Sarino Mangunpranoto

From Ensiklopedia
Revision as of 23:00, 12 September 2024 by Admin (talk | contribs)
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)
Sarino Mangunpranoto. Sumber: Koleksi Perpustakaan Nasional RI, No. Panggil - L0889


Sarino lahir di desa Kuripan Bagelen, sebagai anak dari pasangan Nur Ali (Manguntiko) dan Ibu Ridah (Sumardi 1986: 1, 2, 4; Lucas 1983: 133).  Pada usia 8 tahun dia bersekolah di Hollands-Inlandsche School (HIS) di Purworejo. Di kota ini dia mengikuti kursus bahasa Belanda di Purworejo, Hollands Cursus Vooruit. Tahun 1921, dia bersekolah di Hollands Inlandsche School (HIS) di Gombong, Kebumen. Lima tahun kemudian dia menyelesaikan pendidikan di HIS, namun gagal masuk di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) negeri. Kemudian Sarino masuk di sekolah guru (Kweekschool) Tamansiswa di Yogyakarta. Di sinilah kepribadian dan pemikirannya ditempa, terutama di bawah asuhan Ki Hadjar Dewantara.

Sejak tahun 1929 hingga 1943 dia menjadi guru (pamong) dan kepala sekolah di sekolah Tamansiswa di Pemalang (Sumardi, 1986: 2-4). Dia melengkapi kemampuannya sebagai seorang pamong dengan mengikuti kegiatan politik dengan harapan dapat memperjuangkan sekolah Tamansiswa yang di masa penjajahan Belanda dianggap sebagai sekolah liar (Lucas, 1983: 133-35). Dia bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo). Dia juga terlibat dalam kursus-kursus politik untuk organisasi pergerakan itu. Sikap simpatik Sarino pada pergerakan nasional menjadikan sekolah Tamansiswa di Pemalang sebagai tempat rapat yang aman bagi berbagai kelompok nasionalis.

Tahun 1936 dia menikah dengan Subagyati, anak dari R. Pranotowisastro, seorang pegawai pegadaian di kota tersebut (Sumardi, 1986: 4-6). Melalui pernikahan ini, mereka dikaruniai lima orang putra dan seorang putri, satu dari putra lelakinya meninggal lebih 40 hari setelah ibu sang bayi wafat ketika melahirkan, 23 Januari 1947. Sarino, yang sejak tahun 1943 bertempat tinggal di Pati, kemudian pindah ke Pekalongan dan menitipkan anak-anaknya kepada mertuanya, dan dia tidak pernah menikah lagi. Sejak saat itu, perhatiannya tumpah pada kegiatan kebangsaan terutama terkait dengan pendidikan.

Perhatian Sarino terhadap pendidikan bangsa telah terbentuk sejak bersekolah di Tamansiswa. Dia berpandangan bahwa tujuan pendidikan itu bukan semata transformasi pengetahuan, namun mengembangkan akal agar dapat mengembangkan daya dan gaya hidup yang mandiri (Sumardi, 1984: 2; HP 1986: 155). Oleh karenanya, pendidikan vokasi dan kedesaan menjadi perhatiannya juga (Sumardi, 1984: 3, 7-8). Dia mempelajari pendidikan vokasi ini di Amerika Serikat, beberapa negara Eropa, Asia, dan Pasifik.

Dia pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan pada kabinet Ali Sastroamidjoyo II (24 Maret 1956–9 April 1957). Pada tahun 1962 hingga 1966 menduduki posisi sebagai Duta Besar RI di Hongaria (Lucas, 1983: 135; HP 1986: 8, 154; Sumardi, 1984: 7). Sepulang menyelesaikan tugasnya di Hongaria dia diminta menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Ampera (25 Juli 1966-11 Oktober 1967). Tanggal 17 April 1976, Sarino mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari IKIP Malang. Sarino sempat menggagas pendirian Sekolah tinggi Teknologi di bukit Pengasih, selatan Yogyakarta. Namun gagasan ini tidak berhasil diwujudkan karena mendadak meninggal dunia pada 17 Januari 1983 (Sumardi, 1984: 8-9).

Penulis: Johny Alfian Khusyairi
Instansi: Universitas Airlangga
Editor: Prof. Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum


Referensi

HP., Suradi, Mardanas, Safwan, Djuariah Latuconsina, Samsurizal. 1986. Sejarah pemikiran pendidikan dan kebudayaan, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Lucas, Anton. 1983. “In Memoriam: Ki Sarino Mangunpranoto, 1910-1983”, dalam Indonesia, No. 35, hlm. 133-137

Sekretariat DPR-GR. 1983. Seperempat abad Dewan Perwakilan Rakjat Republik Indonesia, Jakarta.

Sumardi, S., dkk. 1984. Menteri-menteri pendidikan dan kebudayaan sejak tahun 1966, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.