Balai Pustaka
Budaya membaca dan menulis di masa kolonial belum begitu diminati, selain kaum bangsawan di lingkungan istana yang memiliki kesempatan luas dalam melakukan dua aktivitas tersebut. Kondisi itu membuat angka melek huruf masih rendah di kalangan pribumi biasa, sebab terbatasnya akses mereka terhadap sumber bacaan. Oleh karenanya, diperlukan sebuah lembaga untuk memenuhi kebutuhan membaca dan menulis masyarakat (Andriyanto 2021: 72–73).
Hal itulah yang menjadi latar belakang berdirinya Balai Pustaka sebagai perusahaan penerbitan dan percetakan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1917. Berawal dari kehadiran Commissie voor de Volkslectuur atau Komisi untuk Kesusastraan Rakyat sejak 1908, bertujuan menyediakan bahan bacaan yang baik bagi penduduk bumiputera terutama untuk tujuan pendidikan (Ricklefs 1995: 281). Setelah itu, berubah nama menjadi Kantoor voor de Volkslectuur en aanverwante aangelegenheden (Kantor Bahan Bacaan Umum dan hal-hal terkait) yang selanjutnya disebut Balai Pustaka (Kuitert 2021: 3–6).
Perusahaan yang dipimpin pertama kali oleh Dr. A. Rinkes tersebut, setiap generasi selalu menghadirkan bahan-bahan bacaan yang mendidik. Mengingat pendirian Balai Pustaka bertujuan untuk mengajari penduduk bumiputera belajar membaca, menyebarkan buku dan memajukan budaya. Hal itu pula yang membuat keberadaannya masih tetap eksis sampai sekarang, sekaligus berperan besar dalam mengembangkan bahasa dan sastra Indonesia (Website Resmi Balai Pustaka 2023).
Meski demikian, Balai Pustaka memiliki cakupan kegiatan yang luas, melebihi sekadar perusahaan di bidang penerbitan naskah. Program Balai Pustaka sendiri terbagi menjadi delapan, di antaranya editorial, penerjemahan, biro pers, percetakan, dan ruang baca rakyat. Ikon perusahaan adalah “bus Balai Pustaka” yang mendistribusikan buku-buku di daerah pedesaan Hindia Belanda. Terdapat juga kios buku Balai Pustaka yang menyediakan buku untuk kalangan penduduk pedesaan (Kuitert 2021: 3–4).
Balai Pustaka melaksanakan tiga fungsi pokok, antara lain: 1) Menerbitkan karya-karya sastra klasik yang lebih tua dan cerita-cerita rakyat dalam bahasa-bahasa daerah, 2) Menerjemahkan kesusastraan Barat ke dalam bahasa Indonesia, dan 3) Menerbitkan kesusastraan Indonesia baru. Dalam waktu bersamaan, perusahaan percetakan tersebut sekaligus membantu melestarikan kebudayaan-kebudayaan daerah, membuka Indonesia terhadap nilai-nilai sastra yang lebih universal, dan memberikan sumbangan bagi terbentuknya kebudayaan se-Indonesia (Ricklefs 1995: 281).
Dalam perjalanannya, pada 1920 Balai Pustaka baru memiliki mesin cetak sendiri dan berhasil mencetak puluhan buku maupun majalah dalam bahasa Melayu dan berbagai bahasa daerah, di antaranya Jawa, Sunda, Madura, Batak, Aceh, Bugis, dan Makassar. Ditulis dalam bahasa Melayu, Latin, Jawa, maupun Arab (Website Resmi Balai Pustaka 2023). Buku-buku dan majalah tersebut disebarkan ke sekolah-sekolah di Hindia Belanda (Balai Pustaka, 1995: 5).
Sejumlah karya sastra terkenal era 1920-an yang diterbitkan Balai Pustaka, berjudul Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar, Kasih Tak Sampai (1922) karya Marah Rusli, Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis, Salah Pilih (1928) karya Nur Sutan Iskandar, Kasih tak Terlarai (1929) karya Suman H.S., dan Sengsara Membawa Nikmat karya Sutan Sati (1929) (Mustofa, 2018: 64–65). Selain itu, terjemahan kumpulan surat-surat Kartini berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1922 (Balai Pustaka 1995: 5).
Pada masa kependudukan Jepang 1942, Balai Pustaka walaupun dipegang kaum pribumi tetapi mendapat pengawasan (sensor) ketat dari pemerintah Jepang, sehingga penerbitaannya sangat sedikit (Kuitert 2021: 16). Adapun karya sastra yang lolos dan berhasil diterbitkan pada masa itu, Cinta Tanah Air (1944) karya Nur Sutan Iskandar (Mustofa 2018: 65).
Pasca kemerdekaan Indonesia, Balai Pustaka kembali menerbitkan buku-buku karya para penulis Indonesia, di samping juga mencetak ulang buku-buku lama. Karya-karya sastra yang diterbitkan setelah kemerdekaan, di antaranya Mutiara (1946) dan Cobaan (1947) karya Nur Sutan Iskandar, Suropati (1950) dan Robert Anak Suropati (1953) karya Abdul Muis, serta Anak dan Kemenakan (1956) karya Marah Rusli (Mustofa 2018: 65).
Selanjutnya awal 1950-an, aktivitas penerbitan sempat terganggu karena status Balai Pustaka yang sering mengalami perubahan. Pada 1950, Balai Pustaka terpecah menjadi dua bidang, yakni Bidang Percetakan pada Jawatan Pendidikan Masyarakat dan Bidang Penerbitan pada Biro Perlengkapan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun pada 1953 kedua bidang tersebut kembali bersatu menjaadi Dinas Penerbitan Balai Pustaka di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Lalu, pada 27 Juni 1963 Balai Pustaka menjadi sebuah Perusahaan Negara (PN) dan tetap berada dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Balai Pustaka 1995: 17–18).
Memasuki era Orde Baru, Balai Pustaka kian aktif menerbitkan buku-buku bacaan sastra kontemporer, ilmu pengetahuan dan teknologi, buku-buku teks untuk SD, SLTP, SLTA, serta buku-buku dari naskah yang dipandang bernilai untuk dilestarikan walaupun kurang laku dijual. Setelah itu, pada 28 Desember 1985 status PN Balai Pustaka diubah menjadi Perusahaan Umum (PERUM) Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka (Balai Pustaka 1995: 6 & 20). Terakhir sejak 2022, Balai Pustaka secara resmi menjadi anggota Holding PT Danareksa (Persero) (Website Resmi Balai Pustaka 2023).
Penulis: Asti Kurniawati
Instansi: Universitas Sebelas Maret
Editor: Dr. Farabi Fakih, M.Phil.
Referensi
Andriyanto. 2021. “Sejarah Penerbitan Buku sampai Terbentuknya Balai Pustaka pada Masa Pergerakan Nasional Indonesia.” Keraton: Journal of History Education dan Culture, vol. 3(2), hlm. 72–84.
Balai Pustaka. 1995. Balai Pustaka: Menyongsong 50 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Balai Pustaka.
Kuitert, Lisa. 2021. “Balai Pustaka and the Politics of Knowlegde.” Jurnal Lembaran Sejarah, vol. 17(1), hlm. 2–17.
Mustofa. 2018. “Digitalisasi Koleksi Karya Sastra Balai Pustaka sebagai Upaya Pelayanan di Era Digital Natives.” Jurnal Perpustakaan Universitas Airlangga, vol. 8(2), hlm. 60–67.
Ricklefs, M.C. 1995. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Gadjah Mada University Press.
Website Resmi Balai Pustaka. 2023. Diakses dari https://balaipustaka.co.id