Suryo

From Ensiklopedia
Revision as of 17:01, 25 August 2023 by Admin (talk | contribs) (Text replacement - "Category:Tokoh" to "{{Comment}} Category:Tokoh")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)

Gubernur Jawa Timur Suryo, akrab dipanggil Pak Soerjo, lahir pada Selasa Kliwon, 9 Juli 1896 di Kepatihan, Magetan, dan mempunyai nama lengkap Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo. Ayahnya bernama Raden Mas Wiryosumarto, yang waktu itu menjabat sebagai Ajun Jaksa Magetan. Pada saat pensiun ayah Raden Mas Soerjo menjabat sebagai Wedana Punung di Pacitan. Kakeknya dari garis ayah, bernama Raden Mas Wiryosukarto menjabat sebagai Patih di Magetan. Adapun ibunya bernama Raden Ayu Kusutiyah Wiryosumarto adalah adik Bupati Madiun, Raden Ronggo Kusnodiningrat. Bupati ini masih mempunyai hubungan kerabat dengan Raden Ronggo Sentot Prawirodirjo, yang menjadi panglima perang Diponegoro dalam Perang Jawa (Carey, 2012: 55).

Pendidikan Raden Mas Soerjo dimulai dengan masuk di Tweede Inlandsche School Magetan, atau yang dikenal dengan istilah Sekolah Ongko Loro. Setelah lulus, Raden Mas Soerjo melanjutkan pendidikan di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Magetan, dan kemudian melanjutkan pendidikan ke OSVIA (Opleidings School Voor Inlandsche Ambtenaren) Madiun, bahkan pernah pula belajar di Sekolah Polisi (Politie School) di Sukabumi pada 1923-1925. Selain itu, Raden Mas Soerjo juga pernah menempuh pendidikan di Bestuuracademie Batavia.

Raden Mas Soerjo menikah pada tahun 1926 dengan Raden Ayu Mustapeni, putri Bupati Magetan, Raden Adipati Ario Hadiwinoto. Pada tahun yang sama, Raden Mas Soerjo dipindahkan ke Kawedanan Madiun, untuk menjabat sebagai Asisten Wedana. Sebagai orang yang berpendidikan dan berkeluarga dari latar belakang pamong praja, Raden Mas Soerjo memulai karirnya dengan menjabat sebagai Gediplomeerd Inlandsch Ambtenaar pada 1918 di Ngawi. Lalu berturut-turut sebagai Mantri Veldpolitie di Madiun, Asisten Wedana Jetis, Wedana Pacitan (1926-1928), Wedana Gedeg (Mojokerto), Wedana Porong, Wedana Sidoarjo, Bupati Magetan, dan pada pendudukan Jepang menjabat sebagai Residen Bojonegoro (Soetjianingsih, 1982: 16).

Puncak karir Raden Mas Soerjo adalah diangkat menjadi Gubernur Provinsi Jawa Timur, sesuai dengan keputusan yang ditetapkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia) pada 18 Agustus 1945. Raden Mas Soerjo tiba di Surabaya pada saat konflik antara masyarakat Surabaya mulai meruncing dengan datangnya pasukan NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Usaha pertamanya adalah staf gubernuran, di antaranya seperti: Dul Arnowo, Roeslan Abdulgani, Mr. Dwijosewoyo, Bambang Suparto, dan beberapa tokoh penting lainnya, untuk membantu gubernur dalam tugas sehari-hari (Kahin, 1995: 178).

Usaha berikutnya adalah mempertahankan sistem pemerintahan hierarki terpusat, khususnya pola komunikasi dari atas ke bawah. Yakni dari Gubernur-Residen-Bupati- dan seterusnya. Raden Mas Soerjo selaku gubernur juga berkoordinasi dengan para pejuang yang tergabung dalam BKR (Badan Keamanan Rakyat), polisi, laskar dan para pemuda, serta turut mengundang seluruh residen di Jawa Timur untuk rapat koordinasi pada 25 Oktober 1945.

Dua pekan sebelum peristiwa 10 November terjadi, ketegangan antara penduduk Surabaya dengan pasukan Sekutu mulai meningkat. Situasi ini kemudian meledak dalam sebuah insiden pada 30 Oktober 1945, ketika terjadi kontak tembak antara pemuda Surabaya dengan pasukan Inggris, yang akhirnya menewaskan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby. Situasi semakin memburuk, dan pemimpin Sekutu di Surabaya digantikan oleh Mayor Jenderal E.C. Mansergh. Mayjen Mansergh menuntut agar semua penduduk Surabaya yang memegang senjata untuk menyerahkan diri kepada pihak sekutu. Tuntutan ini bahkan tidak mengindahkan keberadaan pemerintah provinsi Jawa Timur, sebagai wakil dari pemerintah Republik Indonesia.

Raden Mas Soerjo selaku Gubernur Jawa Timur merespon tuntutan Mayjen Mansergh, mengklarifikasi pernyataan tersebut dalam sebuah surat dalam bahasa Inggris, yang penulisannya diterjemahkan oleh Roeslan Abdulgani. Beberapa poin yang diklarifikasi oleh Gubernur Jawa Timur di antaranya adalah: (1) membantah bahwa Surabaya dalam keadaan bahaya, karena menurut gubernur yang terjadi keadaan sepenuhnya aman dan terkendali; (2) wilayah Surabaya yang diperbolehkan untuk diakses adalah kawasan Darmo dan Tanjung Perak, namun beberapa tentara sekutu malah mencoba masuk ke kawasan lainnya dan terjadi insiden; dan (3) menekankan bahwa pandangan pemerintah Provinsi Jawa Timur dan gubernur, masih menginginkan hubungan baik dengan pihak sekutu, selama di antara kedua belah pihak menginginkan perdamaian dan suasana harmonis.

Jawaban surat dari pihak sekutu yang diberikan oleh Mayjen Mansergh malah memberikan ultimatum agar seluruh warga Surabaya menyerah, karena jika tidak Surabaya akan digempur. Surat ini disebarkan melalui pamflet yang disebarkan pesawat udara pada 9 November 1945. Maka malam harinya Raden Mas Soerjo selaku Gubernur Jawa Timur, menyampaikan pidato pada pukul 21.00 WIB melalui RRI yang meminta semua warga Surabaya untuk tidak terpancing provokasi, dan tidak bertindak gegabah. Namun, setelah berkoordinasi dengan segenap laskar, pemuda, dan segenap masyarakat Surabaya, Raden Mas Soerjo kembali menyampaikan pidato pukul 23.00 WIB yang menyatakan bahwa seluruh rakyat Surabaya siap mempertahankan kota, dan mempertahankan kemerdekaan daripada dijajah kembali. Pidato ini dikenal dengan sebutan Komando Keramat, karena meyakinkan seluruh bagian masyarakat Surabaya dan rakyat Jawa Timur untuk mempertahankan kemerdekaan. Pidato tersebut sekaligus meyakinkan mereka untuk bertempur esok harinya, pada 10 November 1945 (Carey, 1986: 58).

Selama periode Revolusi Kemerdekaan, beberapa kali pusat pemerintah provinsi Jawa Timur harus dipindahkan dari Surabaya, antara lain seperti ke Mojokerto, dan Malang. Situasi itu berlangsung karena dikuasai Belanda, seperti misalnya pada Februari 1947, pusat pemerintah Provinsi Jawa Timur dipindahkan di Malang (Sapto, 2012: 65). Bahkan sidang ke 3 KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dilakukan di kota ini. Pada tahun 1947 Raden Mas Soerjo meletakkan jabatannya sebagai gubernur, untuk mendapat tugas baru sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) di Yogyakarta. Adapun posisi Gubernur Jawa Timur digantikan oleh Dr. Mujani.

Tugas sebagai anggota membuat Raden Mas Soerjo berpindah domisili di Yogyakarta. Meskipun demikian perkembangan keadaan di Jawa Timur juga mengkhawatirkannya, khususnya setelah tahun September 1948 dengan munculnya pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Madiun. Raden Mas Soerjo bermaksud untuk kembali ke Madiun untuk melihat keluarganya. Perjalanan itu kemudian dilakukan dengan resiko keamanan yang tidak terjamin. Bahkan saat tiba di Surakarta, Raden Mas Soerjo sempat diminta berhenti oleh Residen Surakarta waktu itu, Sudiro untuk menginap saja di Surakarta dan tidak perlu meneruskan perjalanan. Semula Raden Mas Soerjo menerima saran tersebut, dan menginap di kediaman Sudiro. Namun besok harinya, Raden Mas Soerjo melanjutkan perjalanan ke Madiun.

Pada tanggal 10 November 1948 saat tiba di wilayah Gendingan Ngawi, mobil Raden Mas Soerjo dihentikan oleh Maladi Yusuf, bekas pimpinan pemberontakan PKI Madiun. Pada saat yang sama, lewatlah mobil yang ditumpangi oleh Komisaris Besar Polisi (Kombespol) M. Duryat, dan Komisaris Polisi Soeroko yang hendak ke Yogyakarta. Ketiganya kemudian ditangkap oleh para gerombolan ke sebuah hutan. 4 hari kemudian, jenazah Raden Mas Soerjo ditemukan di desa Bangunrejo Lor, Kedunggalar, Ngawi. Raden Mas Soerjo kemudian dimakamkan di Sasono Mulyo. Atas jasa dan perannya itulah, Pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Raden Mas Soerjo atau Gubernur Soerjo sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 17 November 1964 berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 294 Tahun 1964. Selain itu, dibuat pula sebuah monumen di Kedunggalar Ngawi, untuk mengenang perjuangan beliau.

Penulis: Nugroho Bayu Wijanarko


Referensi

Abdullah, Taufik (ed.). 2012. Indonesia Dalam Arus Sejarah Jilid 6: Perang dan Revolusi. (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve).

Anderson, Bennedict. 1988. Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Jakarta: Sinar Harapan.

Carey, Peter (Peny.). 1986. Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

________ . 2012. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama Jawa, 1785-1855 Jilid 1. Jakarta: KPG.

Kahin, George Mc. Turnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. (Surakarta: UNS Press).

Poeze, Harry. 2010. Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 3: Maret 1947-Agustus 1948. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sapto, Ari. 2012. Sisi Lain Revolusi Indonesia: Gerilya Kota di Probolinggo. Malang: Adhitya Media.

Sutjianingsih, Sri. 1982. Gubernur Suryo. Jakarta: Depdikbud.