Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Wertheim, W.F. (1999). Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.