Archipelagic State

From Ensiklopedia


Konsep “archipelagic state” sering kali diterjemahkan sebagai negara kepulauan. Padahal dari segi etimologi, kata archipelago berasal dari dua suku kata dalam bahasa Latin, yaitu “arch” (utama) dan “pelagos” (laut), artinya laut yang utama. Bila kata itu ditambah dengan state (negara), maka maknanya menjadi negara laut utama atau negara maritim. Kalau archipelago merujuk konsepsi geografis, maka archipelagic state adalah suatu konsepsi politis (Djalal, 1979: 70; Hamid, 2018: 1-2).    

Konsep archipelago dipakai sebagai asas politik negara Indonesia dimulai setelah Pengumuman Pemerintah 13 Desember 1957 tentang batas laut territorial Indonesia. Pengumuman ini dikeluarkan pada masa Perdana Menteri Djuanda sehingga dikenal dengan Deklarasi Djuanda (Danusaputro, 1980: 107). Sebelum lahirnya konsep ini, batas laut territorial negara diatur oleh pemerintah Hindia Belanda melalui Ordonansi Maritim (1939) adalah 3 mil laut diukur dari garis air rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia. Setelah pengumuman itu, batas laut territorial diperluas menjadi 12 mil laut diukur dari garis-garis dasar (straight baselines) yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia yang terluar (Kusumaatmadja, 1978: 189; Djalal, 1979: 62).  

Perubahan tersebut berimplikasi terhadap batas maritim dan keutuhan wilayah negara kesatuan Indonesia, yang semula terpisah-pisahkan oleh laut (Ordonansi Maritim 1939), sekarang dipersatukan oleh laut (Deklarasi Djuanda 1957). Berdasarkan konsep yang terakhir, maka Indonesia seharusnya dipandang sebagai negara maritim yang ditaburi oleh ribuan pulau-pulau besar dan kecil. Jadi laut harus dipandang sebagai unsur pemersatu bangsa.

Deklarasi Djuanda memiliki arti penting yang sama dengan dua peristiwa lain sebelumnya dalam sejarah perjuangan Indonesia, yakni Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928), sebagai momentum lahirnya keinginan bersama untuk menjadi satu bangsa (Indonesia), dan Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945) sebagai tonggak lahirnya negara baru yang dicita-citakan oleh para pemuda pada tahun 1928. Batas territorial negara yang lahir itu, terdiri atas Tanah dan Air, dipertegas dalam Deklarasi Djuanda (13 Desember 1957) (Lapian, 2013: 73-78; Hamid, 2020: 23).  

Penggunaan “archipelagic state” sebagai asas hukum laut Indonesia dilandasi oleh kepentingan dan keadaan-keadaan khusus yang perlu dilindungi: pertama, perairan di sekitar pantai sebagai lanjutan dari kepulauan Indonesia dan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain; kedua, pengalaman hidup bangsa Indonesia yang menunjukkan laut di antara pulau-pulaunya, bukanlah sebagai pemisah melainkan pemersatu dari ribuan penduduk di pulau tersebut; ketiga, melindungi kepentingan ekonomi (sumber-sumber kekayaan alam) nasional di perairan tersebut; keempat, memelihara keamanan dan ketertiban serta pertahanan negara. Tanpa konsepsi archipleagis state, laut-laut di Indonesia akan berkembang menjadi sarana-sarana dan rute-rute penyerbuan dan invasi yang membahayakan keselamatan negara (Djalal, 1979: 67-68).

Sejak tahun 1957 konsep archipelagic state menjadi asas Wawasan Nusantara dalam Deklarasi Djuanda. Setelah ditetapkan secara nasional melalui UU No. 6 tahun 1960, konsep tersebut diakui oleh dunia pada United Nation Convention of Law of the Sea (UNCLOS) di Jamaica tahun 1982. Mulai tahun 2001 Deklarasi Djuanda ditetapkan sebagai Hari Nusantara melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.126 tahun 2001.   

Penulis: Abd. Rahman Hamid
Instansi: Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Editor: Dr. Bondan Kanumoyoso

  

Referensi

Danusaputro, M (1980) Tata Lautan Nusantara dalam Hukum dan Sejarahnya. Jakarta: Binacipta. 

Djalal, H (1979) Perjuangan Indonesia di bidang Hukum Laut. Jakarta: Binacipta.

Hamid, A.R (2018) Sejarah Maritim Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Hamid, A.R (2020) Sejarah dan Budaya Maritim Indonesia. Yogyakarta: Ombak.

Kusumaatmadja, M. (1978) Hukum Laut Internasional. Jakarta: Binacipta.

Lapian, A.B (2013) “Lima Puluh Tahun Wilayah Republik Indonesia”, dalam Dhanang Respati Puguh, Mahendra P. Utama, Rabith Jihan Amaruli, Endang Susilowati (eds), Membedah Sejarah dan Budaya Maritim Merajut Keindonesiaan: Persembahan untuk Prof. Dr. A.M. Djuliati Suroyo. Semarang: Undip Press, h.73-79.