Abikoesno Tjokrosoejoso

From Ensiklopedia
(Sumber: Dok. Museum Perumusan Naskah Proklamasi)

Abikoesno Tjokrosoejoso adalah tokoh penting pergerakan antikolonial pada awal abad ke-20. Ia lahir di Delopo, daerah Madiun, pada 15 Juni 1897. Ayahnya bernama Raden Mas Tjokroamiseno, seorang pamong praja dengan jabatan terakhir Wedono Distrik Kanigoro, Madiun. Abikoesno Tjokrosoejoso adalah anak kedelapan dari dua belas bersaudara. Kakak keduanya adalah tokoh populer yang sangat berperan dalam Sarekat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto (Suratmin, 1982).

Sebagai keluarga terpandang dan seorang anak yang cerdas, Abikoesno kecil dapat bersekolah di Koningin Emma School Surabaya, sekolah Kejuruan Menengah Belanda di Surabaya dan berhasil lulus pada 8 Juni 1917. Berkat kecerdasan dan kemampuan yang dimilikinya, ia dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan mengikuti kursus tertulis untuk profesi arsitek. Pendidikan ini dilakukan dengan korespondensi menggunakan diktat-diktat yang dikirim dari Belanda tanpa dosen. Hal ini dapat dilakoninya secara otodidak. Meskipun demikian, Abikoesno berhasil lulus ujian dari Kantor Pekerjaan Umum (Burgerlijke Openbare Werker–BOW) pada tanggal 7 Februari 1925 di Batavia.

Sifat kritis dan tegas terhadap diskriminasi kebijakan pemerintah Belanda kepada rakyat Pribumi sudah terlihat sejak usia muda. Pada usia 21 tahun, ia berbicara dalam kongres Sarekat Islam III sebagai wakil dari Surabaya. Abikoesno melontarkan kritik terhadap kebijakan pengelolaan tanah perkotaan oleh pemerintah Belanda dan pribumi yang berat sebelah kepada kalangan Eropa (SI Congress, 1918: 20). Pada 1923 ia menjadi pengurus SI Kediri sembari memimpin majalah mingguan Sri Joyoboyo. Sri Joyoboyo dapat berkembang pesat karena merupakan satu-satunya mingguan yang terbit di Kediri dan wilayah Jawa Timur bagian selatan. Majalah ini makin tersebar luas karena isinya yang membuka cakrawala baru para pembacanya. Selain isinya yang aktual dan faktual juga seringkali memuat berita dan kritik terhadap tingkah laku dan penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat Pemerintah Hindia Belanda. Abikoesno muda pun turut menghadiri kursus-kursus politik dan pertemuan rutin yang dilakukan oleh H.O.S. Tjokroaminoto yang melibatkan pelajar dan mahasiswa. Pembahasan terkait masalah akademis dan idealistis. Pertemuan-pertemuan ini sering diikuti oleh Sukarno, Alimin, Muso, Harmen Kartowisastro, Sampurno dan lain-lain. (Departemen Pekerjaan Umum, 1990: 12 dan Kharisma, 2021).

Seiring dengan perkembangan sosial dan politik di Indonesia, SI sempat bermetamorfosis dan berganti beberapa kali yaitu CSI (Central Sarekat Islam), PSI (Partai Sarekat Islam tahun 1923) dan PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia pada 1929). Sepeninggal H.O.S. Tjokroaminoto yang wafat pada 17 Desember 1934, terjadi perpecahan internal di dalam tubuh PSII. Hal ini disebabkan karena semakin meruncingnya perbedaan pandangan antar para pengurus partai. Polemik ini dibawa hingga ke Kongres Majelis Taklim di Malang pada 8-12 Juli 1936. Hasil dari kongres tersebut membawa Abikoesno menjadi pimpinan PSII (Azra, 2014: 290). Polemik dalam tubuh PSII semakin meruncing karena bawah kepemimpinan Abikoesno, PSII secara tegas memberlakukan politik hijrah dan melaksanakan sikap non-kooperasi terhadap pemerintah Hindia Belanda. Hal ini ditentang oleh Agus Salim sehingga berujung pada pemecatan Agus Salim dan pendukungnya dari keanggotaan PSII termasuk Maridjan Kartosuwirjo.

Melihat perkembangan internasional yang semakin genting terkait krisis ekonomi dan keterlibatan langsung Indonesia dalam perang, maka dirasa penting untuk membentuk suatu wadah yang dapat memupuk rasa saling menghargai dan kerjasama untuk membela kepentingan rakyat. Diinisiasi oleh M. Husni Thamrin, dibentuklah badan konsentrasi nasional yang diberi nama GAPI (Gabungan Politik Indonesia) badan ini dibentuk melalui rapat nasional di Jakarta pada 21 Mei 1939. Tokoh-tokoh yang hadir dalam rapat tersebut salah satunya adalah Abikoesno yang mewakili PSII (Kartodirdjo, 2015: 224). Kongres Rakyat Indonesia yang GAPI gelar pada 25 Desember 1939. Dalam kongres didengungkan tuntutan “Indonesia Berparlemen”. Keputusan penting lain adalah penerapan bendera Merah Putih dan lagu "Indonesia Raya" sebagai bendera dan lagu persatuan, juga peningkatan pemakaian bahasa Indonesia bagi rakyat Indonesia.

Pada masa pendudukan Jepang di tahun 1942, dibentuk Gerakan 3A yang memiliki semboyan Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Gerakan tersebut bertujuan menanamkan semangat membela Jepang. Jepang menunjuk Mr. Syamsudin sebagai pemimpin Gerakan 3A. Pada bulan Juli 1942 dibentuk suatu sub seksi Islam dengan Persiapan Persatuan Umat Islam dalam Gerakan 3A. Sebagai ketuanya ialah Abikoesno Tjokrosoejoso. Akan tetapi, ternyata Gerakan 3A tidak mendapat sambutan rakyat dan akhirnya dibubarkan. Sebagai gantinya, dibentuklah organisasi Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Abikoesno juga masuk sebagai anggota Putera. Selain itu, pada masa pendudukan Jepang, ia menjadi anggota Chuo Sangi-in (Dewan pertimbangan pusat) sebagai wakil dari golongan Islam. Anggota lain berasal dari golongan nasionalis sekuler seperti Buntaran Martoatmodjo, Ki Hadjar Dewantara, Moh. Hatta, Rasjid, Samsi, R. M. Sartono, Singgih, Soekardjo, Soewandi, Supomo, dan Woerjaningrat (Ichwan, 2011: 5).

Oleh karena posisi Jepang mulai terjepit dalam perang, Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dengan membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang resmi dibentuk pada tanggal 29 April 1945. Anggota yang merepresentasikan kelompok Islam adalah Abikoesno Tjokrosoejoso, Ki Bagus Hadikusumo, KH Abdul Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, and KH Ahmad Sanusi. Sedangkan kelompok nasionalis direpresentasikan oleh Sukarno, Mohammad Hatta, Soepomo, dan Muhammad Yamin. Upaya untuk mencapai resolusi mempersiapkan dasar negara tidak bisa diselesaikan oleh BPUPKI sehingga dibentuk Komite Panitia Sembilan yang berdiri pada 10 Juli 1945. Komite tersebut terdiri dari Sukarno, Mohammad Hatta, Achmad Subardjo, Muhammad Yamin, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Kahar Muzakkir, Agus Salim dan Wahid Hasjim. Setelah melewati perdebatan yang sangat alot, akhirnya pada 22 Juni 1945 Panitia Sembilan berhasil merumuskan rancangan undang-undang dasar yang kelak disebut sebagai Piagam Jakarta. BPUPKI memfinalisasikannya melalui beberapa perubahan, termasuk mengganti sila pertama dasar negara (Pancasila) dari “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang maha esa”. Pada saat rapat memasuki sesi pembahasan sumpah presiden, Abikusno memberikan usul pertama, dan diterima melalui beberapa perubahan. Fakta ini membuat Abikusno juga memperoleh gelar “penggagas sumpah presiden” (Kharisma, 2021).

Anggota Panitia Sembilan. (Sumber: Dok. Museum Perumusan Naskah Proklamasi)

Pada kabinet pertama Presiden Sukarno, Abikoesno tercatat menduduki kursi Menteri Perhubungan tanggal 19 Agustus 1945. Nama Abikoesno Tjokrosoejoso sempat dikaitkan dengan peristiwa 3 Juli 1946 yang disebut-sebut sebagai usaha kudeta pertama di Indonesia. Ketika itu kelompok Persatuan Perjuangan dibawah pimpinan Tan Malaka melakukan percobaan kudeta untuk menurunkan Kabinet Sjahrir. Namun organisasi tersebut berhasil dibubarkan dan tokoh-tokoh utamanya ditangkap—termasuk Abikoesno. Penahanan Abikoesno sempat berpindah-pindah, antara lain dari Tawangmangu, Ponorogo, lalu ke Madiun. Ia ditahan bersama Moh. Yamin, Buntaran Martoatmodjo, Achmad Subardjo, Iwa Kusuma Sumantri dan Tan Malaka. Para tahanan ini diberi grasi dan dibebaskan pada 17 Agustus 1948.

Posisi Menteri Perhubungan kembali dipercayakan ke pundaknya pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955). Tapi ia mengundurkan diri pada 19 November 1954. Selepas pensiun dari jabatan pemerintahan, ia kembali aktif di PSII sembari meneruskan kesibukan di bidang arsitektur.

Setelah dibekukan pada masa Pendudukan Jepang, PSII menghidupkan kembali kegiatan-kegiatan politiknya. Setelah sempat bergabung dengan Masyumi, PSII memilih untuk keluar dari Masyumi karena pimpinannya tidak mendapat posisi penting dalam Masyumi, padahal 2 tokoh PSII, Wondoamiseno dan Arudji Kartawinata pernah menduduki posisi penting dalam MIAI yang merupakan cikal bakal Masyumi. Selain itu tokoh-tokoh PSII sejak awal tidak setuju dengan sikap yang diambil kabinet Sjahrir dalam perundingan dengan pihak Belanda. Pada tahun 1960 PSII bubar karena ada pertikaian akut antar pimpinannya. Hal ini dipicu karena kedudukan Abikoeno dalam kabinet Ali Sastroamidjojo tidak dikonsultasikan kepada partai, sehingga berujung pada pemecatan Abikoesno pada tahun 1953 dan pimpinan partai digantikan oleh Arudji Kartawinata-Anwar Tjokroaminoto (Azra, 2014: 301).

Dalam menekuni profesinya sebagai arsitek, Abikoesno telah banyak memberikan sumbangan karya hasil buah pikir filosofis antara pendidikan Barat dan tradisi Timur dengan tetap berpegang pada prinsip agama. Beberapa bangunan-bangunan hasil karyanya telah menjadi saksi bisu perannya dalam perkembangan pembangunan arsitektur di Indonesia. Salah satu contoh penting pada masa penjajahan Jepang adalah ketika ia diperintahkan untuk membangun gedung-gedung baru di Jakarta diantaranya adalah gedung pertahanan dan keamanan, pembuatan kamar bola dan perbaikan Istana Merdeka yang pada saat itu dalam kondisi hampir rubuh. Sedangkan pada masa kemerdekaan, hasil karya arsitektur Abikoesno diantaranya adalah Masjid Asy-Syuro Garut, Pasar Cinde Palembang, Gedung Museum M.H. Thamrin, dan Masjid Syuhada Kota Baru Yogyakarta.

Abikoesno Tjokrosoejoso bersama R.A. Koesmartinah di rumah kediaman di Jakarta. (Sumber: Dok. Museum Perumusan Naskah Proklamasi)


Istri Abikoesno yang bernama R.A. Koesmartinah tetap setia selalu mendampingi Abikoesno hingga usia senja. Abikoesno meninggal pada 11 November 1968 di Surabaya akibat penyakit tekanan darah tinggi. Jenazahnya dimakamkan melalui upacara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Surabaya. Pada tanggal 9 November 1992, Abikoesno Tjokrosoejoso bersama delapan tokoh BPUPKI lainnya mendapatkan Bintang Republik Indonesia Utama dari Presiden Soeharto (Kompas, 10 November 1992).

Penulis: Martina Safitry
Instansi: UIN Raden Mas Said Surakarta
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si

Referensi

Suratmin. 1982. R.M. Abikusno Cokrosuyoso: Hasil Karya dan Pengabdiannya Jakarta: Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan.

Septian Dwita Kharisma, 2021. “Abikoesno Tjokrosoejoso: Putra Madiun, Sang Penggagas Sumpah Presiden”,

diakses pada https://www.lensaindonesia.com/2021/06/19/abikoesno-tjokrosoejoso-putra-madiun-sang-penggagas-sumpah-presiden.html

Kartodirdjo, Sartono. 2015. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta:

Ombak.

Azra, Azyumardi. 2014. Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia jilid 3. Jakarta: Direktorat Sejarah, Kemendikbud

Moch Nur Ichwan. 2011. “Secularism, Islam and Pancasila: Political Debates on the Basis of the State in Indonesia” 南山大学アジア・太平洋研究センター報 第6号 (Nanzan University Asian Pacific Research Center Buletin no. 6) dapat diakses pada http://rci.nanzan-u.ac.jp/asiapacific/en/journal/

Departemen Pekerjaan Umum. 1990. 45 Tahun Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta: Departemen Pekerjaan

umum.

Kompas, 10 November 1992 Sarikat-Islam Congress. 3e nationaal congres 29 Sept. - 6 Oct. 1918 te Soerabaja.

Behoort bij de geheime missive van den regeerings commissaris voor Inlandsche en Arabische Zaken van 9 december 1918 No. 599