Arbeidsleger
Sejak terbukanya pintu penanaman modal asing di Jawa pada abad ke-19, sejalan dengan penetapan Undang-Undang Agraria (Agrarisch Wet), pemerintah Hindia Belanda secara praktis telah mengubah sistem monopoli di tanah jajahan menjadi terbuka untuk perusahaan swasta. Para pengusaha menyewa sejumlah lahan garapan untuk diubah menjadi perkebunan, dan menjadikan penduduk sekitar sebagai buruh upahan. Dengan demkikian, corak produksi masyarakat yang sebelumnya agraris danbersifat komunal berubah menjadi corak produksi industrial dengan petani sebagai buruh yang diupah. Corak produksi yang diubah sedemikian rupa menghasilkan keuntungan hanya untuk para pengusaha, sehingga keadaan ini menyebabkan konflik berkepanjangan (Breman 1986: 40). Konflik antara buruh dengan pengusaha swasta ini semakin tajam tatkala pemerintah Hindia Belanda, termasuk para Pengreh Praja bumiputra, terkesan hanya membela kepentingan pemodal swasta dengan dalih keamanan dan ketertiban (rust en orde).
Selama zaman liberal (antara 1870-1900), perusahaan swasta memainkan pengaruh sangat luar biasa terhadap segala kebijakan penjajahan dengan melihat Hindia Belanda sebagai pasar modal potensial (Ricklefs 1961: 320). Pemerintah Hindia Belanda, pelan tapi pasti, mulai kehilangan pengawasan di sektor ekonomi. Sistem ekonomi kapitalistik semakin menguat, yang kemudian berdampak terhadap kehidupan sosial bumiputra. Kehidupan sebagai buruh dengan upah minimum, yang rentan pemecatan secara sepihak, menjadi pemandangan umum di kalangan masyarakat bumiputra (Ingleson 2015: 40).
Pada awal abad ke-20, ketika pergerakan buruh semakin menemukan bentuknya (Sandra 1961), seorang bangsawan Pakualaman R. M. Soerjopranoto, bersama rekan sesama bangsawan R. Joyodiwiryo, R. Sastrowiyono dan R. Muso, menerbitkan majalah Medan Boediman pada 4 Agustus 1915 dan menyebut dirinya Arbeidsleger (Tentara Buruh) Adhi Dharma. Sebagai seorang bangsawan Pakualaman, R. M. Soerjopranoto berpikir bahwa sudah selayaknya melindungi dan mengangkat derajat rakyat kaum buruh, terutama para buruh pabrik gula, golongan yang paling menderita akibat eksploitasi kolonial. Di bawah pimpinan R. M. Soerjopranoto, Adhi Dharma berkembang dan memperoleh pengakuan sebagai badan hukum pada bulan Mei 1917 (Sulistyo 1995: 44). Pada bulan Oktober 1918, jumlah keanggotaan Adhi Dharma telah mencapai 18.000 orang, suatu perkembangan yang luar biasa bagi serikat buruh pada masa itu (Sukawati 1983: 47).
Salah satu faktor pendorong bagi peningkatan jumlah anggota dan aktivitas Adhi Dharma ini tentu tidak hanya berkaitan dengan pamor seorang bangsawan dari R. M. Soerjopranoto. Dia pada saat bersamaan tercatat menjadi ketua pengurus Sarekat Islam (SI) afdeling Yogyakarta, yang kemudian meningkatkan kembali aktivitas pergerakan bumiputra, dengan serikat buruh sebagai pelopornya. Selain itu krisis ekonomi sebagai dampak dari pecahnya Perang Dunia I di Eropa sangat dirasakan kalangan masyarakat, bahkan sejumlah tokoh pergerakan pada masa itu meramalkan bahwa Jawa akan mengalami kekurangan pasokan beras secara besar-besaran. Pada akhirnya, krisis ekonomi dan pangan mengakibatkan pemecatan buruh pabrik secara massal, dan dengan begitu para buruh berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan menjadi anggota Arbeidsleger Adhi Dharma, sekaligus SI afdeling Yogyakarta (Shiraisi 1997: 150).
Adhi Dharma kemudian menjadi radikal setelah dipengaruhi para pemimpin Indische Sociaal-Democratische Vereninging (ISDV), terlebih dengan terpilihnya R. Gondowijoyo, salah seorang anggota Arbeidsleger Adhi Dharma dan redaktur majalah Medan Boediman, menjadi Presiden ISDV Cabang Yogyakarta. Semenjak itu, gerakan Adhi Dharma lebih terarah pada perjuangan kelas untuk menuntuk dihapuskannya eksploitasi yang dilakukan oleh para pengusaha swasta. Hal ini kemudian terlihat ketika Hadisubroto menyampaikan niat untuk menggerakkan buruh pabrik gula menentang kapitalis gula dalam Kongres Nasional Ketiga yang diselenggarakan Central Sarekat Islam (CSI) di Surabaya pada Oktober 1918. Sedangkan R. M. Soerjopranoto pada kesempatan lain menegaskan bahwa kondisi di daerah perkebunan tebu terutama di Yogyakarta, buruh dan taninya berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan (Legge 2003: 23).
R. M. Soerjopranoto dengan Adhi Dharmanya berusaha mempertegas orientasi gerakan buruh menjadi sebuah gerakan yang terkoordinasi dalam sebuah organisasi. Ia menyerukan perlunya persatuan buruh dan tani untuk memperjuangkan haknya. Hingga pada bulan November 1918, R. M. Soerjopranoto mengumumkan berdirinya Personeel Fabriek Bond (PFB) yang merupakan wadah persatuan buruh yang tumbuh dari Arbedsleger Adhi Dharma. Pada awalnya PFB berjalan dengan lambat dan terbatas hanya di daerah Yogyakarta. Namun, pada tahun 1919, PFB berkembang pesat di semua tanah perkebunan gula dan dengan cepat menyulut pemogokan di berbagai parbrik gula (Shiraisi 1997: 151). Hingga pada penghujung tahun 1919, PFB telah memiliki 90 afdeling dengan jumlah anggota sekitar 10.000 orang, yang dengan demikian menjadikan PFB sebagai serikat buruh terbesar pertama dan paling militan yang ada di Hindia Belanda.
Penulis: Satriono Priyo Utomo
Instansi: Overseas Research Assistant, National University Of Singapore
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso
Referensi
Breman, Jan. (1986). Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja: Jawa di Masa
Kolonial. Jakarta: LP3ES.
Budiawan. (2006). Anak Bangsawan Bertukar Jalan. Yogyakarta: LKiS.
Ingleson, John. (2015). Buruh, Serikat dan Politik. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Legge, J. D. (2003). Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
Sandra. (1961). Sedjarah, Pergerakan Buruh Indonesia. Djakarta: PT Pustaka Rakjat.
Ricklefs, M. C. (1961). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Shiraishi, Takashi. (1997). Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Sukawati, Bambang. (1983). Raja Mogok R. M. Soerjopranoto: Sebuah Buku Kenangan. Jakarta: Hasta Mitra.
Sulistyo, Bambang. (1995). Pemogokan Buruh: Sebuah Kajian Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.