Andi Azis

From Ensiklopedia
Andi Azis - Dok. Keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan

Andi Abdoel Azis adalah pemimpin pemberontakan yang terkenal dalam peristiwa atas namanya sendiri, Peristiwa Andi Aziz, yang berusaha mempertahankan pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) pada awal pembentukan pemerintahan Republik Indonesia. Ia dilahirkan di Simpangbinanga, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan pada 19 September 1924. (https://attoriolong.com/2019/12/andi-azis-dan-pemberontakan-tanpa-korban-jiwa/).

Andi Azis memiliki ibu bernama Becce Pesse dan ayah bernama Andi Djuanna Daeng Maliungan, seorang ‘Raja Barru’, yang diketahui masih memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan Raja Bone, salah satu tokoh berpengaruh di Sulawesi (Sydney Morning Herald, edisi 17 April 1950). Lahir dari sebagai anak sulung[1] dari keluarga yang cukup terpandang, membuat Andi Azis memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan orang tuanya sudah mengirimkan Andi Azis ke Belanda sejak ia berusia sebelas tahun, sesaat setelah lulus dari sekolah ELS (https://amp.tirto.id/m/andi-azis-lh).

Andi Azis memulai pendidikan pertamanya di  Belanda pada 1935, dengan memasuki Lagere School (Bahtiar, dkk., 2019: 5). Setelah menyelesaikan sekolah menengah, ia mempunyai keinginan untuk memasuki sekolah militer. Ketika Perang Dunia II pecah, Andi Azis memutuskan untuk bergabung dengan Koninklijke Leger (KL), dinas ketentaraan Belanda. Setelah melewati beberapa tahapan, ia diterima dan langsung mendapatkan tugas sebagai anggota kelompok perlawanan bawah tanah melawan Jerman (https://tirto.id/buta-politik-dan-diperalat-andi-azis-pun-memberontak-cmbF).

Tekad dan keinginannya yang kuat untuk terjun ke dunia militer, berhasil mengantarkan Andi Azis pada karir militer yang cemerlang. Hal ini dibuktikan dengan beberapa tugas yang berhasil diembannya selama menjadi pasukan militer Belanda-Inggris. Pada 1944 ia ditugaskan untuk menjadi mata-mata sekutu di Jerman, kemudian melarikan diri ke Inggris karena situasi yang semakin memburuk. Di Inggris, ia mengikuti pendidikan militer dan pelatihan-pelatihan seperti pelatihan sebagai pasukan khusus Special Troops, dan The Red-Capped First Allied Paratroop Division. Kemudian, setelah itu ia ditugaskan sebagai pasukan khusus di India, Colombo, dan kemudian di Calcutta. Di Calcutta, Andi Azis kembali mengikuti pelatihan perang di dalam hutan selama kurang lebih tiga bulan (Lahadjdji, 1976: 143). Semua pelatihan yang pernah diperoleh Andi Azis, akan menjadi golden ticket di kemudian hari, ketika ia ingin kembali berkarir di bidang militer sepulangnya ke Indonesia.

Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada 1945, tugas Andi Azis sebagai anggota pasukan Belanda-Inggris mulai berkurang. Pada saat yang bersamaan ia justru mendengar mengenai kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan melanjutkan karir militer di Tanah Air. Untuk mempermudah tujuannya tersebut, ia memutuskan untuk bergabung dengan KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indie Leger) agar bisa ditempatkan di Indonesia (https://attoriolong.com/2019/12/andi-azis-dan-pemberontakan-tanpa-korban-jiwa/). Sekembalinya ke Indonesia, atas pertimbangan pendidikan militer dan pengalaman perang gerilya yang pernah ia peroleh, pada 1946 Andi Azis diterima bekerja di kepolisian, dan ditugaskan di Jakarta. Karirnya menjadi semakin cemerlang ketika pada 1947 Andi Azis ditunjuk untuk menjadi Ajudan Senior Tjokorda Gde Raka Soekawati, Presiden NIT (Negara Indonesia Timur) selama kurang lebih satu setengah tahun (Nasution, 1966: 170).

Di  tengah-tengah tugasnya sebagai ajudan Presiden Soekawati, pada 1948 Andi Azis pernah dikirim ke Bandung untuk menjadi instruktur pendidikan militer, pada Pasukan Baret Merah KNIL. Setelah itu ia kembali ke Makassar dan diangkat menjadi komandan kompi dengan pangkat Letnan Satu (https://attoriolong.com/2019/12/andi-azis-dan-pemberontakan-tanpa-korban-jiwa/). Menjelang penyerahan kedaulatan pada 1949, Andi Azis diberikan kepercayaan untuk membentuk kompi pasukan KNIL yang kemudian dilebur menjadi bagian dari APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) pada 1950. Pasukan inilah yang kemudian diandalkan oleh Andi Azis pada aksi pemberontakan yang ia lakukan (Pakatuwo dkk., 2018: 6).

Setelah penyerahan kedaulatan yang dilakukan oleh Belanda kepada RI pada KMB (Konferensi Meja Bundar), muncul banyak pemberontakan diantaranya yakni Pemberontakan Andi Azis di Sulawesi, Westerling di Jawa Barat, dan pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) (McNicoll, 1968: 43). Aksi-aksi ini salah satunya disebabkan oleh perbedaan visi antara golongan federalis dan golongan unitaris. Golongan unitaris menuntut untuk peleburan kembali negara-negara bagian bentukan Belanda, agar bergabung kembali ke dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan sebaliknya, golongan federalis justru tetap menginginkan berdirinya negara-negara bagian (Agung, 1985: 714).

Sebagai seorang federalis, Andi Azis memandang bahwa ide membubarkan negara-negara federal termasuk NIT adalah tidak tepat. Ia meyakini bahwa kesatuan Indonesia dapat dicapai secara perlahan-lahan, tanpa harus adanya revolusi (Bahtiar dkk, 2019: 16). Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa ia melakukan pemberontakan dengan menahan pasukan Batalion Worang untuk tidak menduduki Makassar.

Alasan lain yang mendorong ia untuk melakukan pemberontakan ini adalah karena ambisinya yang kuat dalam dunia militer. Dalam buku Sedjarah Perdjuangan Nasional di Bidang Bersendjata disebutkan bahwa: “....dalam pernjataannja (Andi Azis) menjatakan bahwa NIT harus tetap berdiri dan tidak boleh dibubarkan dengan kekerasan serta hanja APRIS bekas KNIL-lah jang boleh mendjaga keamanan di NIT...” (Nasution, 1966: 171)

Selain itu, seperti yang sudah dijelaskan di atas, sejak kecil Andi Azis sudah memiliki ambisi yang kuat untuk bisa berkarir di bidang militer. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatannya sebagai pasukan militer baik selama di Belanda, Inggris, maupun Indonesia. Ketika ia dipilih untuk menjadi ajudan dari Presiden Soekawati, muncul sebuah harapan besar baginya untuk bisa menjadi tokoh militer utama di Negara Indonesia Timur, dengan Soekawati sebagai pemimpin, dan Soumokil sebagai tokoh politik utama (Bahtiar dkk., 2019: 7). Pembubaran NIT ini kemudian menjadi ancaman besar pula bagi karirnya yang selama ini telah ia ukir sejak remaja. Oleh karena itu, ambisi militer menjadi salah satu alasan lain mengapa ia bertekad kuat untuk terus mempertahankan  NIT.

Ketika memimpin pemberontakan, Andi Azis berusia sekitar 26 tahun. Usia muda ini tentu sangat mempengaruhi bagaimana cara dia memimpin pasukannya. Masih berdasarkan artikel dan surat kabar yang sama, di sana disebutkan bahwa “...dia mengemudikan Jeep-nya sendiri dengan membawa enam anak buahnya, dalam beberapa hari selama pemberontakan.” (The Sun, 14 April 1950). Hal ini menunjukkan bahwa Andi Azis cukup santai dalam menjalankan perannya sebagai komandan. Dalam wawancara lain yang dilakukan oleh koresponden surat kabar Sydney Morning Herald, dijelaskan bahwa ketika ajudan dan kurirnya menyampaikan laporan, ia mendengarkan ajudan dan kurirnya tersebut dengan penuh perhatian, dan memberi perintah dengan tenang tetapi cepat. “He listened intently to his aides and couriers, and gave order quietly but briskly.” (The Sydney Morning Herald, 17 April 1950).

Setelah pemberontakan tersebut berhenti, Andi Azis kemudian diterbangkan ke Yogyakarta, untuk mengikuti proses persidangan sesuai dengan peraturan yang berlaku (Barrier Miner, edisi Selasa, 18 April 1950; Sunday Times, edisi 23 April 1950). Tindakan Andi Azis dengan para pasukannya dianggap sebagai suatu tindakan yang melanggar hukum dan disiplin tentara, serta menghina sumpah tentara. Oleh karena itu, ia harus diproses sebagai bentuk tanggung jawab atas apa yang telah dilakukan bersama dengan pasukannya. Andi Azis dijatuhi hukuman selama 14 tahun penjara (https://attoriolong.com/2019/12/andi-azis-dan-pemberontakan-tanpa-korban-jiwa/).

Pada 1958, Andi Azis kemudian dibebaskan dengan syarat tetap melapor kepada pihak yang berwajib setiap hari Senin. Setelah keluarnya dari penjara, Andi Azis terjun ke dunia bisnis dan bergabung bersama Soedarpo Sastro Sartono di perusahaan pelayaran samudera. Karena penyakit jantung yang dideritanya, akhirnya pada 1984 Andi Azis meninggal di Rumah Sakit Husada, Jakarta. Ia meninggalkan seorang istri yang ia nikahi dua tahun sebelum pemberontakan terjadi (Bahtiar dkk., 2019: 17).

Penulis: Allan Akbar
Instansi: Bank Indonesia Institute
Editor: Dr. Andi Achdian, M.Si


Referensi

Agung, Ide Anak Agung Gde. 1985. Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Bahtiar, Ansaar, Sritimuryati. “Andi Azis Events in South Sulawesi 5 April 1950”,           dalam Seminar Series in Humanites and Social Sciences, No. 1 (2019).

Barrier Miner, edisi Selasa, 18 April 1950. “Mystery of Arrest Rebel Chief

Daily Examiner, edisi Kamis, 6 April 1950. “Rebellion in Indonesia’ State Captured”

Harvey, Barbara Sillars. 1977. Permesta: Half a Rebelliom. New York: Cornell University.

https://amp.tirto.id/m/andi-azis-lh, diakses pada 5 September 2021.

https://attoriolong.com/2019/12/andi-azis-dan-pemberontakan-tanpa-korban-jiwa/, diakses pada 4 September 2021.

https://tirto.id/sejarah-pemberontakan-andi-azis-penyebab-tujuan-dan-dampaknya-gaGi, diakses pada 4 September 2021.

https://tirto.id/buta-politik-dan-diperalat-andi-azis-pun-memberontak-cmbF, diakses pada 4 September 2021.

Lahadjdji, Patang. 1976. Sulawei dan Pahlawan-pahlawannya. Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Generasi Muda Indonesia.

McNicoll, Geoffrey. “Internal Migration in Indonesia”, dalam Indonesia, vol. 5 (Apr., 1968) pp. 29-92.

Nasution, A. H., 1966. Sedjarah Perdjuangan Nasional di Bidang Bersendjata. Jakarta: Mega Bookstore.

Pakatuwo, Laessach M., Mustari Bosra, dan Ahmadin. “Negara Boneka Belanda (Negara Indonesia Timur) 1945-1950”, dalam Jurnal Pattingalloang Pemikiran, Pendidikan, dan Penelitian Kesejarahan, Vol. 5, No. 1, Januari 2018.hlm. 1-12.

Sunday Times, edisi Minggu 23 April 1950. “Rebel Azis I

The Sun, edisi Jumat, 14 April 1950. “Azis: Rebel Leader”.

The Sydney Morning Herald, edisi Jumat 7 April 1950. “Rebel Leader in Charge at Macassar”.

The Sydney Morning Herald, edisi Senin, 17 April 1950. “Azis of Macassar is Young Ex-Paratrooper”.

The Argus, edisi Rabu, 12 April 1950. “Azis Wins Round in Macassar”.