Daan Mogot
Elias Daniel Mogot atau yang lebih dikenal sebagai Daan Mogot, adalah seorang tokoh penting dalam dunia militer pada saat awal pembentukan angkatan bersenjata di Indonesia. Ia lahir di Manado pada tanggal 28 Desember 1928. Ayahnya, Nicolaas Mogot, adalah Hakim Besar Ratahan. Nicolaas Mogot kemudian diangkat menjadi anggota Volksraad di Batavia dan kemudian menjabat sebagai Kepala Penjara Cipinang, sedangkan ibunya bernama Emilia Mien Inkiriwang. Sebagai anak seorang pejabat, Daan Mogot dapat bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Belanda, Eropa atau yang disamakan kedudukannya (Permana, 2021: 112).
Pada masa pendudukan Jepang, Daan Mogot termasuk pemuda pilihan yang bergabung dengan Seinen Dojo pada usia 14 tahun bersama rekannya Kemal Idris, Zulkifli Lubis, dan Supriyadi (Matanasi, 2015: 6). Daan Mogot menjadi salah satu siswa yang berprestasi sehingga dipromosikan menjadi pembantu instruktur PETA termuda. Mogot juga sempat membantu pembentukan PETA di Bali sebelum kembali ke Jakarta untuk bergabung dalam Markas Besar PETA yang gagal didirikan oleh pemerintahan Jepang. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Daan Mogot bergabung dengan BKR dan mendapatkan pangkat Mayor. Saat itu usianya baru 16 tahun (Oktorino, 2019: 145).
Pada bulan November 1945, Daan Mogot termasuk di antara para perwira Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Resimen IV yang menggagas pendirian Akademi Militer Tangerang (AMT). Maklumat pendirian itu disambut dengan antusias oleh para pemuda sehingga yang mendaftar mencapai lebih dari seribu orang. Meski begitu, jumlah kadet dan satu-satunya angkatan yang dikeluarkan oleh Akademi Militer ini hanya berjumlah 200 pemuda (Suryana, 1992: 126).
Akademi Militer Tangerang (AMT) bertujuan untuk mencetak kader-kader TKR untuk mengisi jabatan komandan seksi atau perwira berpendidikan militer dalam tempo sesingkat-singkatnya. Akademi ini dibuka pada 18 November 1945 dan dipimpin oleh Letnan Kolonel Singgih, namun yang menjadi Direktur pertamanya adalah Mayor Daan Mogot (Ekadjati dkk., 1987: 18).
Daan Mogot pula yang menggagas pelucutan senjata Jepang di Lengkong yang berujung pertempuran Lengkong 1946. Saat itu, pasukan TRI sedang khawatir karena ada kabar bahwa pasukan Sekutu sudah mencapai daerah Parung dan akan merebut depot senjata Jepang di Lengkong sehingga mengganggu kedudukan strategis Resimen IV dan Akademi Militer itu sendiri (Ekadjati dkk., 1987: 20). Saat itu, kebetulan di Markas Resimen Tangerang ada 10 orang tentara Inggris berkebangsaan India. Daan Mogot mempunyai ide untuk menggunakan para prajurit India tersebut. Idenya sederhana, mereka akan berunding dengan Jepang seakan-akan mewakili Sekutu (Saleh, 1995: 64).
Pada 21 Januari 1946, Para Prajurit AMT beserta sepuluh prajurit India-Inggris berangkat ke markas tentara Jepang di Lengkong. Pada awalnya rencana Daan Mogot berjalan lancar dan pasukan Jepang bersedia menyerahkan sebagian senjata yang dikuasainya. Namun saat Daan sedang berunding dengan Kapten Abe, komandan Jepang di Lengkong, terdengar suara letusan senjata yang menyebabkan terjadinya kesalahpahaman. Para tentara Jepang mencurigai ledakan itu adalah tanda penyerangan dari pasukan TRI sehingga mereka pun ikut melepaskan tembakan (Suryana, 1992: 127).
Terjadilah pertempuran yang tidak seimbang antara pasukan Jepang dengan prajurit AMT. Nahas, 33 Prajurit AMT gugur termasuk Daan Mogot, dan sisanya ditahan. Dr. J. Leimena kemudian memimpin diplomasi dengan tentara Jepang agar membebaskan mereka yang ditawan serta diijinkan menolong para prajurit yang terluka. Selain itu Dr. J. Leimena juga meminta agar jenazah para prajurit AMT dipindahkan untuk dimakamkan sebagaimana mestinya. Permintaan itu diterima dan jenazah Daan Mogot beserta prajurit lainnya pun dimakamkan kembali melalui upacara militer yang dihadiri oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir disertai oleh beberapa Menteri Kabinet (Madjiah, 1993: 62).
Penulis:Mulki Mulyadi
Referensi
Oktorino, Nino (2019) Keris dan Katana – Ikhtisar Sejarah Barisan peta dan Giyugun pada masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Saleh, R.H.A (1995) Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
Madjiah, Matia (1993) Dokter Gerilya, Jakarta: Balai Pustaka.
Matanasi, Petrik (2015) Tukang Becak Jadi Mayor TNI (Kisah Mayor Abdullah Pahlawan 10 November yang Terlupakan). Yogyakarta: Garudhawaca.
Ekadjati, Edi S. (1987) Monumen Perjuangan Daerah Jawa Barat. Jakarta: DEPDIKBUD.
Suryana, Nana dkk (1992) Sejarah Kabupaten Tangerang, Tangerang: Pemerintah Daerah Tk. II Tangerang.
Permana, Rahayu (2021) “Mayor Daan Mogot (1928-1946) Peran dan perjuangannya” dalam Journal of Social Sciences & Humanities “ESTORIA” UNINDRA PGRI Vol 1 No. 2.