Sarmidi Mangunsarkoro

From Ensiklopedia
Revision as of 20:44, 28 August 2024 by Admin (talk | contribs)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Sarmidi Mangunsarkoro. Sumber: ANRI. Katalog Daftar Arsip Foto Personal, No. P05-0433

Ki Sarmidi Mangunsarkoro yang memiliki nama Sarmidi, lahir di Surakarta tanggal 23 Mei 1904. Ia adalah priyayi kecil anak seorang abdi dalem Keraton Surakarta bernama Mangunsarkoro atau dikenal Rangga Mangunsarkoro. Sarmidi masuk sekolah dasar milik pemerintah yang diperuntukan untuk pribumi pada tahun 1914 ketika berusia sepuluh tahun di Sekolah Angka Loro, Sawahan, Surakarta. Saat berusia 19 tahun tepatnya tahun 1923, ia melanjutkan sekolah di Technische School Prinses Juliana School (ST-PJS) Yogyakarta yang nantinya menjadi STM Jetis dan kini SMKN 2 Yogyakarta. Selama sekolah ia dikenal aktif sebagai Ketua Kelompok Studi Islam di kalangan siswa ST-PJS (Widada, 2018: 21, 30-32).

Sarmidi mulai mengenal dunia pergerakan pada tahun 1922 saat bergabung dengan Trikoro Dharmo yang kelak menjadi Jong Java. Ia banyak mempublikasikan tulisannya lewat majalah milik Jong Java yang bernama Soeara Afdeling Djogja. Bahkan pada tahun 1925 ia dipercaya sebagai pemimpin majalah tersebut. Kemudian menjadi Ketua Jong Java cabang Yogyakarta pada tahun 1926. Keaktifan Sarmidi dalam organisasi semakin meningkat ketika bergabung dengan Kridho Watjono (Widada, 2018: 58-59).

Lulus dari ST-PJS pada 1925 dengan gelar opzichter, Sarmidi tidak mengambil pekerjaan sebagai pengawas bangunan. Ia memilih menekuni bidang pendidikan dengan melanjutkan ke Sekolah Arjuna, Jakarta. Sekolah Arjuna yang didirikan oleh Nederlandsch-Indische Theosofische Bond voor Opvoeding memiliki atmosfir teosofi yang tinggi. Sarmidi pun masuk dalam perkumpulan teosofi bernama Young Theosophical Society (Widada, 2018: 35-38).

Setelah selesai sekolah di Sekolah Guru Arjuna, Sarmidi kembali ke Yogyakarta pada tahun 1926 menjadi pengajar di Taman Muda Perguruan Tamansiswa. Di sinilah ia mendapat gelar tambahan “Ki”, hingga dikenal sebagai Ki Sarmidi Mangunsarkoro. Selama menjadi guru ia tetap aktif dalam perkumpulan teosofi, ia bahkan menjadi ketua Jong Theosofien cabang Yogyakarta pada tahun 1927, serta masuk dalam Order der Dienaren van Indie dan menjadi anggota Social Filosofische Club de Regenbog. Sambil mengajar, Sarmidi melanjutkan pendidikan keguruan di Dreijarige Normaalcursus Djogjakarta pada tahun 1928. Akan tetapi, saat ujian akhir Sarmidi gagal (Widada, 2018: 38-43).

Pada Kongres Pemuda 1928, Sarmidi pidato membawakan gagasannya tentang pendidikan berjudul “Pentingnya Pendidikan Kebangsaan Bagi Pemuda”. Setahun kemudian, tepatnya tahun 1929 Sarmidi menikah dengan Sri Wilandari, seorang pamong di Tamansiswa yang juga aktif dalam pergerakan kebangsaan. Dari pernikahan tersebut, mereka dikarunia delapan orang anak, yaitu sepasang anak kembar yang meninggal saat dilahirkan, Nuswardhani Mangunsarkoro, Dharmakirti Mangunsarkoro, Artha Wardhani Mangunsarkoro, Wiyata Wardhani Mangunsarkoro, Yudhastawa Mangunsarkoro, Budhi Wardhani Mangunsarkoro (Widada, 2018: 61-63)

Setelah mengajar di Tamansiswa selama tiga tahun, ia pindah ke Jakarta pada tahun 1929 menjadi Kepala Sekolah HIS Budi Utomo dan HIS Marsudi Rukun. Atas permintaan penduduk di Kemayoran dan izin Ki Hajar Dewantara, pada 14 Juli 1929 Sarmidi Tamansiswa cabang Jakarta yang merupakan penggabungan dua sekolah yang dipimpinnya. Pendirian Perguruan Tamansiswa ini dibantu oleh Moh. Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi yang selanjutnya diangkat menjadi Ketua Majelis Cabang, sedangkan Sarmidi menjadi Ketua Majelis Perguruan. Pendiri lainnya adalah Angronsudirjo dan Basirun, warga Kemayoran. Perguruan tersebut didirikan di Jalan Garuda No. 71, Kemayoran. Tamansiswa cabang Jakarta semakin berkembang dengan membuka Taman Anak dan Kursus Guru. Kemudian Taman Muda (untuk kelas IV-VI SD) dan Taman Dewasa Raya (untuk siswa SMA) pada tahun 1933. Kegiatan Tamansiswa terus berlanjut dan terhenti tahun 1942 saat Pendudukan Jepang (Widada, 2018: 46-48).

Pada Kongres Tamansiswa pertama di Yogyakarta, 13 Agustus 1930. Sarmidi bersama anggota lainnya diangkat menjadi Majelis Luhur yang bertugas memajukan, menggalakkan, dan memodernisasikan Tamansiswa. Sarmidi juga diberi tugas untuk menyusun Daftar Pelajaran Baru. Daftar Pelajaran yang dibuatnya menekankan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pelajaran. Tugas ini selesai pada tahun 1932 dan disahkan dalam kongres berjudul Daftar Pelajaran Mangunsarkoro. Buku tersebut dicetak ulang pada tahun 1935 dengan pesan pokok yang menarik sebagai berikut: “Harga sesuatu orang adalah terletak dalam bisa tidaknja berdiri sendiri sebagai manusia, dengan teguh dan tetap. Lebih tinggi harga itu djika dia djuga bisa turut membantu orang lain dalam kemadjuan” (Widada, 2018: 51)  

Tugas Sarmidi setelah merancang buku tersebut adalah diangkat sebagai Ketua Departemen Pendidikan dan Pengajaran Majelis Luhur Tamansiswa merangkap Pemimpin Umum Taman Siswa Jawa Barat 1932-1940 (Widada, 2018: 38-52). Kontribusi Sarmidi di Tamansiswa sangat besar, bahkan pemikirannya dianggap sangat penting dan pelengkap gagasan Ki Hajar Dewantara (Majelis Luhur Tamansiswa, 1976: 211)

Selain aktif di Tamansiswa, Sarmidi juga aktif dalam pengurus besar Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Keanggotaannya dimulai sejak KBI dirintis tahun 1930 hingga tahun 1938. Dalam KBI, Sarmidi konsisten menganjurkan gerakan kepanduan nasional bebas dari pengaruh Pemerintah Belanda. Di tengah kesibukannya, Sarmidi masih semangat untuk mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum, Jakarta (Widada, 2018: 40, 52-53).

Sarmidi tidak hanya aktif dalam bidang pendidikan. Tahun 1927, ketika Partai Nasional Indonesia (PNI) didirikan, Sarmidi masuk menjadi anggota dan mendukung tujuan dan perjuangan partai. Akan tetapi pada 2 Desember 1929 PNI dibubarkan (Soenario, 1988: 30). Setelah PNI bubar, Sarmidi aktif lewat Partindo dan dipercaya sebagai Ketua Badan Pendidikan. Partai ini berani mengadakan gerakan swadesi yaitu gerakan menghargai dan menggunakan karya budaya bangsa, dengan cara para pemimpin Partindo termasuk Sarmidi mengenakan peci dan sarung sebagai cara berpakaian sehari-hari. Gerakan ini baru berakhir pada masa Pendudukan Jepang dan mereka kembali mengenakan pantalon, namun Sarmidi terus mengenakannya hingga tahun 1950 ketika Indonesia benar-benar bebas dari pengaruh asing. Partindo bubar pada tahun 1936, Sarmidi melanjutkan pergerakan dengan bergabung ke Partai Gerindo dan tetap dipercaya sebagai Ketua Badan Pendidikan. Pada saat bergabung dengan Gerindo, Sarmidi sering menulis di majalah Sin Tit Po. Ia juga sering menulis dengan nama pena ”Datoek Negara” dan menjadi pemimpin di majalah “Kebudayaan dan Masyarakat” (Widada 2018: 67-71).

Pada masa Pendudukan Jepang, Sarmidi bekerja di Djawa Hokokai sebagai Kepala Bagian Penerangan. Tahun 1943-1945, Sarmidi menjadi Kepala Bagian Kebudayaan dan Pendidikan Kantor Pusat Djawa Hokokai dan memimpin majalah “Indonesia Merdeka” yang merupakan bagian dari Djawa Hokokai juga (Widada, 2018: 72).

Setelah kemerdekaan, Sarmidi aktif dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada sidang 29 Agustus 1945, Sarmidi merupakan sekretaris sidang. Selaku badan legislatif sementara, KNIP harus mengesahkan hasil Perundingan Linggarjati. Dalam sidang tersebut Sarmidi menentang dengan sengit isi Perjanjian Linggarjati. Hingga para pendukung Perjanjian Linggarjati sangat jengkel dan mengatakan, “Ki Sarmidi ngengkel” (Widada, 2018: 79-85). Dalam BP-KNIP Sarmidi pernah menjadi Ketua Fraksi PNI yang tegas menolak Perjanjian Renville. Ia menjelaskan bahwa, “Perjanjian gencatan senjata yang sudah berlaku sebelum tercapai persetujuan politik yang akan menetapkan status republik selanjutnya merugikan republik” (Soenario, 1988: 61-73). Dalam rapat BP-KNIP yang dipimpin Mr. Assaat, Mangunsarkoro pernah mengusulkan agar Badan Pekerja, seperti Adam Malik dan Sukarni, yang ditahan pemerintah dibebaskan kembali. Supaya mereka dapat mengeluarkan pendapatnya (Toer dkk., 1999: 523).

Keanggotaan Sarmidi dalam partai politik terus berlanjut hingga Indonesia merdeka. Ia tercatat sebagai ketua dan pendiri Serindo (Serikat Rakyat Indonesia) yang didalamnya terdiri dari para mantan anggota PNI, Partindo, dan Gerindo. Pada 29-31 Januari 1946 pada masa Kabinet Sjahrir I semua partai tersebut difusikan menjadi PNI dan Sarmidi tetap aktif didalamnya. Kemudian pada 22 Februari 1946, dari hasil Kongres Kediri yang merupakan Kongres PNI I sesudah proklamasi Sarmidi ditunjuk menjadi ketua dari beberapa partai yang melakukan fusi (Toer dkk., 1999: 41-42). Pada Kongres PNI II hingga VII (1947-1956) Sarmidi terus terlibat dan mendapatkan tugas penting mulai dari wakil ketua departemen politik, ketua dewan politik, wakil ketua umum dewan partai, anggota dewan pimpinan, dan wakil ketua umum I. Sarmidi juga pernah menjadi salah satu penulis “Penjelasan Marhaenisme” yang dijadikan “Manifes Marhaenisme” dalam Kongres PNI VI (Soenario, 1988: 58-92). Setelah Pemilu 1955 Indonesia berhasil membentuk DPR dan konstituante, Sarmidi dipercaya PNI sebagai Ketua Fraksi di DPR dan wakil PNI di konstituante (Widada, 2018: 94)

Pada saat Agresi Militer Belanda II, Sarmidi pernah ditahan di Penjara Wirogunan, bahkan rumahnya di Yogyakarta pernah digeledah oleh Belanda. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), Sarmidi pernah menjadi Menteri PP & K di Republik Indonesia yang merupakan salah satu bagian dari RIS. Selama menjadi menteri, ia berhasil membuat UU Pendidikan yang rancangannya sudah disusun sejak tahun 1948 oleh Mr. Ali Sostroamidjojo Menteri PP & K sebelumnya. Saat menjadi menteri, ia pernah ditawari buku untuk Perpustakaan Negara oleh Belanda. Dengan tegas ia menyatakan mau menerima jika pemberian tersebut tidak disertai dengan ikatan apapun dan juga sebaliknya jika Belanda membutuhkan buku-buku Indonesia ia akan memberi. Setelah tidak menjadi menteri, Sarmidi tetap aktif dalam dunia pendidikan dan kebudayaan diantaranya: mendirikan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, mendirikan Konservatori Karawitan di Surakarta, dan ikut dalam pendirian Universitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta (Widada, 2018: 89)

Sarmidi meninggal di usia 53 tahun, pada 8 Juli 1957, setelah menghadiri Sidang Konstituante pada Juni 1957 di Bandung yang membahas UUD 1945 dan Pancasila. Sebelumnya ia dibawa ke RSUP Jakarta dan didiagnosis menderita influenza, verdaag thypus, dan herzen verdaag thypus (komplikasi radang selaput otak). Jenazah langsung dibawa ke kediamannya di Jalan Jogja 37 Menteng, disemayamkan di Gedung PNI Jalan Salemba Raya. Dimakamkan di Makam Wijaya Brata, Komplek Makam Tamansiswa. Pada 8 November 2011, Sarmidi dianugrahi sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah RI (Widada, 2018: 19, 103-104).

Beberapa karya Sarmidi tersimpan di Perpustakaan Nasional yaitu: Politik Marhaenis (1952), Masjarakat Sosialis (1951), Peringatan Lima Tahun Jajasan Wakaf Perguruan Tinggi Islam Djakarta (1955), Kursus Politik Populer (1951), Kebudajaan Rakjat (1951), dan Ilmu Adab dan Kemasjarakatan (1956). Selain buku-buku tersebut masih banyak karya tulis Sarmidi yang keberadaannya tersebar di berbagai tempat.

Penulis: Dini Nurlelasari


Referensi

Majelis Luhur Taman Siswa (1976) Pendidikan dan Pembangunan 50 Tahun Taman Siswa. Yogyakarta: Taman Siswa Yogyakarta.

Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil (1999) Kronik Revolusi Indonesia Bagian II (1946). Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dan Yayasan Adikarya IKAPI, dan Ford Founation.

Soenario (1988) Banteng Segitiga dengan Indonesia Menggugat. Jakarta: Yayasan Marinda.

Widada. R.H (2018) Guru Patriot: Biografi Ki Sarmidi Mangunsarkoro. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.