Suwarto
Perwira Angkatan Darat kelahiran Semarang, 5 Desember 1921 ini tentu layak dijuluki sebagai Bapak Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Selanjutnya akan ditulis Seskoad). Sejak ditugaskan di Seskoad pada 1959, Letnan Jenderal Suwarto pelan-pelan berhasil menjadikan Seskoad sebagai sebuah wadah berpikir (think tank), alih-alih sekadar sekolah lanjutan yang menunjang karir perwira.
Sebelum menjadi prajurit, Suwarto muda sempat berkuliah di Jurusan Kimia di Technische Hogeschool Bandung. Ketika Jepang menduduki Indonesia, Suwarto terpaksa berhenti kuliah dan mengikuti pelatihan milisi pribumi seksi artileri yang diselenggarakan oleh KNIL. Keikutsertaan Suwarto pada pendidikan ini membuatnya tak bisa bergabung dengan PETA (Seskoad, 1967: 11).
Masa Kemerdekaan kemudian memberikan Suwarto kesempatan untuk berkhidmat dengan tentara pelajar. Pada 1948, Suwarto bergabung dengan Batalyon Nasuhi yang berkedudukan di Jawa Barat, dan sejak saat itu dirinya lekat dengan Divisi Siliwangi, pasukan legendaris yang berlogo harimau tersebut (Seskoad, 1967: 12).
Selepas bertugas di beberapa tempat di Jawa Barat, Suwarto mengikuti kursus Infanteri lanjutan di Fort Benning, Georgia, Amerika Serikat pada 1954 (Seskoad, 1967: 12). Empat tahun kemudian, ia kembali berdinas belajar di US Command and General Staff College (setara Seskoad di Indonesia) di Fort Leavenworth, Kansas. Selain Suwarto, banyak perwira AD lain yang mengikuti kursus ini. Profil lulusannya pun serupa: anti-komunis dan aktif bekerjasama dengan Amerika Serikat (Robinson, 2019: 338).
Setelah menyelesaikan pendidikan di Fort Leavenworth, Suwarto kembali ke tanah air dan berdinas di Seskoad, lembaga yang kemudian ia besarkan. Kurang dari satu tahun, karir Suwarto meroket dari dosen biasa menjadi Wakil Komandan Seskoad. Sejak menjadi orang nomor dua di sekolah yang berkedudukan di Bandung inilah Suwarto mulai mengupayakan perluasan peran Seskoad (Seskoad, 1967: 12).
Pada Seminar I Seskoad yang diselenggarakan di bawah koordinasinya, ia menyampaikan bahwa perang di masa modern harus berpijak pada “pembinaan dan stabilitas wilayah.” Sementara, pembinaan dan stabilitas tersebut tidak dapat dicapai semata-mata melalui cara militer melainkan pendekatan sosial-politik yang kala itu populer dengan istilah “kekaryaan” (Seskoad, 1967: 13).
Sejak menjabat sebagai komandan Seskoad pada 15 Juni 1966, Suwarto leluasa menjadikan Seskoad sebagai pusat kajian angkatan darat yang mendukung peran politik tentara dan upaya mendelegitimasi Sukarno. Melalui Seminar Angkatan Darat II yang dilaksanakan dua bulan setelah ia menjadi komandan Seskoad, TNI AD sepakat untuk merevisi doktrin Tri Ubaya Çakti yang penyusunannya disponsori oleh Sukarno. Doktrin ini berporos pada Nasakom dan lebih menaruh perhatian pada imperialisme barat sebagai ancaman utama Indonesia, alih-alih komunisme (Seskoad, 1967: 13).
Suwarto pula dikenal karena kedekatannya dengan sebuah lembaga riset AS bernama Rand Corporation (Seskoad, 1967: 12). Kedekatannya dengan lembaga riset yang dibiayai oleh CIA ini kemudian terwujud pada diundangnya beberapa peneliti Amerika Serikat sebagai pengajar di Seskoad seperti Guy Pauker yang melakukan riset-riset mendalam tentang PKI. Selain itu, sepulangnya dari kantor pusat RAND di Santa Monica, Mayjen Suwarto mendorong publikasi The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia. Publikasi tentang peristiwa 30 September 1965 ini disusun untuk menandingi Cornell Paper karya Benedict Anderson dan Ruth McVey, dua Indonesianis dari Universitas Cornell (Kate McGregor, 2007: 66).
Suwarto meninggal dunia pada 28 September 1967 di Bandung. Pada upacara pemakamannya, Presiden Suharto menaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal Anumerta. Semasa hidupnya, Suwarto beristri Sutini Sumardi dan memiliki enam orang anak. Dua di antaranya, Julianti dan Juliantini, adalah anak kembar (Seskoad, 1967: 14).
Penulis: Satrio Dwicahyo
Instansi: Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
McGregor, Katharine E. History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past. Singapore: NUS Press, 2007.
Robinson, Geoffrey. The Killing Season a History of the Indonesian Massacres, 1965-66, 2019.
Suwarto. Himpunan Karangan Letnan Djenderal Anumerta Suwarto: Volume 1. Bandung: Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, 1967.