Ahmad Khatib Al-Minangkabawi

From Ensiklopedia

Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (1860-1915) adalah salah satu pelopor gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Berasal dari Minangkabau, Sumatra Barat, Syekh Ahmad Khatib yang bernama lengkap Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Aziz Al Khatib Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari al- Minangkabawi, dikenal luas sebagai ulama besar yang menjadi rujukan keilmuan Islam tidak hanya bagi ulama nusantara tapi juga ulama Timur Tengah. Kapasitas pengetahuan dan pengalamannya sebagai imam, khatib, dan pengajar di Masjidil Haram membentuknya menjadi pribadi yang alim, berkarakter dan mumpuni dalam merespons persoalan keagamaan.

Dia berasal dari keluarga ulama. Kakeknya, Abdullah, adalah seorang imigran Hijaz yang bermukim di Kota Gadang dan berhasil menjadi elit religius di daerah tersebut sebagai khatib nagari. Ayahnya, Abdu al-Latif, adalah kepala kabupaten Empat Angkat (‘Abd al-Jabbar 1982: 38; Hamka 1958: 230-6; Saeran 1981: 16-22; Djaja 1966: 567-69). Ia mengenyam pendidikan formal tingkat dasar di Sekolah Rendah (SR) hingga di tingkat Sekolah Raja (Kweekschool), mendalami bahasa Inggris di sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), serta  secara rutin menghafal al-Qur-an di bawah bimbingan ayahnya (Kemendikbud, 2019; Wirman, 2017: 89).

Pergumulan intelektual Ahmad Khatib dengan para ulama Timur Tengah dimulai ketika pada tahun 1881, Akhmad Khatib tiba di kota suci, bersama kakek dan sepupunya, Muhammad Thahir Djalaluddin (1856-1956). Selain menyelesaikan hafalan al-Qur’an, ia mempelajari berbagai cabang ilmu kepada beberapa ulama besar. Selain kepada tiga ulama Mesir peletak fondasi kuat bagi purifikasi Islam dengan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah: Sayyid Bakri bin Muhammad Zain al-‘Abidin Syatha’ (1846-1893), ‘Umar bin Muhammad Zain al-‘Abidin Syatha’ dan ‘Uthman bin Muhammad Zain al-‘Abidin Syatha’, Ahmad Khatib tercatat juga berguru kepada Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlân, Muhammad Saleh, Syekh Abdul Hâdi, dan Yahya Kabli (Burhanuddin, 2021:173; Sanusi dan Edwar 1981: 17; Yatim 1999; ‘Abd al-Jabbar 1982: 38).

Kepada mereka, Ahmad Khatib mengkaji berbagai disiplin keilmuan, baik ilmu umum maupun ilmu keagamaan: Ilmu Tauhid, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Fikih, Ilmu Usul Fikih, Ilmu Usul Hadȋts, Ilmu Qowaidul Lughot (Nahwu dan Saraf), Ilmu Balâghah, Ilmu Mantiq (Ilmu Kalam/Ilmu Logika), Ilmu Tarikh, Ilmu Siyar/Atsar (Ilmu yang membahas seputar kisah hidup Rasulullah SAW), Ilmu Riyâdiyat (Ilmu Matematika), dan lain-lain. Selain bergabung dengan halaqa sebagai anggota komunitas Jawi, Ahmad Khatib juga mengikuti ceramah-ceramah dari para ulama Mekkah (‘Abd al-Jabbar 1982: 38).

Hubungannya yang erat dengan Muhammad Salih al-Kurdi—dalam perjalanannya menikahi dua putrinya: Khadijah dan Fatimah, membuat Ahmad Khatib menjadi bagian dari elit Mekkah. Ia memperoleh berbagai kemudahan dan dukungan politik bagi kariernya di Mekkah. Antara tahun 1887 dan 1892, ia menjadi imam di Masjidil Haram yang membuatnya terkenal di kalangan komunitas Jawi di Mekkah (Laffan 203: 106-7; ‘Abd al-Jabbar 1982: 39; Wirman, 2017). Dia juga membangun kariernya sebagai guru komunitas Jawi di lingkaran Bab Ziyada, selain menulis sekitar 46 buah kitab, terutama untuk masyarakat Melayu (Burhanuddin, 2012: 243). Ia menjadi pionir, ulama Nusantara yang memiliki rekoginisi di Timur Tengah. Ketajaman pemikiran serta keluasan wawasan keilmuan membuatnya menjadi rujukan bagi ulama-ulama di Indonesia di dalam mengatasi dan menentukan suatu hukum yang berkaitan dengan aqidah, syariah, dan muamalah (Abdullah, 2013: 281; Ahsin, 2020: 62; Pambudi, 2019: 5).

Sumbangsih ide pemikiran dari Ahmad Khatib turut mendorong gelombang pembaharuan Islam pada awal abad ke-20. Sebagai tokoh intelektual dari komunitas Jawi (Asia Tenggara) di Mekkah, Ahmad Khatib memegang peran menentukan dalam perkembangan pembaharuan Islam di Indonesia, mengukuhkan iktiar dari ulama pembaharu Mesir, Muhammad ‘Abduh dan Rashīd Ridā. Seperti juga Rashīd Ridā, Ahmad Khatib selalu menekankan pentingnya kembali ke Islam masa Nabi dan sahabat (salāf), menganjurkan corak beragama yang didasarkan pada al-Qur’an dan Sunnah; menyuarakan perlunya ijtihad dalam beragama, dan karenanya meninggalkan bermazhab; menentang keras paham dan praktek keagamaan lokal, khususnya yang terkontaminasi tradisi dan agama pra-Islam; dan berbasis di lingkungan perkotaan melalui sekolah-sekolah modern yang didirikan (Burhanuddin, 2021); Bahtiyar, 2019: 51-63; Mudhafier, 2013:14).

Melalui Ahmad Khatib, proses transmisi gagasan pembaharuan Mesir ke Indonesia menguat dan memantik semangat perubahan di kalangan Muslim Indonesia. Dalam konteks komunitas Jawi, tumbuhnya kecenderungan baru ini dimotori oleh Ahmad Khatib, yang kemudian sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam di Indonesia awal abad ke-20. Tidak hanya sebagai ulama yang menekankan pemurnian praktek-praktek ajarah Islam, tapi juga ‘guru untuk generasi pertama kaum muda’ di Melayu-Indonesia. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan Hasyim Asy‘ari di NU adalah di antara murid-murid Akhmad Khatib (Burhanuddin, 2012: 251).

Ahmad Khatib melakukan diseminasi gagasan pembaharuan Islam di Sumatera Barat dan Hindia Belanda secara umum melalui karya-karyanya yang ditulis untuk merespons isu-isu Islam aktual pada masa tersebut. Dalam kaitannya dengan persoalan waris, ia menerjemahkan Al-Minhaj al-Mashru’ dalam bahasa Melayu dari karya aslinya yang berbahasa Arab. Buku ini mengurai aturan Islam mengenai waris. Dikaitkan dengan adat Minangkabau tentang waris, Ahmad Khatib menulis al-Da’i al-Masmu’ dan kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu atas permintaan anggota komunitas Jawi yang berasal dari Sumatera Barat.

Argumen dasar karya ini bahwa aturan adat mengharuskan harta warisan (pusako) diturunkan melalui garis keturunan matrilineal—dari paman ibu atau bapak ke paman dan kemudian ke anak-anak saudara perempuannya. Hal ini telah mengakar dalam sistem sosial matrilineal masyarakat Minangkabau sejak dahulu dan betahan lama pada masa masa setelahnya (Burhanuddin, 2021:173; von Benda-Beckmann 1979: 150-2). Dalam karyanya tersebut ia berupaya mengembangkan menambahkan ke dalam al-Minhaj satu bab khusus mengenai aturan Islam tentang waris (kitab al-fara’id), di mana dia mengemukakan bahwa harta waris harus dibagikan menurut hukum Islam (Burhanuddin, 2012: 245).

Melalui al-Minhaj al-Mashru’, Ahmad Khatib menyuarakan kritik kerasnya kepada adat Minangkabau mengenai warisan, yang digambarkannya sebagai adat pra-Islam (jahiliyya) dan karenanya bertentangan dengan ajaran Islam. Seraya menyerang adat ini, ia pun menudinganya sebagai sumber berjaraknya masyarakat Minangkabau dari Islam. Dia bahkan menganggap bahwa praktik adat ini telah menggiring mereka sebagai orang-orang tak beriman (Burhanuddin, 2012: 248).

Ulasan terkait warisan juga diurai dalam karyanya yang lain, al-Jawhara al-Farida fi al-Ajwiba al-Mufida (1897). Dalam karya ini, ia mendedah beberapa hal dasar mengenai aturan Islam tentang warisan dan dikaitkan dalam konteks Sumatera Barat, khususnya terkait dasar pelaksanaan adat di daerah yang keluar dari aturan Islam dalam pembagian harta waris (pusako) (Burhanuddin, 2021:173). Kedalaman wawasan dan pengetahuannya atas kasus pewarisan menempatkan Ahmad Khatib sebagai ulama, guru dan mufti yang disegani. Keterlibatannya dalam menyelesaikan persoalan sengketa Islam di Minangkabau menegaskan kedudukan dan wewenangnya yang setara dengan gurunya di Mekkah, Syekh Sayyid Ahmad Zainī Dahlān dengan kumpulan fatwanya, Muhimmat al-Nafā’is (Kaptein, 1997). Hingga akhir hayatnya, Ahmad Khatib menjadi pemimpin komunitas Jawi dan Muslim Hindia Belanda yang berkontribusi dalam gerakan pembaharuan Islam di Sumatera Barat pada awal abad ke-20.

Penulis: Setyadi Sulaiman
Instansi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Editor: Prof. Dr. Jajat Burhanudin, M.A.


Referensi

Abdullah, Taufik. 2013. Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia jilid 2. Jakarta: Direktorat Sejarah, Kemendikbud.

Ahsin, Moh. 2020. “Studi Pemikiran Syekh Ahmad Khatȋb Al-Minangkabawi Tentang Pembagian Harta Warisan di Minangkabau dalam Kitab Al-Dâ`Ȋ Al-Masmȗ” Tesis. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

‘Abd al-Jabbar, ‘Umar. 1982. Siyār wa Tarājim ba‘ad ‘Ulamā’ ina fī al-Qarn al-Rab Ashar lī al-Hijra. Jeddah: Tihama.

Bahtiyar, Anis, 2019, “Pengaruh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi Terhadap Dinamika Intelektual Islam di Indonesia 1900-1947 M.” Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. http://digilib.uinsby.ac.id/33121/1/Anis Bahtiyar_A02215002.pdf .

Benda-Beckmann,  Franz Von, 1979. Property in Social Continuity: Continuity and Changes in the Maintenance of Property Relationships through Time in MinangKabau, West Sumatra. Verhandelingen: Van Het Koninklijk Institut Voor Taal-, Land-En Volkenkunde, 86. The Hague: Martinus Nijhoff.  

Burhanuddin, Jajat, 2021. “The Triumph of the Second Leaders: Ahmad Khatib and Rashīd Ridā in Islamic Reform in Indonesia” Jurnal AFKARUNA Vol. 17 No. 2.

Burhanuddin, Jajat, 2012, Ulama & Kekuasaan: Pergulatan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia, Bandung: Mizan.

Kaptein, Nico J.G. 1997. The Muhimmat al-Nafa’is: A Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian Muslims from the End of the Nineteenth Century. Jakarta: INIS.

Djaja, Tamar, 1966. Pustaka Indonesia: Riwajat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air, Volume 2. Bulan Bintang.

Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). 1958. Ajahku: Riwayat hidup Dr. H. Abd. Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera. Djakarta: Widjaja.

Ilyas, Ahmad Fauzi. 2017 “Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Polemik Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara”, Journal of Contemporary Islam and Muslim Societies Vol.1, no. 1 diakses dalam http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/JCIMS/article/viewFile/1008/844.

Kemendikbud. 2019, “Kweekschool Fort de Kock (Sekolah Raja Bukittinggi)”,  dapat diakses dalam laman https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar/kweekschool-fort-de-kock-sekolah-raja-bukittinggi/

Mudhafier, Fadhlan, 2013. “Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy: Pemikiran dan Perjuangannya Masa 1276 – 1334 Hijriah (1852 – 1915 Masehi)”, dalam Adam Fauzi Hafiddin (ed) in Monografi, Jakarta: Penerbit Kemala Indonesia.

Pambudi, Rangga Hafizh. 2019. “Pemikiran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Tentang Pendidikan Islam” Skripsi. Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.

M. Sanusi Latief and Edward, 1981. Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Sumatera Barat: Islamic Centre.

Saeran, Nursal. 1981. “Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy” dalam Sanusi Latief and Edwar (eds.). Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat. Padang: Islamic Centre.

Wirman,  Eka Putra. 2017. “Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi; Icon Tholabul Ilmi Minangkabau Masa Lalu Untuk Refleksi Sumatera Barat Hari Ini dan Masa Depan”, Jurnal Ulunnuha Vol.6, no.2 doi:10.15548/JU.V6I2.598. 

Yatim, Badri. 1999. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci: Hijaz (Mekah dan Madinah) 1800-1925. Jakarta: Logos.