Konferensi Inter-Indonesia

From Ensiklopedia
Revision as of 13:08, 11 August 2023 by Admin (talk | contribs) (Text replacement - "Penulis : Julianto Ibrahim" to "{{Penulis|Julianto Ibrahim|Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada|Dr. Farabi Fakih, M.Phil.}}")
(diff) ← Older revision | Latest revision (diff) | Newer revision → (diff)

Konferensi Inter-Indonesia adalah konferensi antara pemerintah Indonesia dengan Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO atau Majelis Permusyawaratan Federal) tanpa campur tangan Belanda yang diselenggarakan dua kali yaitu tanggal 20-23 Juli 1949 di Yogyakarta dan 31 Juli-2 Agustus 1949 di Jakarta (Abdullah & Lapian 2012: 477). Tujuan diselenggarakan konferensi ini adalah upaya menyamakan pandangan dari pihak RI dengan BFO untuk menghadapi Belanda dalam sidang Konferensi Meja Bundar (KMB) (Agung 1985: 560).

Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 membuat BFO bereaksi dan memutuskan untuk melakukan pembicaraan untuk kesekian kali di Jakarta (Agung 1985, 483).  Dalam pembicaraan itu diputuskan untuk segara membentuk pemerintah federal sementara dan mengikutsertakan pemimpin-pemimpin RI yang ditawan di Bangka dalam pemerintahan federal sementara tersebut (Abdullah & Lapian 2012: 474). Kesempatan ini dapat terwujud setelah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah resolusi pada tanggal 28 Januari 1949. Pada tanggal 7 Februari 1949 BFO mengutus Anak Agung Gde Agung memimpin delegasi melakukan pembicaraan dengan pemimpin-pemimpin RI di Muntok Bangka, terdiri dari Presiden Sukarno, Wakil Presiden Muhammad Hatta, Johannes Leimeina, dan H. Agus Salim. Presiden Sukarno menyatakan bahwa RI bersedia berunding dengan pemerintah federal sementara dengan persyaratan BFO mengakui para pemimpin RI di Muntok sebagai pemimpin suatu negara yang sah (Gde Agung,1985: 225; Abdullah & Lapian 2012: 475).

Keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949 dan Perjanjian Roem Royen tanggal 7 Mei 1949 membuka jalan yang lebih lebar bagi terselenggaranya pertemuan antara pemerintah RI dengan BFO sebelum menghadapi Belanda dalam sidang KMB (Margana dkk. 2021: 57; Harnoko 2020). Pada Maret-April 1949, selagi UNCI mempersiapkan pertemuan Roem Royen, BFO sudah merencanakan sebuah “Konferensi Inter-Indonesia” sebagai bagian dari langkah pendekatan mereka dengan Republik Indonesia (Abdullah & Lapian, 2012: 477). Rencana BFO itu dibicarakan dalam rapat tanggal 14 April 1949 yang membahas mengenai pentingnya pembicaraan dengan pemerintah RI sebelum adanya rencana penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari rapat itu, BFO mengutus Mr. Kosasih Purwanegara ke Yogyakarta untuk membicarakan teknis pelaksanaan Konferensi Inter-Indonesia (Putro 2018: 39).

Konferensi Inter-Indonesia I diselenggarakan di Hotel Toegoe Yogyakarta pada tanggal 20-23 Juli 1949 dengan ketua penyelenggara seorang tokoh NIT yaitu Mr. Tadjuddin Noor dan ketua sidang pleno dipercayakan kepada Wakil Presiden Muhammad Hatta (Sudirjo 1975: 289; Harnoko 2020). Hasil Konferensi Inter- Indonesia I adalah: 1) negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS); 2) RIS akan diketuai oleh Presiden Konstitusional dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab terhadap Dewan Perwakilan Rakyat; 3) Akan dibentuk 2 badan perwakilan yakni sebuah Dewan Perwakilan Rakyat dan sebuah Dewan perwakilan Negara Bagian (senat); 4) Pemerintah federal sementara akan menerima kedaulatan bukan saja dari pihak Belanda, melainkan juga dari Republik Indonesia (Harnoko 19 Juli 2020).

Konferensi Inter-Indonesia II diselenggarakan di Gedung Indonesia Serikat Jakarta pada tanggal 31 Juli-2 Agustus 1949 dengan pimpinan sidang pleno adalah Sultan Hamid II. Konferensi ini membahas pokok persoalan yang lebih luas, yaitu 1) ketatanegaraan; 2) keuangan dan perekonomian; 3) keamanan; dan 4) kebudayaan (Abdullah & Lapian 2012: 478). Pada konferensi ini, pemerintah RI dan BFO menyetujui pembentukan “Komisi Persiapan Nasional” yang bertugas menyelenggarakan susana tertib sebelum dan sesudah Konferensi Meja Bundar (Harnoko 19 Juli 2020).

Konferensi Inter-Indonesia memiliki arti penting dalam perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia dengan menghilangkan segala kecurigaan dan keragu-raguan yang tercipta akibat pengalaman masa lalu. Keputusan terpenting dari konferensi ini adalah bahasa resmi dari negara RIS adalah bahasa Indonesia dan bendera nasionalnya adalah Merah-Putih. Konferensi ini merupakan alat pemersatu dan senjata pamungkas terhadap segala usaha memecah belah yang datang dari dalam maupun luar yang hal ini memberi keuntungan pada sidang KMB di Den Haag nantinya (Abdullah & Lapian 2012: 478).

Penulis: Julianto Ibrahim
Instansi: Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.


Referensi

Abdullah, Taufik dan Lapian, A.B. (2012). Indonesia Dalam Arus Sejarah: Perang dan Revolusi. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Agung, Ida Anak Agung Gde. (1985). Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press.

Harnoko, Darto. (2020). “Sidang konferensi Inter Indonesia I di Yogyakarta”, http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/sidang-konferensi-inter-indonesia-i-di-yogyakarta/, diunduh 10 Juni 2022.

Margana, S., dkk. (2021). Naskah Akademik Serangan Umum 1 Maret 1949. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Putro, Widhi Setyo. (2018). “Konferensi Inter Indonesia Tahun 1949: Wujud Konsensus Nasional Antara republik Indonesia dengan Bijeenkomst voor Federaal Overleg”, Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No.1.

Sudirjo, Radik Utoyo. (1975). Album Perjuangan Kemerdekaan, 1945-1950. Jakarta: Penerbit Alda.